Ajaran-ajaran dalam Agama Bhuda
Oleh:
Annisa Khalida
1111032100047
Pendahuluan
Ajaran yang disampaikan kepada manusia oleh
Buddha sangat erat hubungannya dengan agama-agama yang ada sebelumnya, oleh
karena itu ajaran Buddha merupakan faham yang bertujuan untuk mereform atau
memperbarui ajaran Hinduisme dimana pendeta-pemdetanya saat itu sangat berperan
dalam kehidupan masyarakat. Ajaran
Buddha mengandung background social-religius pada saat itu. Nama Buddha itu
sendiri menunjukan arti “seorang yang bangun atau yang disadarkan” untuk mengadakan
reformasi tradisi agama yang telah ada.[1]
Pengertian Buddha, Dharma, dan Triratna
·
Pengertian Buddha
Buddha
berasal dari bahasa sansekerta budh berarti menjadi sadar, kesadaran
sepenuhnya; bijaksana, dikenal, diketahui, mengamati dan mematuhi. (Arthur Antony
Macdonell, practical Sanskrit Dictionary, Oxford University Press, London,
1965).
Tegasnya
Buddha adalah seseorang yang telah mencapai penerangan atau pencerahan sempurna
dan sadar akan kebenaran kosmos serta alam semesta. “Hyang Buddha’’ adalah seorang
yang telah mencapai penerangan luhur, cakap dan bijak menuaikan karya-karya
kebajikan dan memperoleh kebijkasanaan kebenaran mengenai nirvana serta
mengumumkan doktrin sejati tentang kebebasan atau keselamatan kepada dunia
semesta sebelum parinirvana.
Hyang
Buddha yang berdasarkan sejarah bernama Shakyamuni pendir Agama Buddha.
Hyang Buddha yang berdasarkan waktu kosmik[2]
ada banyak sekali dimulai dari Dipankara Buddha.[3]
·
Pengertian Dharma
Hukum
kebenaran, Agama, hal, hal-hal apa saja mengenai agama Buddha. Berhubungan
dengan ajaran agama Buddha sebagai agama yang sempurna.
Dharma
mengandung 4 (empat) makna utama:
1.
Doktrin
2.
Hak, keadilan, kebenaran
3.
Kondisi
4.
Barang yang kelihatan atau phenomena
Buddha Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat
kehidupan berdasarkan pandangan terang yang dapat membebaskan manusia dari
kesesatan atau kegelapan batin dan
unsure-unsur agama, kebaktian, filosofis, psikologi, falsafah, kebatinan,
metafisika, tata susial, etika dan sebagianya.
·
Triratna
Seorang
telah menjadi umat Buddha bila ia menerima dan mengucapkan Triratna (Skt) atau
tiga mustika (Ind) yang berarti Buddha, Dharma, Sangha. Pada saat sembahyang
atau kebaktian didepan altar Hyang Buddha. Triratna secara lengkap diucapkan
dengan tenang dan khusyuk sampai tiga kali atau disebut trisarana. Trisarana
adalah sebagai berikut:
Bahasa
Sansekerta
Buddhang Saranang Gacchami
Dharmang Saranang Gacchami
Sanghang Saranang Gacchami
Dwipanang Buddhang Saranang Gacchami
Dwipanang Dharmang Saranang Gacchami
Dwipanang Sanghang Saranang Gacchami
Tripanang Buddhang Saranang Gacchami
Tripanang Dharmang Saranang Gacchami
Tripanang Sanghai Saranang Gacchami
Bahasa
Indonesia:
Aku Berlindung kepada Buddha
Aku Berlindung kepada Dharma
Aku Berlindung kepada Sangha
Kedua kali Aku Berlindung kepada Buddha
Kedua kal Aku Berlindung kepada Dharma
Kedua kali Aku berlindung kepada Sangha
Ketiga kali Aku Berlindung kepada Buddha
Ketiga
kali Aku Berlindung kepada Dharma
Ketiga kali Aku Berlindung kepada Sangha[4]
Jadi dalam kesaksian tersebut, nampak adanya
sikap peneyerahan diri kepada Buddha, kepada Dharma (hukum-hukum yang telah
diberikan oleh Budha) dan kepada sangha yaitu golongan pendeta yang hidupnya
memelihara kelangsungan upacara agama yang pada umumnya tinggal dibiara-biara.
Pengakuan pada Dharma berarti mempercayai kebenaran hukum-hukumnya
dengan kewajiban menjalankan dasar-dasar ajaran kelepasan hidup serta
peraturan-peraturan lainnya. Dasar-dasar ajaran kelepasan tersebut adalah yang disebut Arya- satyami
(Arya: utama Satyami : kebenaran yang terdiri dari 4 kenyataan hidup sebagai
berikut:
1) Bahwa dalam kehidupan di dunia ini penuh
dengan hal-hal yang menyedihkan dan kesengsaraan, maka disimpulkan bahwa hidup
itu menderita.
2) Bahwa manusia berada oleh karena mempunyai
nafsu keinginan untuk berada (hidup). Keadaan hidupnya itu adalah penderitaan
karena terikat oleh samsara (menjelma berkali-kali).
3) Jika tidak lagi punya nafsu keiginan: maka
penderitaan samsara dapat dihilangkan yaitu dengan memadamkan nafsu keinginan
tersebut (tresna).
4) Cara menghilangkan nafsu keinginan itu ialah
melakukan 8 jalan kebenaran (disebut dengan Astavidha) yang terdiri dari:
a. Mengikuti pelajran yang benar.
b. Melaksanakan niat (keinginan) yang baik.
c. Mengucapkan perkataan yang baik dan tepat.
d. Menjalankan usaha yang baik (halal).
e. Melakukan pekerjaan yang baik.
f. Memusatkan perhatian dengan baik.
g. Mencari nafkah dengan baik.
h. Melakukan tafakur dengan baik.
Dengan dasar Aryasatyami tersebut dapat
diketahui bahwa agama Buddha mendidik pengikut-pengikutnya untuk berhati-hati
serta bersungguh-sungguh dalm menjalankan suatu kewajiban atau pekerjaan
mengingat bahwa dunia sekitar manusia ini dianggap penuh dengan hal-hal yang
dapat mencelakakan karena ada 3 anasir keduniawian:
1) Adanya Kama, yakni nafsu cinta.
2) Adanya Dwesa, yakni rasa benci kepada orang
lain.
3) Adanya Moha, yakni mabuk (dalam segala
bentuknya)
Untuk menegakan Dharma, maka pengikut-pemgikut
Buddha pada umumnya wajib menjauhi larangan-larangan dalam hal-hal sebagai
berikut:
1) Dilarang melakukan pembunhan terhadap semua
makhluk (misalnya peperangan dan sebagainya).
2) Dilarang melakukan pencurian atau perampokan
atau penyerobotan dan sebagainya.
3) Dilarang melakukan perbuatan asusila, misalnya
perzinahan.
4) Dilarang meminum, minuman yang memabukan
(minuman keras).
Adapun kewajiban khusus para anggota Sangha (orde pendeta) selain
lima macam tersebut diatas ditambah lagi dengan 5 macam larangan yaitu:
1)
Dilarang makan dan minum diwaktu yang dilarang (misalnya waktu
berpuasa).
2)
Dilarang mendatangi tempat-tempat yang dipergunakan untuk hidup
makisat (misalnya tempat hiburan, pertunjukan-pertunjukan).
3)
Dilarang menghias diri (misalnya dengan pakaian baik memakai hiasan
emas, belian dll)
4)
Dilarang tidur diatas tempat tidur yang baik.
5)
Dilarang menerima hadiah-hadiah yang berupa uang dan lain-lain
benda berharga.
Sepuluh larangan tersebut kemudian disebut dengan “DASA SILA” (10
dasar).[5]
Pengertian Sadha dan Panca Sadha
a.
Kata Saddha adalah sebutan dalam bahasa Pali atau sradha sebutan
dalam bahasa sansekerta.
Arti
kata Saddha atau Sradha ialah keyakinan atau kepercayaan-Benar
(confident).
b.
Dalam ajaran agama Buddha, sesungguhnya menekankan suatu
kepercayaan yang ditimbulkan oeh suatu yang nyata. Inilah yang disebut
dengan Saddha. Atau dapat diartikan sebagai keyakinan yang telah mencakup
pengertian percaya di dalamnya.
Jadi
kata Saddha itu, dapat juga diartikan sebagai:
1)
keyakinan
2)
kepercayaan-Benar
3)
keimanan dalam Bakti
c.
saddha bukanlah suatu kepercayaan yang membuta, melainkan suatu
kepercayaan yang dimiliki para siswa dalam sekolah menengah, dimana siswa-siswa
yakin akan adanya atom dan molekul. Tetapi mereka tidak dapat membuktikannya.
Mereka terima itu karena percaya pada para sarjana yang menguraikannya. Tetapi
kepercayaan uni tidak dapat disebut kepercayaan membuta. Di perguruan tinggi
atau Universitas mereka mendapat kesempatan untuk melakukan percobaan untuk
menguji kebenaran teori ilmu alam dan kimia tadi.
Demikian
pula siswa agama Buddha pada tingkat permulaan yakin akan kebenaran beberapa
ajaran Dhamma yang mereka dengar dari guru agamanya. Tapi setindak demi
setindak dalam perjalanan mereka diatas jalan yang ditunjuk YMS Buddha Gautama
akan membawanya pada kebenaran ajaran Dhamma yang tiada bandingnya.
Saddha Mengandung Tiga Unsur
Salah seorang pujangga Buddhis yang terkemuka, yang hidup
abad ke IV bernama Asanga dan telah mengatakan bahwa Saddha itu mengandung tiga
unsure yaitu:
1)
keyakinan kuat terhadap sesuatu hal.
2)
Kegembiraan mendalam terhadap sifat-sifat yang baik.
3)
Harapan memperoleh sesuatu di kemudian hari.
Bedanya
Kepercayaan dengan Saddha
a)
Persoalan kepercayaan akan timbul bilamana kita dapat melihat
sesuatunya dengan betul dan nyata.
Pada
saat kita melihat, persoalan kepercayaan itu tidak aka nada lagi. Bila saya
katakana kepada anda bahwa menyembunyikan sebuah mustika di telapak tangan yang
saya genggam, persoalan kepercayaan akan segera timbul, sebab anda tidak
melihatnya denga mata anda sendiri. Tetapi bila saya buka genggaman tangan tadi
dan memperlihatkannya mustika itu kepada anda, maka persoalan kepercayaan itu
tidak akan timbul.
Dalam
hubungan ini teringatlah kita kepada sesuatu pepatah kuno penganut Buddha yang
berbunyi sebagai berikut:
“Mengalami sendiri seperti orang melihat
satu mustika di telapak tangan”.
b)
Persoalan Saddha akan timbul bilamana kita dpat melihat sesuatunya
dengan betul dan nyata. Tetapi haruslah diingat bahwa Saddha ini bukanlah suatu
kepercayaan seperti yang di mengerti orang pada umumnya.[6]
Panca Saddha
(Lima Keyakinan umat Buddha)
1)
Keyakinan Terhadap Sang Hyang Adhi Buddha, Para Buddha
Tuhan dalam agama Buddha bukanlah hal yang baru, melainkan hal yang telah
lama di kembangkan, sejak pada abad ke IV M dari Negara bagian Benggala, tempat
kota kelahiran Acarya Asangha.[7]
Pengaruh Tantra
menimbulkan pada Mahayana ajaran tentang Adhi Buddha, yaitu Buddha yang
pertama, yang dipandang sudah ada pada
mula pertama, yang tanpa asal, yang berada karena dirinya sendiri, yang tidak
pernah tampak karena berada di dalam Nirwana.
Hakikat
Adhi Buddha adalah terang yang murni. Ia timbul dari Sunyata, kekosongan.
Dengan lima macam permenungan (dyana) sang Adhi Buddha mengalirkan dari dirinya
lima Buddha, yang disebut dyani Buddha, yaitu wairocana, Aksobhiya, Ratnasambhawa,
Amithaba, dan Amoghasiddhi. Para dyani Buddha ini dipandang menguasai
daerah-daerahnya sendiri, yang disebut Buddha ksetra. Daerah-daerah itu ada
yang digambarkan seperti alam yang murni dan ada yang kurang murni, sesuai
dengan tugas Dyani Buddha masing-masing. Di dalam daerahnya masing-masing itu
mengajarkan Dharmanya kepada para makhluk dan menolong manusia untuk mendapat
pencerahan.[8]
Diatas Panca Dyani Buddha yang memancarkan Bhodisatwa dan
manusia Buddha tersebut terdapat sesuatu
yang tertinggi, permulaan yang tanpa ada yang mendahuluinya, yaitu yang disebut
Adhi Buddha, atau Tuhan Yang Maha Esa Menurut kepercayaan aliran Mahayana.
Hubungan Dyani Buddha, Bhodisatwa dan Buddha dunia
tersebut sangat erat dan membentuk kelompok yang mempunyai tugas
sendiri-sendiri dipenjuru dunia sesuai dengan arah mata angin dan masa
masing-mmasing ketiganya terkait menjadi satu dan tidak bisa dipisah-pisahkan,
sebagaimna digambarkan dengan sangat jelas pada patung Bhodisatwa
avalokatisvara di Candi Mendut. Dalam
kepercayaan aliran Mahayana, jumlah Dyani Buddha, Bhodisatwa dan manusia Buddha
ada lima. Masing-masing kelompok bertempat di salh satu penjuru dunia, sesuai
dengan arah mata angin, dan salah satu Buddha bertempat di titik pusatnya.
Mereka berada dan bertugas dalm salah
satu masa diantara masa-masa yang jumlanya juga ada lima. Untuk masa sekarang,
yang bertanggung jawab adalah Dyani Buddha, Amitabha, Bhodisatwa
avalokatiswara, dan Manusia Budha Gautama.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa doktrin
Adhi Buddha dalam aliran Mahayana merupakan doktrin yang berusaha yang
mempersonifikasikan konsep kebuddhaan sebagai Tuhan atau persembahan tertinggi.
Doktrin ini sangat berbeda dengan
konsep ketuhanan agama Buddha yang mula-mula, seperti yang dipertahankan aliran
Theravada atau Hinayana.[9]
Sebagaimana kita ketahui, banyak agama-agama didunia ini
memfokuskan perhatiannya terhadap pemujaan kepada Tuhan dan makhluk-makhluk
suci lainnya, namun para umat Buddha di dunia telah memfokuskan pada tokoh
Buddha atau Sidharta Gautama—seorang manusia yang menemukan bagaimana membawa
pencerahan dari penderitaan dan keluar dari lingkaran hidup dan mati. Cara umat
Buddha untuk berhubungan dengan Buddha adalah melalui penghormatan, sebagaimana
orang lain dapat memuja kekuatan-kekuatan diluar alam atau dewa-dewa yang
mereka yakini dapat memberikan pertolongan kepadanya dan sanak keluarganya.[10]
Ajaran
agama Buddha bertitik tolak dari kenyataan yang dialami manusia dalam hidupnya.
Ajaran tidak di mulai dari prinsip yang transcendent, yang mempersoalkan
tentang Tuhan dan hubngannya dengan alam semesta dan segala isinya, melainkan
dimulai dengan menjelaskan tentang dukha yang selalu menyertai hidup manusia
dan cara membebaskan diri dari dukha tersebut. Dalam beberapa naskah pali dan
sansekerta disebutkan bahwa, sang Buddha
selalu diam apabila ditanya oleh pengikutnya tentnag Tuhan, ia menolak dan tidak
mempersoalkan tentang Tuhan, melainkan selalu menekankan pada para pengikutnya
agar mempraktekan sila ketuhanan. Sepeninggal Buddha persoalan Tuhan juga bukan
merupakan persoalan yang dianggap sangat penting dan mendesak dibicarakan dalam
pasamuan agung pertama dan kedua. Masalah yang sangat penting yang dibicarakan
dalam dua kali pasamuan itu adalah mengenai Dharma dan Vinaya. Kedua masalah
inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya beberapa mazhab besar dalam kalangan
umat Buddha.
Sekalipun demikian, benih-benih ajaran tentang Tuhan
dalam agama Buddha dapat ditelusuri dari adanya perbedaan pemahaman tentang
tingkat-tingkat keBuddhaan yang mulai muncul pada pasamuan agung kedua di
Vaisali. Aliran Staviravada yang ortodoks menekankan bahwa tingkat-tingkat
kebuddhaan adalah buah dari usaha yang tekun dalam menjlankan ajaran Sang
Buddha, sedangkan Mahasanghika menekankan bahwa benih-benih kebuddhaan telah
ada pada setiap makhluk dna hanya menunggu diwujudkan dan dikembangkan.[11]
Bikkhu
CHANDRAKIRTI, seorang Bhikkhu Indonesia, pada abad ke-X M telah menulis naskah
“NAMASANGITI” yang membahas tentang sifat-sifat dari pada sanghyang Adhi
Buddha. Naskah tersebut adalah sebagai pengungkapan kembali tentang naskah lama
abad ke-IV M yang di prakarsai oleh Bhikkhu Acarya Asangha dari Bengalora,
pendiri dari aliran Yogacara. Dari beliaulah lahirnya doktrin “ADHI BUDDHA” ;
sebagai pendalaman ajaran Mahayana yang telah di beri landasan oleh Bhikkhu
Asvaghosa, yang pada mulanya berasal dari seorang Brahmana, ahli Veda.
Naskah Theisme dalam agama Buddha juga telah
diperkenalkan pula dalam naskah-naskah di Indonesia, diantaranya dalam naskah
“KUNJARAKARMA” dari Kediri dan naskah SANGHYANG KAMAHAYANIKAN karya Mpu Sri
Warana Sambhara Surya dari kerajaan Wangsa ICANA (sendok). Dalam naskah terakhir ini, nama lain dari Adhi Buddha adalah
Bhatara Buddha.
Istilah Adhi
Buddha digunakan untuk menamakan sumber kebuddhaan dan istilah ini ditemukan di Indonesia maupun
Nepal dan Tibet.[12]
Kemaha kuasaan
Sanghyang Adhi Buddha dimanifestaskan kedalam hukumnya yang disebut hukuum
Kasunyataan. Hukum
Kasunyataan ini adalh hukum Tuhan YME, yang kekal abadi, yang mengatasi waktu,
tempat dan keadaan.
Semua yang tercipta tunduk kepada hukum Kasunyataan ini,
dan tidak ada seorangpun yang dapat membebakan dirinya dari berlakunya hukum
kasunyataan ini. Melalui hukum
Kasunyataan inilah Tuhan YME memperkenalkan kekyasaannya dan tidak ada
yang aka mampu menentang hukum Kasunyataan ini, baik ia seorang manusia ataupun
dewa, terkecuali orang yang telah mencapai kebebasan mutlak (Nibbana).[13]
Bukan sejarah tertarik untuk membicarakan sang Buddha,
umat Buddha sendiri juga banyak membicarakan tingkat-tingkat kebuddhaan.
Umumnya mereka berbeda dalam hla memandang tingkatan kebuddhaan tersebut.
Pembicaraan tentang tingkat kebuddhaan ini sudah mulai muncul pada pasamuan
agung kedua di vaisali. Aliran Staviravada yang ortodoks melihat bahwa
tingkatan-tingkatan kebuddhaan adalah buah dari usaha yang tekun dalam menjalankan
ajaran-ajaran Buddha, sedangkan menurut aliran Mahasanghika menekankan bahwa
benih-benih kebuddhaan telah ada pada makhluk dan hanya menunggu untuk di
wujudkan dan di kembangkan (Abdurahman 1988; 114-115).[14]
Mengenai para Buddha, terdapat 27 Buddha-Buddha yang terdahulu yaitu:
1.
Tahankara
2.
Medhankara
3.
Saranankara
4.
Dipankara
5.
Kondana
6.
Mangala
7.
Sumana
8.
Revata
9.
Shobitha
10.
Anomadasi
11.
Paduma
12.
Narada
13.
Padumutara
14.
Sumedha
15.
Sujata
16.
Piyadasi
17.
Attadasi
18.
Dhamadasi
19.
Sidhattha
20.
Tissa
21.
Phussa
22.
Vipasi
23.
Sikhi
24.
Veshabu
25.
Kakusandha
26.
Konagamana
27.
Kassapa
Buddha Gautama adalah Buddha yang terakhir atau yang ke 28
Buddha yang akan datang adalah ialah Bhodisatwa Maitreya, yang berarati :
“yang penuh kasih sayang”.
Semua Buddha mengajarkan ilmu yang sama yaitu Dhamma atua Kasunyataan dan
kebajikan untuk kebebasan mutlak dari penderitaan, Nibbana.
Baik dalam aliran Hinayana maupun aliran Mahayana, kedua-duanya mengajarkan
pelajaran dan tujuan yang sama, hanya mungkin upacara-upacara keagamaannya yang
berbeda-beda.[15]
2)
Bhodisatwa dan arahat
Bhodisatwa
Secara harfiah Bhodisatwa berarti orang yang hakikat atau
tabiatnya adalah bodhi (hikmat) yang sempurna. Sebelum Mahayana timbul,
penegrtian Bhodisatwa sudah dikenal juga, dan dikenalkan juga kepada Buddha
Gautama, sebelum ia menjadi Buddha. Disitu Bodhisatwa adalah orang yang sedang
dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan
menjadi Buddha. Jadi semula Bhodisatwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang
ditetapkan untuk menjadi Buddha. Didalam Mahayana Bhodisatwa adalah orang yang
sudah melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih
pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain. Seorang Bhodisatwa
bukan hanya merenungkan kesengsaraan dunia saja melainkan juga turut merasakannya
dengan berat. Oleh karenanya sudah
mengambil keputusan untuk mempergunakan segala aktivitasnya sekarang dan kelak
guna keselamatan dunia. Karena kasihnya pada dunia maka segala kebajikannya
dipergunakan untuk menolong orang lain.
Cita-cita tertinggi di dalam Mahayana ialah untuk menjadi
Bhodisatwa. Cita-cita ini berlainan sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu
untuk menjadi arhat, yaitu orang yang sudah berhenti keinginanya,
ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukan lagi pada
kelahiran tumimbal kembali. Seorang arhat hanya memikirkan kelepasan diri
sendiri[16]
Dengan daya pengetahuan dan permenungan para Dyani
Bhuddha melahirkan lima Bhidisatwa, yang disebut dyani Bhodisatwa, yaitu
wairocana melahirkan Samantabhadra, Aksobhiya melahirkan Wajrapani,
Ratnasambhawa melahirkan Ratnapani, Amithaba melahirkan padmapani atau
Awalokiteswara, dan Amoghasiddi melahirkan Wispapani. Para Dyani Bhodisatwa ini adalh para pencipta alam bendani. Dunia
yang mereka jadikan dapat binasa. Ada tiga yang sudah binasa. Dunia yang
sekarang adalah dunia yang ke empat, hasil karya awalokiteswara, yang memiliki
Amithaba sebagai pelindungnya.[17]
Arahat
Permulaan agama Buddha menanamkan ide rangkap mengenai
arhatva dan nirvana. Buddha Gautama mengajarkan kepada murid-muridnya yang
pertama kai dengan khotbah enpat Kasunyataan Mulia dan Delapan jalan utama
serta menekankan pada ketidak-kekalan dan tiada kepemilikan dari semua unsur
pokok mengenai pribadi manusia. Para sisiwa ini dipanggil arhat, dan Buddha
sendiri diuraikan sebagia seorang arhat. Konsepsi mengenai arahat dikembangkan
dan diperinci secara perlahan-lahan oleh guru dan penggantinya. Jadi seorang
arahat juga diharuskan menegerti formula mengenai duabelas nidanas
(sebab-akibat). Dia ditetapkan sebagai seorang yang telah mencabut tiga asravas
(asava = minuman keras, dosa, dan kesalahan dari keinginan akan rasa, suka akan
yang ada, dan ketidak tahuan, dan juga tambahan ke-empat asrava mengenai
pikiran yang spekulasi. Dia melatih tujuh faktor penerangan (shambojjhanga):
kesadaran, penelitian, energi, kesenangan, ketenangan, konsentrasi, dan
ketenangan hati.[18]
Arhat juga menjadi cita-cita tertinggi dari aliran
Hinayana, yaitu orang yang sudah berhenti keinginannya, ketidak tahuannya, dan
sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukan lagi pada kelahiran kembali.[19]
Seorang arahat yang telah terbebas, mengetahui dia tidak akan
telahir kembali. Dia telah menyelesaikan dengan baik apa yang dikerjakan. Dia
telah melepaskan bebannya. Dia hidup pada kehidupan suci. Dia mencapai
kebersihan-kemurnian dan akhir emansipasinya dari pikiran hati. Dia sendiri,
menyendiri, bersemangat, bersungguh-sungguh, menguasai dirinya sendiri.
Seorang arhat seperti itu juga pergi sebagai pengkhotbah dan
mengajarkan ajaran Buddha kepada orang-orang. Gurua itu sangat menganjurkan
kepada para siswanya untuk pergi berkelana dan berkhotbah kebenaran demi
kebaikan dan pembebasan untuk orang banyak, karena dia mengasihi teman-temannya
semakhluk dan menaruh kasihan kepada mereka.
Hal seperti itu adalah ide arahat itu, sebagaimana dimengerti
selama tiga abad setelah Buddha Gautama parinibana.
Tetapi nyatanya bahwa para bhikku agama Buddha mulai mengabaikan
aspek pentng tertentu dari pada itu dalam abad ke-2 SM, dan menekankan beberapa
Tugas terhadap pengeluaran dari pada yang lainnya. Mereka menjadi lebih
mementingkan diri dan tafakur, dan tidak menunjukan dengan jelas semangat lama
itu demi tugas mengajar dan mneyebarkan agama atau misionari di antara manusia.
Mereka nampaknya hanya memperhatikan demi pembebasan bagi mereka sendiri dari
dosa dan duka. Mereka tidak membedakan terhadap tugas untuk mengajar dan
membantu semua makhluk manusia.
Ajara Bhodisatwa diumumkan secara resmi oleh beberapa pemuka agama
Buddha sebagai suatu protes terhadap kekurangan dari semangat spiritual yang
benar ini dan altruism (sifat mementingkan kepentingan orang lain) di antara
para bhikku pada waktu itu. Kedinginan dan kejauhan dari para arahat itu
menunjukan suatu pergeseran yang sesuai dengan ajaran lama mengenai
menyelamatkan semua makhluk. Ide Bhodisatwa dapat dimengerti hanya menantang
latar belakang ini mengenai seorang saleh dan tenang, namun tidak aktif dan
golongan viharawan atau viharawati yang tidak cekatan.[20]
Kesimpulan
Tidak dapat dikatakan bahwa di dalam ajaran
agama Buddha seperti yang terdapat di dalam kitab-kitab Pitaka terdapat ajaran
tentang Tuhan atau tokoh yangn di pertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali
kepada asalanya, yaitu Tuhan, melainkan untuk masuk kedalam nirwana, pemadaman,
suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan, tanpa
kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah
situasi damai. Oleh karena itu maka ada ahli-ahli agama yang tidak mau
mengakui,bahwa Bhuddisme adalah suatu agama. Bhuddisme adalah suatu falsafah,
suatu usaha akal manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang
sistematis mengenai sebab dan akibat.
Akan tetapi kami kira pendapat yang demikian
itu adalah keliru. Memang, harus di akui, bahwa sebutan Tuhan atau tokoh yang
dipertuhankan tidak ada. Yang ada adalah nirwana, pemadaman, situasi padam,
bukan tokoh yang memadamkan. Tak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada
dibelakang suasana damai itu.
Tidak ada gagasan tentang pemebri hukum, yang
ada adalah hukum, tata tertib (karma) baik yang alamiah maupun yang moril.
Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, di
belakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan
yang dipertuhan tadi.
Dilihat dari keyakinan Kristen dapat
dikatakan, bahwa Buddha Gautama meraba-raba dan mencari kepada “Yang Tidak Jauh
dari padanya”. Berdasarkan kenyataan bahwa didalam ajaran Buddha manusia rindu
akan kelepasannya serta mencari-cari kan “Yang tak dilihatnya” dapat dikatakan,
bahwa Buddhisme adalah suatu agama, denganya manusia berusaha mencari Tuhanya.
Tuhan atau tokoh yang dipertuhan terdapat juga didalamnya.
Hanya Tuhan itu sukar ditemukan. Tokoh itu
dikaburkan menjadi sesuatu yang tak berpribadi. Itulah sebabnya tidak ada
hubungan aku-Engkau antara manusia dengan yang dipertuhan. Tetapi bagaimanapun
Bhudisme adalah suatu ajaran kelepasan, suatu ajaran yang ingin membawa manusia
pada jalan kelepasan karena merasa bahwa hidup ini tidak bebas.[21]
Daftar Pustaka
Arifin M.Ed, H.M., Menguak Misteri Ajaran
Agama-agama Besar, Jakarta: PT Golden Press, 1995.
Ali, Mukti H.A., Agama-Agama Di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988.
Hadiwijono, Harun., Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, 2010.
Kebahagiaan Dalam Dhamma, Jakarta: Majelis Buddha Mahayana
Indonesia
T, Suwarto., Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha
Indonesia, 1995.
Tanggok, M Ikhsan., Agama Buddha, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Jakarta, 2009.
[2] Waktu kosmik adalah kalpa.
Satu kalpa adalah suatu periode waktu yang sangat lampau yaitu 4326 juta tahun.
[3] Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana” (Majelis Agama Buddha
Indonesia-Jakarta 1995)cet 1 hal 50
[5] Prof. H.M. Arifin M.Ed “Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar”
hal 96-99
[6] “kebahagiaan Dalam Dhamma” (Majelis Buddhayana Indonesia) hal 15-16
[7] “kebahagiaan Dalam Dhamma” (Majelis Buddhayana Indonesia) hal 337
[8] Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha” (Gunung Mulia-Jakarta
2010)cet17 hal 94-95
[9] H. A. Mukti Ali. “Agama-Agama Di dunia” (IAIN Sunan Kalijaga
Press-Yogyakarta1988)cet 1 hal 120-121
[10] M. Ikhsan Tanggok. “Agama Buddha” (Lembaga Penelitian UIN Jakarta, Ciputat Jak Sel. 2009) cet 1 hal. 33
[11] H. A. Mukti Ali “Agama-agama di Dunia” (IAIN Sunan Kalijaga Press.
Yogyakarta. 1988) cet 1. Hal 114-115
[12] ”Kebahagiaan Dalam Dhamma” hal 337-339
[16] Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha” (PT BPK Gunung
Mulia-Jakarta 2010) cet 17 hal91-92
[17] Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha”hal 95
[20] Dr. Suwarto T. “Buddha Mahayana” hal132-133
A.
Kehidupan Sang Buddha
1.
Kelahiran
Bodhisattva
Pangeran
Siddharta dilahirkan pada tahun 623 Sebelum Masehi di Taman Lumbini. Oleh
para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran
Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi Seorang Buddha.
Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa
Sang
Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda
menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan
mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu
menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa,
atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu
adalah : 1. Orang tua, 2. Orang sakit, 3. Orang mati, 4. Seorang pertapa.[1]
Saat ia
dilahirkan, bumi menjadi terang benderang, seberkas sinar sangat terang
mengelilingi bodhisattva yang baru lahir itu.[2]
Sesaat ia dilahirkan, Bodisattva berjalan tujuh langkah diatas tujuh kuntum
bunga ke arah utara,[3]dengan
jari telunjuk tangan kanan menunjuk kelangit, dan jari telunjuk tangan kiri
menunjuk ke bumi, yang artinya Akulah teragung, pemimpin alam semesta, guru
para dewa dan manusia. para dewa yang mendampingi menjatuhkan bunga dan air
suci untuk memandikannya. Juga bersamaan waktu lahirnya, tumbuhlah pohon Bodhi.
Seisi alaam
menyambutnya dengan suka cita karena telah lahir seorang Bodhisattva yang pada
nantinya dia akan menjadi pemimpin alam semesta, gurunya para dewa dan manusia,
mencapai Samyak Sam Buddha untuk mengakhiri penderitaan manusia dialam
samsara ini.[4].
2.
Pada
umur 12 tahun
Pangeran sidharta telah menguasi berbagai ilmu pengetahuan, ilmu
taktik perang, sejarah, dan pancavidya, yaitu: sabda (bahasa dan sastra);
silpakarmasthana (ilmu dan matematika); cikitsa (ramuan obat-obatan); hatri
(logoka); adhyatma (filsafat agama). Dia juga menguasai Catur Veda rgveda(lagu-lagu
pujian keagamaan): yajurveda (pujian untuk upacara sembahyang);
athavarveda(mantra)
1.
Melihat
Empat Peristiwa
Pada suatu hari pangeran mengunjungi
Ayahnya dan berkata “Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan keluar istana
untuk melihat tata cara kehidupan penduduk yang kelak akan ku perintah”.
Karena permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin. tetapi
sebelumnya kata Raja, aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya
baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang baik.[5]
Sekalipun sang raja sudah memerintahkan agar seluruh jalan yang
akan dilalui putranya itu harus dibersihkan dari segala hal yang tidak
menyenangkan namun dalam perjalanan itu Siddharta melihat seorang yang sudah
tua sekali. Pandangan ini mengejutkan Siddharta.[6]pangeran
terkesan sekali, karena hal ini baru pertama kali dilihatnya.
Channa menerangkan kepada pangeran, bahwa itulah keadaan seorang
tua, tetapi bukan keadaannya sewaktu ia dilahirkan.
“ Sewaktu masih muda orang itu seperti kita dan karena sekarang ia
sudah tua sekali maka keadaanya telah berubah seperti yang tuanku lihat.
Sebaiknya tuanku lupakan saja orang tua itu. Setiap orang kalau sudah terlalu
lama hidup di dunia akan menjadi seperti oarang tua itu, hal ini tidak dapat
dielakkan.”[7]
Atas keterangan Channa ia tahu bahwa segala makhluk kelak akan
menjadi tua seperti orang tua itu. Dengan wajah yang muram sekali Siddharta
kembali keistana.[8]
Setelah persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi
sedih sekali dan ia merasa kuatir bahwa hal ini dapat menyebabkan pangeran
meninggalkan istana.
Berselang beberapa hari pangeran kembali memohon kepada Raja agar
diperkenankan melihat-lihat lagi kota Kapilavattu, tapi sekarang tanpa lebih
dulu memberitahukannya kepada para penduduk.
Dengan berat hati Raja mengizinkan karena beliau tahu tidak ada
gunanya melarang, sebab hal itu tentu akan membuat pangeran bersedih. Pada
kesempatan ini pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian seperti anak
kelurga Bangsawan, karen ia tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.
Pangeran memperhatikan orang-orang
kecil yang sderhana dan semua orang kehilatannya sibuk sekali, bahagia dan
senang dengan pekerjanya. Tetapi Pangeran juga melihat seorang yang sdeang
merintih-rintih dan berguling-guling ditanah dengan kedua tangannya memegang
perutnya. Dimuka dan badannya terdapat bercak-bercak berwarna ungu, matanya
berputar-putar dan nafasnya mengap-mengap.
Untuk kedua kali dalam hidupnya Pangeran melihat sesuatu yang
membuat beliau sangat sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh
kasih sayang dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya meletakkan
kepalanya dipangkuannya dan dengan suara menghibur menanyakan: “mengapa engkau,
engku mengapakah?” orang sakit itu sudah tidak adapat menjawab. Ia hanya
menangis tersedu-sedu.
“ Channa, katakanlah mengapa orang ini? Apakah yang salah dengan
nafasnya? Mengapa ia tidak bicara”?
“ O, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dn
darahnya beracun. Ia diserang demam pes dan seluruh bdannya terasa terbakar.
Oleh karena itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”
“tetapi apakah ada orang lain yang seperti dia”? “Ada, dan Tuanku
mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti ini. Mohon dengan sangat agar
Tuanku meletakkannya kembali ditanah dan jangan menyentuhnya lagi sebab sakit
pes itu sangat meenular.”
“apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang
dapat diserang penyakit? Apakah penyakit datang secara mendadak”?
“betul Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit.
Tidak ada orang yang dapat mencegahnya dan itu dapat terjadi setiap saat.”
Mendengar ini pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk
merenungi hal ini.
Berselang beberapa hari, Pangeran kembli memohon izin kepada Raja
agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu. Raja menyetujuinya
karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.
Pada kesempatan ini pangeran yang berpakaiaan sebagai anak seorang
bangsawan dengan diiringi Channa berjalan-jalan kembli di kota Kapilavatthu.
Tidak lama kemudian mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang
menangis mengikuti sebuah usungan yang dipikul oleh empat orang.
Diatas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam
keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah
sungai dan meletakkannya diatas tumpukan kayu yang kemudian di nayalakannya.
Orang itu tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun apai telah membakarnya
dari semua sudut.
Pangeran heran
dan kaget sekali sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Pangeran
berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut “mati” itu yang harus
dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari seorang
Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang dan
dikamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari.[9]
Pangeran
kemudian memohon kembali kepada ayahnya untuk diperkenankan untuk keluar istana
lagi untuk berwisata ke taman Lumbini. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk
menolak permohonan santun Putranya itu. Ditemani oleh Chnna, pangeran menuju
taman Lumbini. Setelah sampai ditaman Lumbini dan ketika pangeran tengaah duduk
menikmati taman tersebut, tampak olehnya seorang lelaki dengan kepala yang
dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeranpun mendekati petapa itu dan
bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itupun menjelaskan prihal
dirinya.[10]
“ Pangeran yang
mulia, aku ini seorang petapa, aku menjauhkan diri dari keduniawian,
meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua,
sakit, dan mati. Selain dari itu aku tidak menginginkan hal-hal dan
barang-barang duniawi.”
Pangeran terkejut karena ternyata petapa ini
mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya.
“O petapa suci,
dimana obat itu harus dicari”?
“panngeran yang
mulia, aku mencrinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat,
jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan
perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.”[11]
Sejak saat itu
Siddharta ingin mengikuti kehidupan petapa itu. Ia mencari jalan bagaimana
dapat meninggalkan kehidupannya yang mewah itu.[12]
Ketika pangeran
Siddharta masih di dalam taman dan benaknya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup
bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang di utus oleh raja
Suddhodana mengabarkan bahwa Putri yasodhara telah melahirkan seorang bayi laki-laki
yang tampan. Mendengar kabar itu, Pangeran justru bersedih hati dan berujar : “
seorang beenggu telah terlahir bagiku”! kelahiran tersebut merupakan halangan
karena ia mencintai keluarga dan anaknya yang baru saja dilahirkan. Mengetahui
apa yang diutarakan Pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian
memberi nama bayi itu “ Rahula” yang berarti “belenggu”.
B.
Sang Budha Mendapatkan Penerangan Tertinggi
1.
Pangern
siddharta Meninggalkan istana
Sebelum
meninggalkan istana , Pangeran telah memohon izin kepada ayahnya, tetapi
Ayahnya berusaha mencegahnya, tetapi Ayahnya tidak dapat memenuhi syarat-syarat
yang diajukan oleh Pangeran kepadanya. Antara lain dikatakan oleh Pangeran,
bahwa ia tidak akan jadi pergi, apabila ayahnya dapat memberikan kepadanya
kemudaan yang kekal, kecantikan yang kekal, kesehatan yang kekal dan hidup yang
kekal.[13]
Pangeran kemudian
pergi kekamar Yasodhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk
bertapa. Istrinya sedang tidur nenyak dan memeluk bayinya.
Setelah sampai
di luar kota Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota
Kapilavattu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya
yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya).
Perjalanan
diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, Malla dan kemudian dengan
satu kali loncatan menyebrangi sungai Anoma.[14]
2.
Penerangan
Agung
Pada suatu
malam di bulan Waisak ketika bukan purnama, ditepi sunagi Neranjara, ketika ia
sedang menghentikan cipta dibawah pohon Assatta (pohon Boddhi) dengan duduk
padmasana melakukan meditasi dengan mengatur pernapasannya, maka datanglah
petunjuk kepadanya sehingga ia mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi yang
meliputi hal berikut:
a.
Pubbenivasanussati,
yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali.
b.
Dibacakkhu,
yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin,
c.
Cuti
Upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk
kehidupan, bik atau buruk, bergantung pada prilaku masing-masing.
d.
Asvakkhayanana,
pengetahuan tentang padamnya semua kecendrungan dan avidya, tentang
menghilangkan ketidaktahuan
Dengan telah tercapainya penerangan tersebut maka Siddharta Gautama
telah menjadi Buddha pada umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya Manusia’
atau guru dari manusia.
C.
Sang Budha Mengajarkan Dharma
Setelah itu
sang Buddha masih ragu-ragu untuk menyampaikan darmanya kepada orang lain,
karena Dharmanya hanya dapat diterima orang arif bijaksana, maka ia pergi ke
Banares untuk menemukan murid-muridnya. Pada mulanya para murid itu ragu,
tetapi setelah melihat keagungan Buddha maka kelima muridnya bersedia kembali
mengikuti ajarannya. Kepada mereka lalu diajarkan empat kesunyataan itu.
Peristiwa-peristiwa
tersebut diatas sangat penting dalam agama Buddha, yang disebut “Dharmma Cakra
Pravantana Sutra”, yaitu “pemutaran roda dharmma” yang selalu diperingati oleh
para penganut agama Buddha. Begitu juga taman isi patana di Benares yang merupakan
tempat asal mula kelahirana ajaran Buddha dan Sangha, apar pemula penganut
ajaran Buddha, merupakan tempat suci bagi umat Buddha. Sejak peristiwa
pemutaran Rodha dharma tersebut mulailah siddharta Goutama yang telah menjadi
Buddha itu, menyebarkan ajaran diseluruh India mulai dari kota Rajagraha yang
berpokok pada empat kebijakan kebenaran bahwa:
-
kehidupan manusia itu pada dasrnya tidak
Bahagia
-
sebab-sebab
tidak bahagia karena memikirkan kepentingan diri sendiri terbelengggu oleh
nafsu,
-
pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu
dapat ditekan habis jika semua nafsu dan hasrat dapat ditiadaan, yang dalam
ajaran Buddha adalah Nirwana,
-
Menimbng
benar, berpikir benar, berbuat benar, mencari nafkah, berusaha yang benar,
mengingat yang benar, meditasi yang benar,
Selama 45 tahun
lamanya Buddha menyampaikan ajaran-ajaran, sehingga dari sekitar 60 orang
anggota Sangha kemudian menjadi ribuan orang banyaknya, yang memerlukan banyak
Wihara, pada akhirnya dalam umur 80 tahun wafat di kusiwara yang letaknya sekitar
180 KM dari kota Banares. Ia meninggal tanpa petunjuk siapa yang menjadi
penerus, sehingga di kemudian hari ajaran terpecah menjadi dua golongan yaitu
Teravadha ( Hinayana ) dan Mahasangika
(Mahayana).
[2] Drs. Suwarto, Buddha
Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia,
1995), hal.7-8
[3] Pandita.S.Widyadharma,
Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA,
1979), hal.4
[4] Drs. Suwarto, Buddha
Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia,
1995), hal.8
[5] Pandita.S.Widyadharma,
Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA,
1979), hal. 10
[6] Harun Hadiwijono, Agama
Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010), hal.65
[7] Pandita.S.Widyadharma,
Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA,
1979), hal. 11
[8] Harun Hadiwijono, Agama
Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010), hal.65.
[9] Pandita.S.Widyadharma,
Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA,
1979), hal. 11-14
[10] Forum Diskusi Agama
Buddha, www.wihara.com. Di unduh pada
Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.
[11] Pandita.S.Widyadharma,
Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA,
1979), hal.15-16
[12] Harun Hadiwijono, Agama
Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010), hal.66
[13] A.G. Honig. Ilmu Agama,
(Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1997) hal.173
[14] Pandita.S.Widyadharma,
Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA,
1979), hal. 19-20
Keyakinan
Terhadap Hukum Kasunyataan
Hukum
Karma dan Tumimbal Lahir, Tilakhana
Oleh
Fahmi Dzilfikri
1111032100030
1. I. Pendahuluan
Buddha
Gotama lahir ketika terjadi pergolakan, ketika kebudayaan sekitar menginginkan
perubahan radikal yang bersifat spiritual. Gotama sebagai inovator, mengatakan
bahwa pengalaman pencerahan telah menunjukan padanya solusi masalah penderitaan
manusia.
Apakah
Buddha Gotama ini membuat agama baru atau tidak, itu tidak akan menjadi fokus
perdebatan pada makalah ini. Karena, terima atau tidak kini ajarannya telah
menjadi sebuah agama yang diyakini oleh seluruh penganutnya. Dalam makalah ini,
akan disajikan beberapa ajaran Buddha seperti Kamma, dan Tilakhana. Buku
“Kebahagian dalam Dhamma” sebagai referensi utama yang digunakan penulis.
1. II. Hukum Karma
dan Tumimbal Lahir (Rebirth)
2. 1. Pengertian
Kamma atau Karma
Kamma[1]
adalah term atau kata dalam bahasa Pali, yang mempunyai arti semua jenis
kehendak atau maksud (action or doing) perbuatan, yang baik maupun yang
buruk, lahir atau pun batin dengan pikiran, ucapan dan tindakan[2].
Mengenai
hal Kamma, Buddha Gotama bersabda dalam kitab Anguttara Nikaya III halaman 415
:
“I
declare, O Bihkkus, that volution (cetana) is Kamma, Having willed one
that acts by body, speech and thought.” [ Oh para siswa, kehendak untuk berbuat
(cetana) itulah yang Kami sebut Kamma. Sesudah berkehendak lalu orang berbuat
dengan badan, ucapan dan pikiran ][3]
Secara
umum semua bentuk keinginan atau tindakan yang tidak membedakan baik (moral)
atau buruk (immoral) adalah disebut Kamma. Dalam ajaran Buddha, Kamma
ini bukanlah sesuatu yang membuat manusia menjadi putus asa, dan bukan juga
mengenai kehidupan yang telah ditakdirkan. Memang dalam keyakinan umat Buddha
bahwa masa lalu mempengaruhi kehidupan sekarang, namun bukan berarti menentukan
semua kehidupannya dalam artian takdir. Apa yang terjadi di masa silam, merupakan
dasar hidup apa yang terjadi sekarang. Oleh karena itu, saat sekarang inilah
merupakan saat yang nyata dan kitalah yang menentukan untuk menggunakan dengan
sebaik-baiknya atau tidak.
Semua
perbuatan akan menimbulkan akibat dan akibat ini akan menjadi sebab atas akibat
yang lain dan demikian seterusnya, sehingga Kamma sering juga disebut sebagai
hukum sebab-akibat (kausalitas)[4]. Dalam buku Kebahagiaan dalam Dhamma,
dicontohkan ketika kita melempar batu adalah suatu perbuatan. Kemudian batu
tadi mengenai kaca dan pecah. Pecahnya kaca merupakan akibat dari pelemparan
batu. Tidak selesai sampai di sana, setelah kaca pecah kita memberikan uang
sebagai ganti rugi, yang sebenarnya uang ganti rugi itu untuk keperluan lain,
sehingga menimbulkan suatu kekecewaan. Munculah akibat akibat lain dari
kekecewaan ini[5]. Oleh karena itu kita harus berbuat baik agar Kamma Vipaka
(akibat-kamma) juga berbuah baik.
Apa pun
yang terjadi pada diri kita, yang menimpa pada kita adalah sesuatu yang kita
harus terima adanya. Kala kita mengalami sesuatu yang menyenangkan, yakinilah
bahwa Kamma yang kita telah perbuat adalah baik. Sebaliknya, jika kita ditimpa
sesuatu yang tidak baik, dan membuat kita tidak senang, adalah Kamma-Vipaka,
itu menujukan kita telah berbuat hal yang salah atau tidak baik.
Hasil
Kamma tidaklah selalu sama, ada yang berlangsung cepat ada pula yang
berlangsung lama. Bukan berarti Kamma tidak berfungsi atau tidak tepat, tetapi
karena kekeliruan diri sendiri. Buddha bersabda :
Pembuat
kejahatan melihat kebahagiaan selama perbuatan jahatnya belum masak; tetapi
bilamana perbuatan jahatnya telah masak, maka barulah ia melihat penderiataan.
Menurut
ajaran Buddha, ada 3 macam penyebab dari perbuatan yaitu :
1. Loba (keserakahan)
2. Dosa (kebencian) dan
3. Moha (kebodohan)
Jenis-jenis
Kamma :
1. Kamma yang ditentukan oleh waktu
2. Kamma yang ditentukan oleh kekuatan
3. Kamma yang ditentukan oleh fungsi
Sekalipun
Kamma yang buruk tidak dapat dirubah, bukan berarti seseorang tidak dapat sama
sekali memperbaikinya. Ajaran Buddha memberikan solusi, ketika seseorang
menyadari bahwa Kamma yang buruk itu merupakan hasil dari Kamma yang telah
diperbuat di kehidupan sebelumnya, hendaklah dia memperbaiki dan senantiasa melakukan
kebaikan[6].
Kamma
dipandang sebagai sebab utama adanya berbagai kejadian yang terjadi alam ini,
namun hal ini bukan merupakan fatalisme[7] (such a fatalistic doctrine is
not the Buddhist law of Kamma) atau pun suatu takdir untuk seseorang. Hukum
Kamma hanya merupakan salah satu dari 24 sebab. Sebagai mana yang ditemukan
dalam filsafat agama Buddha[8] atau salah satu dari lima Niyama (Hukum Tata
Tertib Alam Sejagad) yang berlaku di alam semesta ini dan merupakan hukum yang
berdiri sendiri.
Lima
Niyama ( The Five Niyamas)
Ajaran
Buddha mengatakan ada lima hukum Niyama yang mengatur alam fisik dan mental
ini, diantaranya :
1. Utu Niyama
Adalah
hukum yang mengatur physical inorganic, misalnya gejala timbulnya angin
dan hujan. Termasuk gejala alam lain, seperti pergantian musim-musim dan
perubahan iklim yang disebabkan oleh angin dan hujan, sifat-sifat panas dan
sebagainya.
1. Bija Niyama
Adalah
hukum yang mengatur tumbuh-tumbuhan dari pada benih (seeds) dan sel-sel
termasuk pula jenis-jenis persamaan yang terdapat pada bayi kembar (physical
organic). Keistimewaan-keistimewaan dari berbagai jenis buah-buahan dapat
pula digolongkan pada Niyama ini.
1. Kamma Niyama
Adalah
hukum tentang sebab akibat ( act and result). Misal : perbuatan yang
bermanfaat akan menghasilkan sesuatu yang baik dan sebaliknya jika tidak
bermanfaat hasilnya pun tidak baik.
Sebagimana
sifat air mengalir untuk mencapai persamaan (own level), begitu pula
Kamma memberikan keseimbangan. Dampaknya itu bukan suatu hadiah (reward)
atau hukuman (punishment), melainkan suatu hal yang wajar dari suatu
rangkaian.
1. Dhamma Niyama
Adalah
hukum yang mengatur tentang the norm. Misal : keajaiban alam sewaktu
seorang Bodhisattva hendak mengakhiri hidupnya sebagai calon Buddha. Gaya
gravitasi bumi dan kejadian-kejadian alam yang semisalnya, sebab-sebab dari
pada keseimbangan dan keselarasan termasuk juga pada golongan ini.
1. Citta Niyama
Adalah
hukum yang mengatur tentang jalannya alam pikiran atau alam batin (mind or
psychic law). Misalnya : proses sebuah kesadaran, munculnya sebuah
kesadaran, kekuatan pikiran termasuk juga telepati.
Kemampuan
mengingat masa lalu dan atau meramalkan masa depan adalah termasuk pada hukum
ini.
Demkian
mengenai Lima Niyama yang mengatur alam semesta ini. Termasuk semua gejala yang
lahir maupun yang batin, di seluruh alam semesta ini dan tidak perlu ada yang
mengatur lagi[9].
1. 2. Perang
Cetana dalam Kamma
Cetana,
sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya merupakan akar dari
perbuatan baik maupun buruk. Apabila cetana berhubungan dengan citta
(kesadaran) yang berakar pada lobha, dosa dan moha, akan timbullah
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pikiran, ucapan dan badan yang buruk,
kemudian ssebagai akibatnya ialah mendapatkan bentuk-bentuk karma yang buruk (akusala
kamma). Begitu pun, apabila kausala cetana maka timbullah
perbuatan-perbuatan yang baik, sehingga sebagai akibatnya dimilikilah
bentuk-bentuk Kamma yang baik pula[10].
Kamma
merupakan hukum kausalitas (moral causation). Kelahiran kembali adalah
sebuah akibat yang wajar. Antara Kamma dan tumiba lahir saling terkait, dan
merupakan doktrin fundamental dalam agama Buddha. Kedua doktrin ini, adalah hal
yang lumrah atau lazim di India bahkan sebelum kedatangan agama Buddha. Namun,
Buddhalah yang kemudian menjelaskan dan memformulasikan kedua doktrin ini
secara lengkap sebagaimana yang kita kenal sekarang[11].
1. 3. Tiga
Macam Kamma Berdasarkan atas Kejadiannya Mano-Kamma, Vaci-Kamma dan Daya-Kamma
Kamma ada
yang terjadi di alam Neraka, binatang, setan, manusia dan bahkan di surga. Ada
Kamma yang berlangsung dalam satu kehidupan, atau di kehidupan mendatang atau
dalam kehidupan berikutnya. Kejadiannya berdasarkan tiga macam Kamma, yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan oleh Pikiran (Mano-Kamma)
2. Perbuatan yang dilakukan oleh Ucapan (Vaci-Kamma)
3. Perbuatan yang dilakukan oleh Badan (Kaya-Kamma)
1. 4. Kamma
menurut sifat dan Akar Kamma
1. Kusala-Kamma artinya perbuatan baik yang dilakukan
oleh pikiran, ucapan maupun badan. Hal ini bisa dilakukan bila cetana
berhubungan dengan kesadaran yang terbebas dari alobha, adosa dan amoha.
Ada
sepuluh Kamma baik (Kausalakamma-patha) sebagai berikut :
1. Dana atau murah hati (dermawan)
2. Sila atau hidup bersusila (moral)
3. Bhavana atau pengembangan dalam meditasi
Mengembangkan
pikiran dengan mengisi metta dan kemudian ditingkatkannya dengan mengembangkan
pandangan terang menggunakan perhatian pada gerak-gerik jasmani-rohani. Dengan
cara :
a.
Samatha-Bhavana (ketenangan batin)
b.
Vipassana-Bhavana (pandangan terang)
1. Apacayana atau hormat dan rendah hati
2. Veyyavacca atau berbakti
3. Pattidana atau cenderung membagi kebahagiaan
4. Pattanumodana atau bersimpati terhadap kebahagiaan
orang
5. Dhammasavana atau mendengarkan dhamma
6. Dhammadesana atau menyebarkan dhamma
10.
Ditthijukamma atau meluruskan pandangan hidup
1. Akusala-Kamma artinya perbuatan jahat/buruk yang
dilakukan oleh pikiran, ucapan maupun perbuatan. Terjadi jika cetana
berhubungan dengan kesadaran pada lobha, dosa dan moha.
Ada
sepuluh Kamma Jahat (akusalakamma) sebagai berikut :
1. Panatipata atau pembunuhan
2. Adinnadana atau pencurian
3. Kamesumicchacara atau perjinahan
4. Musavada atau pendustaan
5. Pisuanvaca atau pergunjingan
6. Pharusavaca atau kata-kata kotor dan menghina
7. Samphappalapa atau omong kosong
8. Abhijjha atau keserakahan
9. Vyapada atau kemauan jalan untuk mencelakakan
10.
Micchaditthi atau pandangan salah
1. 5. Empat
Kamma menurut waktu atau Kiccacatuka
1. Dittha Dhammavedaniya-Kamma
Perbuatan
baik atau buruk yang langsung terjadi dalam kehidupan sekarang atau satu fase
kehidupan. Disebabkan oleh saar kehendak impuls (dorongan hati) atau
Javana-Cetana[12] yang baik atau buruk. Dalam waktu tujuh hari dengan pasti.
Kamma ini
terbagi dua macam, yaitu :
1. Paripakka Dittha Dhammavedaniya-Kamma
2. Aparipakka Dittha Dhammavedaniya-Kamma
3. Ahosi-Kamma
Kamma
yang tidak menimbulkan akibat sama sekali.
1. Upapajjavedaniya-Kamma
Kamma
yang terjadi di kehidupan berikutnya. Jika gagal terjadi maka termasuk pada
Ahosi Kamma.
1. Aparapariyavedaniya-Kamma
Kamma
yang terjadi di kehidupan yang ke tiga dan seterusnya hingga menjadi Ahosi
Kamma.
1. 6. Empat
Kamma menurut sifat dan akibatnya atau Pakadanapariyayacatuka
1. Garuka-Kamma
Perbuatan
baik atau buruk yang berkualitas atau berat, sehingga Kamma ini terjadi lebih
dulu dan timbul dalam satu kehidupan.
1. Acinna-Kamma atau Bahula Kamma
Perbuatan
baik atau buruk yang terlah menjadi kebiasaan. Kamma ini terjadi setelah
Garuka-Kamma.
1. Maranasanna-Kamma atau Asanna-Kamma
Perbuatan
baik atau buruk yang dilakukan pada saat ajal.
1. Katatta-Kamma
Perbuatan
baik atau buruk yang ditangguhkan tidak begitu berat dirasakan akibatnya dari
perbuatan-perbuatan lampau.
1. 7. Empat
Kamma menurut Fungsi Sifat Bekerjanya atau Kiccacatukka
1. Janaka-Kamma
Adalah
hukum yang menyebabkan timbulnya syarat untuk lahirnya kembali suatu makhluk.
1. Upatthambaka-Kamma
Perbuatan
yang menunjang akibat lain.
1. Upapilaka-Kamma
Perbuatan
baik atau buruk yang menekan dan menghilangkan akibat dari Kamma lain.
1. Upaghataka-Kamma
Perbuatan
baik atau buruk yang menggugurkan jenis kamma lain yang lemah dan menimbulkan
Kamma lain.
Dari
penjelasan hukum Kamma ini kita dapat mengambil pelajaran tentang kesabaran,
keyakinan, percaya pada diri sendiri, pengendalian diri dan memperoleh
kemampuan[13].
III.
Tilakhana (Tiga Corak Umum;anicca,dukkha, anatta)
Tilakhana
(tri-laksana) artinya Tiga Sifat Universal atau Tiga Corak Umum dari alam
fenomena dan ini termasuk Hukum Kesunyataan; Mengandung arti, hukum ini
berlaku dimanapun dan kapanpun, tidak terikat oleh waktu dan tempat[14].
Tilkhana, yaitu :
1. 1. Sabbe
Sankhara Anicca
Kata
Anicca berarti tidak kekal, yaitu segala sesuatu yang ada di alam semesta ini
terus menerus mengalami perubahan. Misalnya, bunga, buah-buahan, pepohonan
dalam perkebunan. Umat Buddha meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam
ini sebagai suatu proses yang selalu dalm keadaan bergerak, yaitu :
Uppada
----------------à thiti -----------------à bhanga
(timbul)
(berlangsung)
(berakhir/lenyap)
Terdapat
dua faktor, yaitu pembentuk (uppada) dan penghancur (nirodha) yang berlangsung
secara terus-menerus dan tidak pernah berhenti walaupun sekejap. Sejak
permulaan sesuatu itu tercipatakan atau terbentuk, kehancuran telah
membayanginya dan dapat dipastikan suatu saat akan kembali hancur tak berbekas.
Ketidak-kekalan
(anicca) bukanlah suatu ajaran dalam agama Buddha yang direka-reka atau
dibuat-buat, melainkan sudah jelas sekali dalam kehidupan kita sehari-hari.
Oleh karena kemelakatan yang disebabkan oleh ketidak-tahuan (avijja), maka kita
tidak mampu melihat kesunyataan.
Tubuh
dan pikiran adalah sesuatu yang dianggap sebagai fenomena yang terlihat
secara jasmani dan rohani. Setiap waktu dari kesadaran dianggap sebagai bentuk
dari sebab akibat, namun karena ketidak setabilan menyebabkan tidak terlihat[15].
Misal, ada seorang yang mengendarai sepeda selama duapuluh tahun. Ia sangat
rajin merawat sepeda itu, setiap kali ada yang rusak ia perbaiki sehingga ia
beranggapan bahwa sepeda yang dinaikinya ini masih sama dengan yang ia naiki
dua puluh tahun lalu. Anggapan semacam ini tidak benar, karena keliru
menafsirkan kata “sama” dan “utuh/awet”.
Di dalam
kitab Suci Tipitaka dijelaskan bahwa ketika seorang siswa telah menembus
kesunyataan atau dhamma, ia akan menyadari : “yamkinci uppadadhammang
sabbang tang nirodadhammang” [ segala sesuatu yang berbentuk pastilah
akan lenyap]. Penembusan yang sempurna terhadap kesunyataan ini hanya dapat
dilakukan apabila kita sudah tidak mempunyai keinginan (tanha) terhadap apapun.
Selama kita belum bisa melepaskan tanha, selama itu pula kita akan terbutakan
(sakkayaditthi). Itulah yang menyebabkan kita tidak menyadari corak
ketidak-kekalan dari segala sesuatu yang wujud atau sankhara.
Bagaimana
anicca ini berbicara tentang “waktu”, dari penejelasan sebeumnya dikatakan
bahwa tidak mengenal waktu dan tempat. Anggapan tentang masa lalu, masa
sekarang dan yang akan datang hanya ada, karena jika kita menghubungakan
sesuatu yang bersifat tetap. Misal A ini ada di masa lalu, masa kini dan nanti,
anggapan tentang sesuatu yang tetap inilah yang menyebabkan anggapan tentang
“waktu”. Namun, selama kita mempunyai tanha, yang menyebabkan kita
sakkayaditthi, selama itu pula anggapan tentang waktu tidak dapat
dipatahkan[16].
Dalam
kitab Samyutta Nikaya II : 49, diuraikam : segala sesuatu yang menwujud, ia
akan berlalu dan lenyap menurut kodrat yang sewajarnya. Hukum ini meliputi
segala sesuatu, siapa saja, baik makhluk yang paling berkuasa maupun makhluk
yang paling lemah dan tidak berdaya.
Dalam
ajaran Buddha, tidak ada yang disebut “makhluk”, tapi yang ada hanyalah “BHAVA”
yaitu perwujudan dan perkembangan yang tidak pantang berhenti. Setiap sesuatu
yang mewujud adalah akibat sebab-musabab yang mendahuluinya. Sebab-musabab tadi
saling berhubungan satu sama lain dan selalu berubah-ubah.
Demikianlah
bentuk materi, demikianlah kejadiannya, demikianlah cara lenyapnya dan
selanjutnya demikian pula dengan ketiga kelompok lainnya, yakni pencerahan,
pikiran dan kesadaran. Sebenarnya penyempurnaan yang tertinggi dari kehidupan
rohani adalah hasil dari pencerapan yang sewajarnya terhadap sifat timbul dan
lenyapnya perasaan yang kontak melalui ke-enam pintu-pintu indranya. Ke-enam
macam sentuhan indra inilah yang merupakan sebab dari samsara yang
terus-menerus, dengan lain kata, ialah BHAVA atau dumadi yaitu timbul-lenyapnya
arus penjelmaan dan selanjutnya hal itu dikenal sebagai unsur pergolakan
Sankhara yang terpenting.
1. 2. Sabbe
Sankhara Dukkha
Dukkha[17]
ini sering diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai penderitaan, merupakan
corak yang khas dari semua kehidupan (samsara) yaitu tentang
ketidaksempuranaan. Semua bentuk yang mewujud adalah tidak sempurna[18].
Segala
sesuatu yang tidak kekal menimbulkan penderitaan atau penderitaan itu terjadi
karena adanya perubahan yang terus-menerus. Segala sesuatu pasti berubah, cepat
atau lambat dan kemudian menjadi lapuk atau rusak.
Sarjana-sarjana
Barat sering menggunakan kata sorrow, ill, suffering untuk
menterjemahkan kata Dukkha. Akan tetapi tidak ada satu katapun yang tepat untuk
menterjemahkan kata Dukkha, dalam bahasa Inggris tidak mencakup keseluruhan
dari maknanya karena biasanya maknanya itu terlalu khusus, terbatas, dan
sempit. Namun, makna dari Dukkha dapat diartikan suatu perasaan atau pikiran
yang tidak puas, yang timbul karena tidak tercapainya suatu keinginan atau yang
timbul karena perubahan-perubahan yang senantiasa terjadi di dalam ataupun di
luar diri kita[19].
Buddha
Gotama memformulasikan tentang Dukkha ini, kelahiran merupakan dukkha,
kesakitan dan kematian adalah dukkha, berkumpul dengan sesuatu yang tidak
disenangi adalah dukkha, gagal dalam sesuatu yang dicita-citakan adalah dukkha,
singkatnya kelima kelompok kehidupan jasmani dan rohani yang disebut Pancakkhandha.
Menurut
Buddha, permulaan, kelangsungan dan pengakhiran dari suatu keadaan yaitu
seluruh alam (loka) dari tiap makhluk hidup, adalah berpusat pada pribadinya
sendiri, yakni kelima kelompok kehidupan merupakan pribadi yaitu terdiri atas
rupa (jasmani), vedana (perasaan), sanna (pencerapan), sankhara
(bentuk-pikiran), dan vinnana (kesadaaran). Bentuk jasmani ini, sebagaimana
yang kita ketahui terdari dari empat unsur materi yang besar, yaitu cair (apo),
panas (tejo), gerak (vayo), dan padat (pathavi). Keempat unsur pokok ini,
terikat oleh hukum-hukum alam semseta yang berkenan ketidak-adilan.
Dukkha
adalah sudah lazim mengikuti kesunyataan tentang anicca dan tidak terdapat
sesuatu inti yang kekal, yang dapat kita pegang sebagai jasmani untuk
memperoleh ketentraman dan kepuasaan. Tanha membuat orang ingin menguasai dunia
dan hati kita melekat kepadanya, akan tetapi dunia ini selalu lolos dan
meninggalkan kita, sebelum menyadarinya sehingga membuat kita bersedih dan
berduka karenanya.
Yang
menimbulkan Dukkha menurut hukum Pattica-samuppada yaitu :
1. Tanha diikuti oleh Upadana
Tanha
adalah keinginan, kehausan atau kerinduan dan Upadana adalah yang melekat atau
ikatan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.
1. Upadana diikuti oleh Bhava
Bhava
adalah sesuatu yang terbentuk, maksud di sini adalah proses terbentuknya
kehidupan. Adanya kelahiran kembali karena ada upadana atau ikatan di kehidupan
sebelumnya (proses Kamma).
1. Bhava diikuti oleh Jati, Jaramarana dsb
Jika
Bhava (proses kehidupan atau arus perwujudan) ini terbentuk, maka timbullah
kelahiran, usia, tua, kematian, mengalami sukses dan kegagalan, harapan dan
kekecewaan. Dengan demikian timbullah segala macam penderitaan.
Apabila
kita berhasil menaklukan “tanha”, maka tidak akan muncul “upadana” karena mana
mungkin timbul keterkaitan kalau tidak ada keinginan. Berhentinya keterikatan
atau kemelakatan berarti berhenti pula arus penjelmaan. Bila arus penjelmaan
berhenti, maka berhenti pula tumiba lahir (jati), begitu pun usia tua,
kelapukan, kematian (jaramarana) dan segala penderitaan. Semua penderitaan
telah dilenyapkan. Tassayeva tanhaya asesa viraga-nirodha yaitu lenyapnya semua
keinginan secara mutlak, inilah yang dinamakan “NIBBANA”[20].
1. 3. Sabbe
Sankhara Anatta
Setelah
membahas kedua uraian dari hukum tilakhana, kita sebetulnya sudah mendapatkan
arahan dasar pelajaran agama Buddha tentang pengertian dari Anatta yaitu
tanpa-aku atau tidak ada suatu subtansi. Arti lainnya adalah bahwa segala
sesuatu tidak mempunyai inti yang kekal abadi, atau tidak adanya existensi
pribadi. Umat agama Buddha sendiri mengakui, bahwa kata anatta ini banyak
menimbulkan perdebatan dan salah paham juga menyebabkan multi tafsir mengenai
makna dari kata anatta.
Tanpa
pengertian atau pengetahuan mengenai arti dari anatta adalah tidak mungkin
mengerti pemikiran agama Buddha. Ajaran pokok ini menjelaskan tentang penolakan
mengenai kenyataan dari aku atau jiwa yang mendiami individu, suatu kesatuan
yang lahir.
Setidaknya
anatta di terangkan dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu :
1. Tidak terlalu mementingkan diri sendiri.
2. Kita tidak dapat memerintah siapa dan apa saja,
termasuk tubuh-jasmani dan pikiran kita supaya tetap seperti yang kita
inginkan.
3. Bila tingkatan pengetahuan tinggi dicapai dan
memperaktekan akan mengetahui dan menemukan bahwa jasmani dan batinnya sendiri
adalah tanpa “aku”, atau tanpa pribadi. Orang yang telah mencapai kebijaksanaan
tertinggi, ia tidak terikat dengan apapun dimanapun dia berada[21].
Daftar
Pustaka
Majelis
Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. Jakarta : Majelis
Buddhayana Indonesia. 1980
Minato,
Shiba. The Teaching of Buddha. Tokyo : Bukkyo Dendo Kyokai, 1981
Prebish,
Charles S. dan Damien Kewon. Introducing Buddhism. New York : Routledge.
2nd. 2010
Sri
Dhammananda, K.. What Buddhists Believe. Taiwan : The Corporate Body of
the Buddha Educational Foundation. 5th. 1993
The
Buddhist Missionary Society. The Buddha and His Teachings. Kuala Lumpur
: The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation. 3rd. 1977
T, Drs.
Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia. 1995
[1] Dalam
bahasa Sansakerta Karma.
[2]
Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. (Jakarta :
Majelis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 143
[3] The
Buddhist Missionary Society. The Buddha and His Teachings. (Kuala Lumpur
: The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation, 1977) 3rd, h. 348
[4] K.
Sri Dhammananda. What Buddhists Believe. (Taiwan : The Corporate Body of
the Buddha Educational Foundation, 1993), 5th., h. 87
[5]
Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. h. 143-144
[6] Lihat
Drs. Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana. (Jakarta : Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia, 1995) h. 70- seterusnya.
[7] The
Buddhist Missionary Society. The Buddha and His Teachings. (Kuala Lumpur
: The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation, 1977) 3rd, h. 344
[8] Lihat
Compendium of Philosophy, h. 191, Manual of Abhidhamma oleh Narada Thera.
[9]
Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. h. 146-147
[10]
Charles S. Prebish dan Damien Kewon. Introducing Buddhism. (New York :
Routledge, 2010) h. 17-20
[11] The
Buddhist Missionary Society. The Buddha and His Teachings. 3rd, h. 333
[12]
Dalam bahasa Pali
[13]
Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. h. 149-192
[14]
Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. h. 225
[15]
Lihat Drs. Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana. h. 60
[16]
Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. h. 228-229
[17]
Dukkha dalam bahasa Pali, sangat sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
secara tepat.
[18]
Lihat Drs. Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana. h. 59
[19]
Shiba Minato. The Teaching of Buddha. (Tokyo : Bukkyo Dendo Kyokai,
1981) h. 82-85
[20]
Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. h.238-245
[21] Drs.
Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana. h. 61
KEYAKINAN
TERHADAP KITAB SUCI
TRIPITAKA
(SUTRA PITAKA,
VINAYA PITAKA, ABIDHARMA PITAKA
DAN
BAGIAN-BAGIANNYA)
Oleh :
Dede Ardi
Hikmatullah
NIM :
1111032100037
A.
PENDAHULUAN
Setiap agama pasti memiliki sesuatu yang dikategorikan sebagai ‘kitab
suci’. Kitab suci merupakan salah satu unsur penting di dalam sebuah agama. Karena
dari kitab suci itulah kita dapat mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan
agama yang bersangkutan, seperti konsep ketuhanan, ajaran, ritual-ritual
peribadatan, hukum dan peraturan, dan banyak lagi yang lainnya. Selain sebagai
unsur, kitab suci juga dapat dikatakan sebagai ‘jendela’ yang bisa digunakan
untuk melihat lebih jauh sebuah agama. Banyak ahli yang dapat mengetahui dan
memahami sebuah agama secara mendalam hanya dengan mengkaji kitab sucinya. Dari
sini kita bisa melihat betapa pentingnya peran sebuah kitab suci dalam sebuah
agama.
Terlepas dari benar atau salahnya suatu hal yang terdapat di dalam
sebuah kitab suci, kita tidak bisa memungkiri bahwa dari situlah sebenarnya
agama terbentuk. Permasalahan mengenai suatu kitab suci itu merupakan ‘wahyu’
Tuhan atau hanya ‘buatan’ manusia, tidaklah seharusnya menjadi persoalan yang
harus kita kaji. Karena terkadang masing-masing agama tertentu memiliki
penjelasan tertentu berkaitan dengan pengertian kitab suci tersebut. Hal ini
menyebabkan pengertian kitab suci menurut agama yang satu berbeda dengan
pengertian kitab suci menurut agama yang lain.
Sebagai contoh, kitab suci agama Buddha. Dalam agama Buddha tidak
ada pengklaiman bahwa kitab suci mereka merupakan ‘wahyu’ Tuhan, karena agama
Buddha sendiri tidak secara khusus membahas dan mengajarkan konsep ketuhanan. Dalam
agama Buddha hanya diajarkan bahwa semua yang terdapat dalam kitab suci mereka
merupakan perkataan-perkataan dari sang Buddha Gautama yang berbentuk khotbah, keterangan,
peraturan, syair, percakapan sang Buddha dengan siswanya, dan lain-lain. Sang
Buddha sendiri hanya seorang manusia yang kemudian mendapatkan ‘pencerahan’,
sehingga menjadi suci. Perkataan-perkataan yang dianggap suci ini kemudian
dikumpulkan dan dijadikan kitab suci.
Pembentukan kitab suci ini tidaklah singkat. Perkataan-perkataan
tersebut tentu tidak langsung berbentuk tulisan. Karena sekitar empat abad,
agama Buddha hidup dari ‘tradisi’ yang diteruskan secara lisan oleh pemimpin-pemimpin
agama Buddha yang hidup pada abad-abad
pertama yang kemungkinan merupakan siswa dan pengikut sang Buddha. Kemudian
dilakukanlah pengumpulan-pengumpulan tradisi yang diteruskan secara lisan tadi,
seperti khotbah-khotbah, kata-kata mutiara, syair, cerita-cerita,
peraturan-peraturan, dan lain-lain. Pengumpulan tersebut kemudian dikelompokkan
menjadi tiga kelompok yang dikenal sebagai ‘pitaka’, yang secara bahasa berarti
‘keranjang’. Tiga kelompok pitaka yang berhasil dikumpul itu terdiri
dari: Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka, Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau
Abbidhamma Pitaka[1].
Ketiga ‘pitaka’ inilah yang mereka klaim sebagai kitab suci yang kemudian
disebut “Tripitaka”.
Memang ada beberapa poin utama yang seharusnya kita pahami mengenai
kitab suci Tripitaka ini, seperti pengertiannya, sejarah penulisannya,
kanonisasinya, serta penjelasan mengenai bagian-bagian dari Tripitaka itu
sendiri. Namun karena keterbatasan, makalah ini hanya akan membahas mengenai
pembagian Tripitaka dan penjelasannya.
B.
KITAB SUCI TRIPITAKA
Ajaran
agama Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan khotbah,
keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan sang Buddha
dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya
tidak hanya berasal dari kata-kata sang Buddha sendiri melainkan juga kata-kata
dan komentar-komentar dari para siswanya[2].
Oleh para siswanya sumber ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar
yang dikenal dengan ‘pitaka’ (keranjang), yaitu Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka,
Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau Abbidhamma Pitaka.
a.
Sutra Pitaka
Sutra (bahasa Sansakerta) atau Sutta (bahasa Pali) mempunyai arti
sederhana yaitu ‘benang’. Benang adalah tali halus yang dipintal dari kapas
atau sutera, yang gunanya untuk menjahit atau merangkai sesuatu. Setiap khotbah
Hyang Buddha seperti kata-kata yang dirangkai menjadi satu dengan indah dan
satu sama lain tidak dapat dipisahkan, tidak acak-acakan serta tidak saling
bertentangan, oleh sebab itu khotbah Hyang Buddha disebut ‘sutra’[3].
Sutra-sutra itu dikumpulkan dan disusun menjadi satu disebut Sutra Pitaka.
Sutra Pittaka sendiri berisi dharma (dalam bahasa Pali: dhamma)
atau ajaran Buddha kepada muridnya[4].
Kitab Sutra Pitaka juga memuat uraian-uraian tentang cara hidup yang berguna
bagi para bhikku atau biksu dan pengikut yang lain.[5] Kitab
ini terdiri atas lima 'kumpulan'
(nikaya) atau buku, yaitu:[6]
- Dighanikaya, Dighanikaya terdiri dari 34 sutra panjang terbagi menjadi tiga vagga :
Sîlakkhandhavagga, Mahavagga dan Patikavagga. Beberapa di antara sutta-sutta
yang terkenal ialah : Brahmajala Sutta (yang memuat 62 macam pandangan salah),
Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang petapa), Sigalovada
Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan sehari-sehari umat
berumah tangga), Mahasatipatthana Sutta (memuat secara lengkap tuntunan untuk
meditasi Pandangan Terang, Vipassana), Mahaparinibbana Sutta (kisah mengenai
hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama)
- Majjhimanikaya, merupakan
buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri
atas tiga bagian (pannasa); dua pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannasa
terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta
di antaranya ialah : Ratthapala Sutta, Vasettha Sutta, Angulimala Sutta,
Anapanasati Sutta, Kayagatasati Sutta dan sebagainya.
- Angutaranikaya, merupakan
buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipata (bagian) dan
meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk
memudahkan pengingatan.
- Samyuttanikaya, merupakan
buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi
menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.
- Khuddakanikaya, terdiri atas 15 kitab.
a. Khuddakapatha, berisi empat teks: Saranattaya,
Dasasikkhapada, Dvattimsakara, Kumarapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana,
Tirokudda, Nidhikanda dan Metta Sutta.
b. Dhammapada, terdiri
atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
c. Udana, merupakan
kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga. Kitab ini
memuat ucapan-ucapan Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.
d. Itivuttaka, berisi
110 sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttam hetam bhagava
(demikianlah sabda Sang Bhagava).
e. Sutta Nipata, terdiri
atas lima vagga : Uraga, Cûla, Maha, Atthaka dan Parayana Vagga. Empat vagga
pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima terdiri atas enam
belas sutta.
f. Vimanavatthu, menerangkan
keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh melalui
perbuatan-perbuatan berjasa.
g. Petavatthu, merupakan
kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam Peta akibat dari
perbuatan-perbuatan tidak baik.
h. Theragatha, kumpulan
syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa
syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang
diucapkan oleh para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.
i. Therigatha, buku
yang serupa dengan Theragatha yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri
semasa hidup Sang Buddha.
j. Jataka, berisi
cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu.
k. Niddesa, terbagi
menjadi dua buku : Culla-Niddesa dan Maha-Niddesa. Culla-Niddesa berisi
komentar atas Khaggavisana Sutta yang terdapat dalam Parayana Vagga dari Sutta
Nipata; sedang Maha-Niddesa menguraikan enam belas sutta yang terdapat dalam
Atthaka Vagga dari Sutta Nipata.
l. Patisambhidamagga, berisi uraian skolastik tentang jalan
untuk mencapai pengetahuan suci. Buku ini terdiri atas tiga vagga : Mahavagga,
Yuganaddhavagga dan Paññavagga, tiap-tiap vagga berisi sepuluh topik (katha).
m. Apadana, berisi
riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang
semuanya hidup pada masa Sang Buddha.
n. Buddhavamsa, terdiri
atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan
Buddha Gotama adalah yang paling akhir.
o. Cariyapitaka, berisi
cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu dalam
bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 paramî yang dijalankan oleh
Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariya.
Kitab
Sutra Pitaka ini juga tidak hanya memuat ucapan-ucapan Buddha Gautama saja
melainkan ucapan para thera semasa hidupnya, dan juga riwayat hidup dari
para bhikku dan bhikkuni. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah
kitab Dhammapada yang mengutarakan peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan Buddha dan cara yang diajarkannya untuk menyembuhkan penyakit yang
terdapat dalam diri manusia. Buku ini terdiri atas 423 syair dan sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia. Selain Dhammapada juga ada kitab Udana
yang berisi ucapan-ucapan Buddha yang disampaikan pada berbagai kesempatan, theragata
yang merupakan kumpulan syair yang disusun oleh para thera semasa Buddha
masih hidup. Beberapa syair berisi riwayat hidup para thera, dan lainnya
berisi pujian yang diucapkan para thera atas pembebasan yang telah
mereka capai. Riwayat hidup Buddha yang terdahulu dan kehidupan dari 25 Buddha
lainnya juga diceritakan dalam Sutranikaya ini, terutama kitab-kitab Jataka,
Apadana, Buddhavamsa, dan Cariya Pitaka.[7]
b.
Vinaya Pitaka
Winaya
Pittaka berisi peraturan-peraturan untuk mengatur tata tertib sangha
atau jemaat, kehidupan sehari-hari para biksu atau bhikku atau rahib,
dan sebagainya[8].
Selain itu, kitab suci Vinaya Pitaka ini juga berisi peraturan-peraturan bagi
para Bhikku dan Bhikkuni.[9] dan terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka, dan
Parivawa[10].
- Kitab Sutra Vibanga berisi
peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227
peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat
pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari sangha
dan tidak dapat menjadi bhikkhu
lagi seumur hidup. Keempat
pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau
menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar
tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang
dicapai. Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang
lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya
pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan
yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
- Kitab Khandaka terbagi
atas Mahavagga dan Cullavagga. Kitab Mahavagga berisi peraturan-peraturan dan
uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan
purnama dan bulan baru di mana dibacakan Patimokkha (peraturan disiplin bagi
para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa),
upacara pada akhir vassa (pavarana), peraturan-peraturan mengenai jubah Kathina
setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang
tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha),
dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan. Sedangkan Kitab Cullavagga berisi
peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara
penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan
pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang
timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah,
menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai
perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan
calon bhikkhu (samanera), pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha,
penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama
di Rajagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali
- Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan Vinaya yang
disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.
Skema umum isi
Vinaya Pitaka[11]:
- Bagian yang berhubungan
dengan Pratimoksa atau Patimokha, yaitu peraturan-peraturan untuk para biksu
atau bikkhu yang dinamakan ‘bagian bhikku’ (bhikku vibhanga).
- Bagian yang sama untuk para bhikkuni.
- Suatu bagian yang dinamakan ‘khandhaka’ (kelompok), tiap-tiap
kelompok berhubungan dengan suatu aspek khusus mengenai kehidupan dari sangha,
seperti pentahbisan, upasattha, memenuhi ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan pakaian, jubah, obat-obatan, makanan, tempat tinggal, dan
lain sebagainya.
c.
Abbidharma Pitaka
Abidharma atau abhidhamma adalah susunan ceramah dan perkembangan
logika tentang dharma dari ajaran Hyang Buddha, membahas filsafat dan
metafisika, juga sastra, memberikan definisi kata-kata Buddha Dharma,
dan penjelasan terperinci mengenai filsafat dengan sistematis, memantapkan
suatu metode mengenai latihan spiritual oleh para sesepuh dari aliran atau
sekte pada waktu itu, kumpulan dari kitab Abidharma ini dinamakan
Abidharma Pitaka[12].
Sehingga Abbidharma Pitaka berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakikat
dan tujuan hidup manusia, ilmu pengetahuan yang membawa pada kelepasan dan lain
sebagainya[13].
Abbidharma
Pitaka juga berisi uraian filsafat Buddha-dharma yang disusun
secara analitis dan mencakup berbagai bidang seperti ilmu jiwa, sastra, logika,
etika, dan metafisika. Kitab ini terdiri dari 7 buah buku, yaitu:
Dhammasangani, Vibhanga, Dathukatha, Puggalapannatti, Kathavatthu, Yamaka, dan
Patthana. Berbeda dengan kitab Sutra Pitaka dan Vinaya Pitaka yang menggunakan
bahasa naratif, sederhana dan mudah dimengerti umum, gaya bahasa kitab
Abbidharma Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis[14]. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku
(pakarana), yaitu :
1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat
dari sudut pandangan ilmu jiwa.
2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam
buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan
bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhajaniya,
Abhidhannabhajaniya dan Pññapucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
3. Dhatukatha, terutama membicarakan mengenai
unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas
bagian.
4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak
manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok
satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikaya.
5. Kathavatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang
merupakan kumpulan percakapan-percakapan (katha) dan sanggahan terhadap
pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal
yang berhubungan dengan theologi dan metafisika.
6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang
disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya,
Citta, Dhamma dan Indriya.
7. Patthana, menerangkan mengenai
"sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya
(hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).
Namun,
selain pengelompokan di atas, kitab-kitab agama Buddha juga dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu kitab-kitab Sutra dan kitab-kitab Sastra. Kitab Sutra
adalah kitab-kitab yang dipandang berisi
ucapan Buddha sendiri meskipun ditulis jauh sesudah ia meninggal dunia,
sedangkan kitab Sastra adalah uraian-uraian yang ditulis oleh para tokoh yang
ternama. Uraian-uraian tersebut biasanya disusun secara sistematis[15].
Menurut
aliran Hinayana yang dianggap sebagai kitab-kitab Sutra ialah kitab-kitab yang
dulu dikumpulkan pada Muktamar Buddhis pertama, sekitar tahun 383 S.M. Dan
semua kitab yang muncul setelah itu tidak diakui keasliannya. Namun, berbeda
dengan Hinayana, aliran Mahayana berpendapat bahwa kitab-kitab Sutra yang
muncul setelah Muktamar pertama pun dipandang asli dan diyakini diucapkan oleh
sang Buddha sendiri.
Dengan
demikian, berkaitan dengan kitab suci
Tripitaka yang merupakan sumber ajaran agama Buddha seperti yang telah
diterangkan di atas, ada dua pandangan
yang beda, yakni antara golongan Theravada dan Mahayana. Golongan pertama
menganggap bahwa kitab Tripitaka yang dikumpulkan pada Pasamuan Agung yang
pertama tahun 483 S.M. saja yang dapat dianggap sebagai ajaran yang diajarkan
sendiri oleh Buddha, sedangkan golongan Mahayana selain menerima Tripitaka
sebagai sumber ajarannya juga menjadikan kitab-kitab Sutra dan Sastra sebagai
sumber ajarannya. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah Karandavyriha,
Sukhavatiyuha, Lalitavistara, Mahayanacradhautpada, Saddharmapundarika,
Madyamika-sutra, Yogacara-bhumi-sastra, Milindapanha, dan lain-lain[16].
C.
PENUTUP
Dari paparan di atas, sekiranya teranglah bahwa memang suatu agama
akan memiliki pandangan khusus mengenai kitab sucinya. Pandangan itu memang
tidak akan sama, namun demikianlah kitab suci sebagai unsur penting agama
ditempatkan dalam agama. Agama Buddha dengan pandangan sendiri, menempatkan
Tripitaka sebagai kitab suci yang didalamnya memuat ‘perkataan-perkataan’ sang
Buddha Gautama di tempatkan pada kedudukan khusus. Kitab suci ini memang
memiliki sejarah yang tidak singkat, di mulai dengan di hafal secara lisan oleh
siswa-siwa dan pengikut sang Buddha, dikumpulkan oleh para pemuka-pemuka agama
saat itu, ditulis dan dibentuk sehingga menjadi sebuah ‘kitab’, dan selanjutnya
kemudian di kanosisasikan.
Kitab suci Tripitaka milik agama Buddha ini tidak serumit seperti
halnya kitab suci milik agama Hindu. Tripitaka hanya terdiri dari tiga kelompok
-yang disebut ‘keranjang’ (pitaka)- yang didalamnya juga terbagi lagi ke dalam
bagian-bagian yang lebih spesifik.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman. 1983. Antropologi
Agama. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Hadiwijono, Harun. 2010. Agama
Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Romdhon, dkk. 1988. Agama-Agama
di Dunia. Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
T., Suwarto. 1995. Buddha Dharma
Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Www.google.com
[1]
Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
2010), h. 63
[3]
Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. (Palembang: Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 844
[4]
Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[5]
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1983), h. 215
[7] Romdhon,
dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
[8] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha. h. 63
[9] Hilman
Hadikusuma, Antropologi Agama, h.214
[10]
Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 112
[11] Suwarto
T., Buddha Dharma Mahayana. h. 843
[12] Suwarto
T., Buddha Dharma Mahayana. h. 844
[13] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[14]
Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
[15] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 64
[16]
Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
Nibbana
Oleh
Fadilati Haqiqi
A.
Pengertian
jalan menuju Nibbana
Jalan menuju ke Nibbana adalah jalan tengah (Majjima Patipada)
yang menghindari ekstrim penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim
pengumbaran nafsu yang menghalangi kemajuan moral.[1] Bodhisatva
pangeran Siddharta Gotama, melalui pengalaman-pengalamannya sendiri telah
menemukan jalan tengah yang telah menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang
membawa beliau ke keterangan. Pengertian benar, kesadaran Agung dan Nibbana.
Pada hakekatnya seluruh ajaran YMS Buddha Gotama, dengan yang disiarkan nya
sendiri untuk 45 tahun lamanya, dalam satu dan lain cara ada hubungannya dengan
jalan ini.[2]
Hal ini dilakukan oleh Buddha Gotama dan beliau hanya tidur satu jam setiap
harinya. Selama 45 tahun menyampaikan Dhamma kepada setiap orang setiap orang
dengan penuh rasa kasih sayang. Setiap pagi beliau melihat sekeliling alam,
memberikan berkah cinta kasih dan kasih sayang yang sempurna; membawa
kebahagiaan dan membimbing berjuta-juta umat manusia untuk maju menuju pembebasan
mutlak ialah Nibbana.[3]
Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara, dengan memakai aneka perkataan
kepada bermacam-macam orang, sesuai dengan tingkatan pengetahuan masing-masing
dan kesanggupan mereka untuk mengerti dalam mengikuti beliau. Sari dari ribuan
sutta dalam kitab suci agama buddha adalah mengenai delapan ruas jalan utama. Ruas jalan (magganga) ini tidak
harus dilakukan menurut nomor urutan dari susunan yang kesatu sampai ke
delapan. Ini tergantung dengan keadaan dan kesanggupan tiap-tiap orang. Karena
ruas jalan itu satu sama lain bergantungan dan saling bantu-membantu. Jalan
tengah adalah jalan yang menuju lenyapnya penderitaan. Ada delapan jalan dalam
melakukan jalan tengah ini.[4]
Jalan tengah disebut juga jalan utama.[5] Buddha pun mengetahui bahwa tidak semua
manusia memiliki kemampuan yang sama untuk seketika mencapai kematangan
spiritual. Jadi ia menjelaskan secara rinci Jalan Mulia Berfaktor delapan
untuk perkembangan bertahap cara hidup
spiritual dalam cara yang praktis. Ia tahu bahwa tidak semua orang dapat
menjadi sempurna dalam satu kehidupan. Ia berkata bahwa sila, samadhi, panna
harus dan dapat dikembangkan dalam banyak masa kehidupan dengan usaha yang
tekun. Jalan ini akhirnya menuju pada pencapaian kedamaian tertinggi dimana
tiada lagi dukha.[6]
B.
Jalan
untuk mencapai Nibbana
Ada delapan jalan (cara) untuk mencapai Nibbana. Delapan ruas jalan
utama dan jalan tengah itu lazim disebut tiga golongan yang lebih besar, yaitu:
Sebagai
langkah pertama, kita menghindarkan diri dari perbuatan yang buruk dan
merugikan. Jika kita menjalankan Sila, tidak menjalankan kejahatan apapun juga,
maka api keinginan itu tidak akan memperoleh umpan baru. Oleh karena itu,
keinginan haruslah dilemahkan dan dilawan.[8]
Sila meliputi:
a.
Ucapan
Benar (Samma Vacca)[9]
Ucapan benar meliputi hormat akan kebenaran dan hormat akan
kesejahteraan orang lain. Hal ini berarti menghindari berdusta, memfitnah,
berkata kasar, dan beromong kosong. Kita sering menganggap remeh kekuatan
ucapan dan cenderung kurang mengendalikan ucapan kita. Tapi kita semua pernah
terluka oleh kata-kata seseorang pada suatu waktu dalam hidup kita, dan juga
pernah tersemangati oleh kata-kata orang lain. Kata-kata kasar dapat melukai
lebih dalam daripada senjata, sedangkan kata-kata halus dapat mengubah
hati dan pikiran penjahat yang paling
keji. Jadi untuk mengembangkan suatu masyarakat yang harmonis, kita harus
mengendalikan, membudayakan, dan menggunakan ucapan kita secara positif. Kita
mengucap kata-kata yang penuh kebenaran, membawa harmoni, baik, dan penuh
makna. Buddha pernah berkata, “Ucapan yang menyenangkan itu manis bagai madu,
ucapan yang penuh kebenaran itu indah bagai bunga, dan ucapan yang salah itu
tidak berguna seperti sampah”.[10]
Syarat-syarat Ucapan benar:
Ø Kata-kata itu benar
Ø Kata-kata itu beralasan
Ø Kata-kata itu berfaedah
Ø Kata-kata itu tepat pada waktunya
Ucapan benar duniawi (lokiya samma vaca), yaitu:
Ø Menghindari kedustaan
Ø Menghindari pergunjingan
Ø Menghindari kata-kata kasar/kotor
Ø Menghindari omong kosong
Ucapan benar luhur (lokuttara samma vaca), yaitu Tidak melakukan empat jenis ucapan salah.
Hubungan dengan ruas jalan lain, yaitu:
Ø Pandangan terang: menyelami ucapan salah sebagai salah dan ucapan
benar sebagai benar
Ø Daya upaya benar: berdaya upaya mengatasi ucapan salah dan membina
ucapan benar
Ø Perhatian benar: mengatasi ucapan salah dengan pikiran sadar serta
memiliki ucapan benar dengan pikiran sadar.[11]
b.
Perbuatan
Benar (Samma kammanta)[12]
Perbuatan
benar melibatkan rasa hormat pada kehidupan, hormat pada kepemilikan, dan
hormat pada hubungan pribadi. Hal ini berkaitan dengan tiga prinsip pertama
dari Lima sila yang harus dijalani oleh setiap umat Buddha, yaitu pantang:
membunuh, mencuri, dan berasusila. Hidup itu bernilai bagi semua makhluk, semua
gentar pada hukuman, semua takut akan kematian, dan menghargai kehidupan. Karena
itu sebaiknya kita menjauhkan diri dari mengambil kehidupan yang kita sendiri
tidak dapat berikan dan kita sebaiknya tidak menyakiti makhluk lainnya. Hormat
pada kepemilikan berarti bahwa kita sebaiknya tidak mengambil apa yang tidak
diberikan dengan mencuri, menipu, atua memaksa. Hormat pada hubungan pribadi
berarti bahwa kita sebaiknya tidak melakukan perilaku seksual yang menyimpang,
yang mana hal ini penting untuk memelihara kehormatan dan kepercayaan orang
yang kita cintai serta membuat masyarakat yang lebih baik untuk ditinggali.[13]
Untuk perbuatan benar duniawi (Lokiya Samma Vaca), yaitu:
Ø Menghindari pembunuhan
Ø Menghindari pencurian
Ø Menghindari perjinahan
Untuk perbuatan benar luhur (Lokuttara Samma Vaca), yaitu: Tidak melakukan tiga perbuatan salah, dan berhubungan dengan jalan
suci.
Hubungan dengan ruas jalan:
Ø Pandangan benar: menyelami perbuatan salah sebagai salah dan
perbuatan benar sebagai benar
Ø Daya upaya benar: berdaya upaya untuk mengatasi perbuatan salah dan
membina perbuatan benar
Ø Perhatian benar: mengatasi perbuatan salah dengan pikiran sadar
serta memiliki perbuatan benar dengan pikiran benar.[14]
c.
Penghidupan
atau Mata Pencaharian Benar (Samma ajiva)[15]
Penghidupan
benar adalah faktor sikap moral mengenai bagaimana kita mencari nafkah dalam
masyarakat. Hal ini merupakan sambungan dari kedua faktor lainnya, perkataan
benar dan perbuatan benar. Penghidupan benar berarti kita sebaiknya mencari
nafkah tanpa melanggar prinsip-prinsip sikap moral ini. Umat Buddha tidak
dianjurkan untuk terlibat dalam lima jenis mata pencaharian ini: perdagangan
makhluk, perdagangan senjata, perdagangan daging yang menyebabkan pembinasaan
hewan, perdagangan minuman keras, dan narkotika, serta perdagangan racun.
Sebagian orang mungkin berkata bahwa mereka harus melakukan pekerjaan semacam
itu untuk hidup mereka dan, karenanya, mereka tidak bisa dipersalahkan. Tetapi
argumen ini sama sekali tidak berdasar. Jika hal ini sahih, maka pencuri,
pembunuh, bandit, penjahat keji, penyelundup, dan penipu juga bisa berkilah
dengan mudah bahwa mereka juga melakukan perbuatan keliru itu demi penghidupan
mereka dan karenanya, tidak ada yang salah dengan cara hidup mereka.
Sebagian orang percaya bahwa memancing dan berburu binatang untuk kesenangan dan
membantai binatang untuk makanan tidak melawan prinsip-prinsip Buddhis. Ini
adalah kesalahpahaman lain yang muncul karena kurangnya pengetahuan tentang
Dhamma. Semua ini bukanlah tindakan yang layak dan mendatangkan penderitaan
bagi makhluk lain. Tetapi dari semua perbuatan ini, orang yang paling jahat
adalah orang yang melakukan tindakan buruk demi kesenangan semata.
Mempertahankan kehidupan melalui jalan yang salah tidaklah sesuai dengan ajaran
Buddha. Buddha pernah berkata, “Barang siapa hidup seratus tahun kurang
bermoral, tidak kokoh, lebih baik hidup satu hari bermoral luhur, bermedirasi.”
( Dhammapada 110). Lebih baik mati sebagai orang yang beradab dan
terhormat daripada hidup sebagai orang jahat.[16]
Seorang
Bhikhu diharapkan untuk menjalankan empat jenis kesusilaan yang lebih tinggi,
yaitu:
1. Patimokkha
sila - Tata tertib moral yang mendasar.
2. Indriyasamavara
Sila – kesusilaan berkenaan dengan pengendalian indria
3. Ajivaparisuddhi
Sila – Kesusilaan berkenaan dengan kesucian kehidupan
4. Paccayasannissita
Sila – Kesusilaan berkenaan dengan penggunaan keperluan-keperluan hidup.
Empat
jenis kesusilaan ini secara bersamaan disebut Sila Visuddhi (kesucian
kebajikan), yang pertama dari tujuh tingkatan kesucian menuju jalan ke Nibbana.[17]
Tujuh
tingkatan kesucian itu adalah:
1. Sila
Visuddhi – Kesucian perbuatan fisik dan ucapan
2. Citta
Visuddhi – Kesucian kesadaran
3. Ditthi
Visuddhi – Kesucian terhadap pandangan
4. Khanka
Vitara Visuddhi – Kesucian dengan melenyapkan keragua-raguan
5. Maggamagga
Nanadasana Visuddhi – Kesucian tentang jalan yang harus ditempuh
6. Patipada
Nanadasana Visuddhi – Kesucian tentang praktek atau latihan yang dikerjakan
Untuk
mata pencaharian duniawi, orang harus menghindari pencaharian salah dan
melaksanankan mata pencaharian benar, yaitu:
Ø Penipuan
Ø Ketidaksetiaan
Ø Penujuman
Ø Kecurangan
Ø Memungut
bunga yang tinggi (praktek lintah darat).
Harus
menghindari lima macam perdagangan:
Ø Perdagangan
alat-alat senjata
Ø Berdagang
mahluk hidup
Ø Berdagang
daging atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan makhluk-makhluk hidup
Ø Berdagang
minuman yang memabukkan, yang bisa menimbulkan ketagihan
Ø Berdagang
racun.
Untuk
mata pencaharian benar luhur:
Tidak
melaksanakan mata pencaharian yang salah, dan berhubungan dengan jalan suci.
Hubungan
dengan ruas jalan:
Ø Pandangan
benar: menyelami mata pencaharian salah sebagai salah, dan mata pencaharian
benar sebagai benar
Ø Daya
upaya benar: berdaya upaya untuk mengatasi pencaharian salah dan membina mata
pencaharian benar
Ø Perhatian
benar: mengatasi pencaharian salah dengan pikiran sadar serta memiliki mata
pencaharian benar dengan pikiran sadar.[19]
Manusia
dapat melawan dan melemahkan keinginan itu dengan menjalankan meditasi atau
samadhi ialah pengheningan cipta. Dengan samadhi atas cinta kasih dan rasa
persaudaraan yang tak terbatas, kita dapat melemahkan perasaan-perasaan bermusuhan,
membenci, dan iri hati. Dengan bersamadhi kita dapat melemahkan godaan-godaan
untuk mengejar kesenangan.[21] Samadhi
ini meliputi:
a.
Usaha/Daya
Upaya Benar (Samma vayama)
Pengupayaan benar berarti bahwa kita mengembangkan suatu niat
positif dan antusias dalam hal-hal yang kita lakukan, baik dalam karier, studi,
atau praktik Dhamma kita. Dengan
semangat terus menerus dan tekad yang ceria semacam itu, kita akan sukses dalam
hal-hal yang kita lakukan. Ada empat aspek pengupayaan benar, dua aspek mengenai keburukan dan dua lainnya
mengenai kebaikan. Pertama, adalah upaya untuk menolak keburukan yang telah
muncul; kedua, upaya untuk mencegah munculnya keburukan; Ketiga, upaya untuk
mengembangkan kebaikan yang belum muncul; keempat, upaya untuk memelihara
kebaikan yang telah muncul. Dengan menerapkan pengupayaan benar dalam hidup
kita, kita dapat mengurangi dan akhirnya menghapuskan keadaan batin yang buruk
serta meningkatkan dan memantapkan batin yang sehat sebagai hal yang alamiah.[22]
Pelaksanaan
daya upaya benar, adalah:
Ø Mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam batin
dengan sekuat tenaga
Ø Berdaya upaya dengan sekuat tenaga untuk memusnahkan unsur jahat
dan tidak baik di dalam batin
Ø Berdaya upaya untuk membangkitkan unsur baik dan sehat di dalam batin
Ø Berdaya keras untuk mempernyata, memperbanyak, memupuk,
mengembangkan, menyelesaikan unsur-unsur baik dan sehat.[23]
Pengupayaan
benar berhubungan erat dengan penyadaran benar.
Praktik
penyadaran adalah penting dalam ajaran Buddha. Buddha berkata bahwa penyadaran
penuh adalah jalan untuk merealisasi akhir dukha. Penyadaran dapat dikembangkan
dengan selalu menyadari empat aspek khusus. Aspek itu adalah penerapan
penyadaran terhadap tubuh (postur tubuh, bernapas, dan sebagainya), perasaan
(menyenangkan, tak menyenangkan, atau netral), pikiran (tamak, marah, buyar,
terkelabui atau tidak), dan fenomena (rintangan batin, empat kebenaran mulia,
faktor pencerahan, dan sebagainya). Penyadaran itu penting bahkan dalam kita
sehari-hari, tatkala kita bertindak dengan penuh penyadaran akan perbuatan,
perasaan, pikiran, dan kesekitaran kita. Batin sebaiknya senantiasa jernih dan
penuh perhatian, alih-alih kabur dan terpecah.[26]
Perhatian benar ini
merupakan kunci delapan ruas jalan utama, ini terdiri dari latihan-latihan
Vipassana Bhavana (meditasi pandangan terang) yang dapat menghasilkan
penembusan kesunyatan yang diperolehnya tingkat-tingkat kesucian, latihan itu
secara singkat terdiri dari:
1.
Perenungan
terhadap tubuh (Kayanupassana)
a.
Perenungan
terhadap pernapasan
b.
Perenungan
terhadap gerak-gerik tubuh
c.
Perenungan
terhadap isi tubuh
d.
Perenungan
terhadap empat unsur yang merupakan rupakkhanda (unsur padat, cair, panas,
gerak)
e.
Perenungan
terhadap muncul dan lenyapnya tubuh.
Tiap-tiap pernapasan dilakukan dengan sadar.
2.
Perenungan
terhadap perasaan (Vedananupassana), ialah setiap perasaan disadari dengan
seksama, demikianpun muncul lenyapnya perasaan itu.
3.
Perenungan
terhadap perasaan (Cittanupassana)
a.
Menyadari
adanya ketamakan, kebencian, dan kebodohan dalam kesadaran.
b.
Menyadari
bebasnya kesadaran dari ketamakan, kebencian, dan kebodohan.
c.
Menyadari
muncul lenyapnya kesadaran.
4.
Perenungan
terhadap bentuk-bentuk pikiran (Dhammanupassana)
a.
Menyadari
muncul-lenyapnya kekotoran batin yang merintangi kemajuan samadhi
b.
Menyadari
muncul lenyapnya kelima khandha
c.
Menyadari
muncul lenyapnya belenggu-belenggu yang berhubungan dengan enam landasan
indriya (mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan batin)
d.
Merenungkan
empat kasunyatan.
Hasil dari perenungan ini, ialah ditembusnya anatta dan empat
kasunyatan, dengan demikian diperolehnya Tingkat Kesucian.[27]
c.
Konsentrasi
atau Meditasi Benar (Samma samadhi)[28],
atau dapat disebut dengan pengheningan benar.[29]
Sementara
penyadaran benar mengarahkan perhatian kita pada tubuh, perasaan, pikiran, atau
obyek mental kita, atau peka terhadap orang lain, dengan kata lain, menaruh
perhatian pada sesuatu yang kita pilih, pengheningan benar adalah penerapan
sinambung perhatian itu pada suatu obyek tanpa terpecahnya pikiran.
Pengheningan adalah praktik mengembangkan pemusatan pikiran pada satu objek
tunggal, baik fisik maupun mental. Pikiran terserap total pada objek tanpa
terpecah, goyang, cemas, atau bingung. Melalui latihan dibawah bimbingan guru
yang berpengalaman, pengheningan benar membawa dua manfaat. Pertama, hal ini
menuju pada kesejahteraan mental dan fisik, kenyamanan, kegembiraan,
ketenangan. Kedua, hal ini mengubah batin menjadi mampu melihat sesuatu
sebagaimana adanya, dan menyiapkan batin untuk mencapai kebijaksanaan.[30]
Samadhi bisa diartikan dengan konsentrasi atau
kontemplasi.[31]
Yang dimaksud meditasi (samadhi) adalah
terpusatnya batin pada satu titik, yaitu batin atau perhatian yang terpusat
pada satu benda khusus atau suatu paham sampai semua pikiran-pikiran yang
berhamburan dihentikan.[32]
Sedangkan menurut Matius Ali, disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan samadhi atau pembersihan pikiran adalah mengenai
seluruh pengendalian dan perkembangan dari pikiran serta kekuatan batin, yang
dalam bahasa pali disebut bhavana.
Secara etimologis, kata samadhi berarti:
penempatan yang kuat bersama dan di dalam sutta-sutta dijelaskan sebagai:
keadaan pikiran yang ditujukan pada suatu objek (citta ekaggata=
pemusatan pikiran). Jika ditinjau dalam arti yang luas, samadhi berarti
suatu tingkat tertentu dari pemusatan pikiran, yang bersatu dan tak dapat
dipisahkan dari unsur-unsur kesadaran.[33]
Dalam referensi lain, samadhi diartikan
sebagai tehnik meditasi untuk menenangkan pikiran gangguan emosi dan pengalihan
mental dengan melekatkan kuat-kuat pada objek tunggal perhatian dan kesadaran
menjaganya sampai pikiran benar-benar menyerap dalam pre okupasi tunggal
menyingkirkan hal lain, dan seluruhnya menyatu dalam keadaan kesadaran yang
sederhana dan bersatu. Keadaan tenang, hening, dan konsentrasi disebut samadhi.[34]
Harus dipahami bahwa hening dan kesunyian ada
dalam diri kita. Jika pikiran kita tidak tenang, bahkan hutan yang sunyi pun
tidak akan menjadi cocok. Tetapi jika kita tenang, bahkan jantung kota yang
ramai bisa menjadi cocok. Suasana tempat kita hidup berfungsi sebagai pembantu
tak langsung untuk menenangkan pikiran kita.[35]
Samadhi berarti terpusatnya pikiran pada suatu hal. Ia
merupakan konsentrasi pikiran pada suatu objek dengan mengeluarkan semua yang
lain.[36]
Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah
bersatu dengan kesadaran dari karma yang baik; sedangkan samadhi yang
salah (miccha-samadhi) adalah bersatu dengan semua kesadaran dari karma
yang tidak baik. Bilamana dipergunakan istilah samadhi, yang dimaksud
adalah samadhi yang benar.[37] Miccha
samadhi dapat pula terjadi disamping samma samadhi. Pada bentuk yang
pertama, kekuatan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri, apakah
untuk keuntungan-keuntungan materi atau untuk tujuan-tujuan yang merugikan.
Pada bentuk yang kedua, itu dikembangkan hanya untuk penyucian batin dan
sebagai dasar-dasar pencapaian Jhana yang kemudian dipergunakan untuk
melatih pandangan terang.[38]
Ada dua macam samadhi: Samatha Bhavana dan
Vipassana Bhavana
Bhavana artinya menjadi, terbuka, perkembagan.
Ada dua macam perkembangan:
a.
Perkembangan ketenangan batin (Samatha
bhavana) atau konsentrasi (samadhi bhavana). Perkembangan pandangan
– terang (Vipassana bhavana) atau perkembangan –kebijaksanaan (panna
bhavana). Ketenangan (samatha) adalah keadaan pikiran yang tidak
dapat digoncangkan, tenang, aman, damai, dan nyata. Ketenangan batin,
sebenarnya menurut keterangan sankhepa vannana, mendatangkan tiga macam
berkah, yakni reinkarnasi yang baik, hidup bahagia, dan kesucian pikiran untuk
mencapai pandangan terang (vipassana).
b.
Pandangan-Terang (vipassana) adalah
nyata pikiran yang seperti kilat menembus ketidak-kekalan, ketidak puasan, dan
tidakadanya aku, (anicca, dukha, anatta)dari seluruh
badan, perasaan, dan bentuk pikran, yakni: kelima kelompok kehidupan (khandha),
yang terdiri atas: badan jasmani (rupa khandha), perasaan (vedana),
pencerapan (sanna), bentuk-bentuk pikiran (sankhara)dan kelompok
kesadaran (vinnana khandha).
Pemusatan pikiran, sebenarnya merupakan dasar
penting untuk menuju tingkat awal pandangan terang, dengan membebaskan pikiran
dari kotoran-kotoran dan rintangan batin; tapi pandangan terang adalah yang
langsung membawa ke salah satu tingkat kesucian. Pandangan terang, jika sudah
timbul, terusirlah kegelapan dari kebsodohan (avijja) dan terbitlah
cahaya kebijaksanaan (panna).[39]
Konsentrasi benar adalah diiringi dengan pikiran benar, daya upaya
benar, perhatian benar. Samadhi ini disebut Jhana, bertujuan untuk mencapai
konsentrasi pikiran, dan ketenangan.
Jhana tingkat 1
Keadaan batin
terdiri dari lima corak, yaitu:
1.
Usaha
untuk memegang objek (vittaka)
2.
Pikiran
telah berhasil memegang objek dengan kuat (vicara)
3.
Kegiuran
atau kenikmatan, karena telah terbebas dari tekanan perasaan (piti)
4.
Kebahagiaan
yang tidak terhingga (Sukkha)
5.
Pemusatan
pikiran yang kuat (cittekaggata)
Jhana tingkat 2
1.
Kegiuran
atau piti
2.
Kebahagiaan
atau sukkha
3.
Pemusatan
pikiran yang kuat atau Cittekaggata
Jhana tingkat 3
1.
Kebahagiaan
atau sukkha
2.
Pemusatan
pikiran atau Cittekaggata
Jhana tingkat 4
Semua
perasaan lenyap, batin seimbang dan pikiran terpusat/manunggal atau upekkha dan
cittekaggata
Setelah
mencapai Jhana tingkat 4, penganut agama Buddha yang mulia dapat
memperkembangkan tenaga-tenaga batin, ialah Abhinna, yang terdiri dari:
1.
Tenaga
batin duniawi atau lokiya abhinna
Ø Kekuatan magis (iddhividha) yang terdiri dari:
·
Iddhitana
iddhi: dengan kekuatan kehendak dapat merubah tubuh sendiri dari satu menjadi
banyak atau dari banyak kembali menjadi satu
·
Vikkubhana
iddhi: kemampuan untuk menyalin rupa, (seperti menyalin rupa seperti anak
kecil, raksasa, membuat diri menjadi tidak tertampak)
·
Manomaya
iddhi: kemampuan menciptakan dengan menggunaan pikiran, umpamanya menciptakan
harimau, pohon, dan sebagainya.
·
Hanavipphara
iddhi: kekuatan menembus ajaran.
·
Samadhivipphara
iddhi: konsentrasi lebih jauh:
Kemampuan
menembus dinding, gunung, dan lain-lain
Kemampuan
menyelam ke dalam bumi bagaikan ke dalam air
Kemampuan
berjalan di atas air
Keampuan
melawan api
Kemapuan
berterbangan di angkasa
Ø Telinga batin (dibbasota), ialah kemampuan untuk mendengar
suara-suara dari alam-alam manusia dewa, yang jauh maupun yang dekat.
Ø Mata batin (dibbacakkhu), ialah kemampuan untuk melihat alam-alam
dan berkesanggupan melihat lenyap – muncul – lenyapnya makhluk yang menitis
sesuai dengan kammanya masing-masing.
Ø Kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain atau
cetopariyanana.
Ø Kemampuan untuk mengingat penitisan-penitisan yang lampau atau
pubbenivasanussati.
2.
Tenaga
bathin luhur atau lokuttara abhinna
Ø Kemampuan untuk memusnahkan arus-kekotoran batin (asava) atau
asavakkhaya.
Lokkiya abhinna dapat dimiliki puthujjana, tapi lokuttara abhinna
hanya dimiliki oleh para arahat karena dengan lenyapnya semua asava berarti
dicapainya arahat. Dalam kitab Visuddhi Magga pasal XII membentangkan
latihan-latihan untuk memperoleh iddhi.[40]
Tiga faktor ini adalah faktor untuk
pengembangan kebijaksanaan melalui pemurnian batin. Faktor-faktor ini jika
dilatih, memungkinkan seseorang untuk memperkuat dan mengendalikan batin, dan
karena itu memastikan tindakannya akan terus baik dan batinnya dipersiapkan
untuk menyadari kebenaran, yang akan membuka pintu menuju keterbatasan, menuju
pencerahan.[41]
Penembusan
terhadap anicca dan dukkha adalah kebijaksanaan yang tertinggi.
Kebijaksanaan tertinggi ini akan melenyapkan keinginan, yang menjadi akar dari
penderitaan. Untuk melenyapkan penderitaan, keinginanan harus diatasi dengan
sempurna dan untuk selama-lamanya. Jangan menambah kuatnya keinginan dengan
membuat kejahatan, itulah Sila. Lawan keinginanmu dengan meditasi itulah
Samadhi. Dan lenyapkan keinginnmu dengan menembus kebijaksanaan yang tertinggi,
itu lah Panna.[43]
Panna ini meliputi:
Pandangan
benar dijelaskan sebagai mengetahui pengetahuan akan empat kebenaran mulia.
Dengan kata lain, hal ini adalah pemahaman sesuatu sebagaimana adanya.
Pandangan benar juga berarti bahwa seseorang memahami sifat karma yang
bermanfaat (baik) dan karma yang tidak bermanfaat (buruk), dan bagaimana hal
itu dapat dilakukan oleh pikiran, ucapan, dan tubuh. Dengan memahami karma,
seseorang akan belajar untuk memantang keburukan dan melakukan kebaikan , demi
menciptakan hasil yang diinginkan dalam hidup. Jika seseorang memiliki
pandangan benar, ia juga memahami tiga sifat keberadaan (bahwa segala hal yang
terkondisi adalah tak tetap, tak memuaskan, dan tiada diri) dan memahami
musabab yang saling bergantung. Seseorang dengan pandangan benar yang sempurna
adalah orang yang bebas dari ketaktahuan, dan dengan sifat pencerahan itu
menyingkirkan akar keburukan dari batinnya yang menjadi terbebas. Tujuan mulia
umat Buddha adalah mengembangkan batin untuk memperoleh pandangan benar tentang
diri sendiri, kehidupan, dan semua fenomena.[46]
Pandangan
benar ini adalah:
1.
Menembus
empat kasunyatan
2.
Menembus
tiga corak umum, ialah barang siapa menyelami, bahwa bentuk jasmani (rupa),
perasaan (vedana), pencerapan (sanna), bentuk-bentuk mental (sankhara) dan
kesadaran (vinnana) adalah fana, terpengaruh oleh derita dan tanpa diri
(anatta), dialah orangnya yang memiliki pandangan benar.
3.
Menembus
pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan, ialah sesungguhnya,
barangsiapa menembusnya, dialah orangnya yang menembus kesunyatan; dan
barangsiapa menembus kesunyatan, dialah orangnya yang menembusnya.
Untuk pandangan benar duniawi:
Memberi, sedekah, bermurah hati adalah tidak sia-sia, sesungguhnya
terdapat buah dan akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk.
Berbakti pada orang tua menghasilkan pahala, di alam-alam luhur
terdapat makhluk-makhluk yang lahir dengan spontan.
Di dalam dunia terdapat petapa-petapa dan pandita yang tanpa noda
serta sempurna, yang dapat menerangkan hidup sekarang dan hidup kemudian yangv
telah mereka selami.
Untuk pandangan benar luhur:
Kebijaksanaan, penembusan, pandangan benar yang berhubungan dengan
Ariya Atthangika Magga, batin berpaling dari dunia dan dihubungi dengan jalan
suci yang ditempuh, inilah pandangan benar luhur.
Hubungan dengan ruas jalan:
Ø Pandangan benar: menyelami pandangan salah sebagai salah dan
pandangan benar sebagai benar
Ø Daya upaya benar: berdaya untuk mengatasi pandangan salah dan
membina pandangan benar
Ø Perhatian benar: mengatasi pandangan salah dengan pikiran sadar
serta memiliki pandangan benar dengan pikiran sadar.[47]
Jika
seseorang memiliki pandangan benar, ia mengembangkan perniatan benar juga.
Faktor ini kadang-kadang disebut sebagai pemikiran benar, kehendak benar, atau
gagasan benar. Hal ini mengacu pada keadaan batin yang melenyapkan ide atau
gagasan yang salah dan meningkatkan faktor moral lainnya untuk diarahkan menuju
Nibbana. Faktor ini memberikan tujuan ganda, yaitu melenyapkan perniatan buruk dan
mengembangkan perniatan murni. Perniatan benar penting karena niatlah yang
memurnikan atau mengotori seseorang.
Ada
tiga aspek perniatan benar. Pertama, seseorang sebaiknya memelihara sikap
ketaklekatan pada kesenangan duniawi alih-alih melekat secara egois
terhadapnya. Ia sebaiknya tidak mementingkan diri sendiri dan memikirkan
kesejahteraan pihak lain. Kedua, seseorang sebaiknya memelihara cinta kasih,
niat baik, dan kebajikan dalam batinnya, yang merupakan lawan kebencian, niat
buruk, dan kejahatan. Ketiga, seseorang sebaiknya berniat untuk tidak menyakiti
atau berwelas terhadap semua makhluk, yang merupakan lawan kekejaman dan kurang
tenggang rasa terhadap pihak lain. Saat seseorang maju dalam jalan spiritual,
batinnya akan semakin jadi bajik, tidak menyakiti, tidak memntingkan diri
sendiri, dan dipenuhi cinta dan kewelasan.[50]
Pikiran
Benar atau Samma Sankappa adalah:
Untuk pikiran
Benar Dunia (Lokkiya Samma Sankappa) adalah:
Ø Pikiran yang bebas dari hawa nafsu (nekhama sankappa)
Ø Pikiran yang bebas dari kebencian (avyapada sankappa)
Ø Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsa sankappa)
Untuk pikiran benar luhur (Lokuttara Samma Sankappa):
Pemikiran, pertimbangan, pembahasan
yang berpaling dari dunia, batin yang suci berhubungan dengan jalan suci yang
ditempuh.
Hubungan dengan Ruas Jalan adalah:
Ø Pandangan benar: menyelami pikiran salah sebagai salah, ddan
pikiran benar sebagai benar
Ø Daya upaya benar: berdaya untuk mengatasi pikiran jahat dan membina
pikiran benar
Ø Perhatian benar: mengatais pikiran jahat dengan sadar serta dengan
sadar memiliki pikiran benar.
Jalan duniawi (Lokiya Magga)
ditempuh oleh para Puthujjana dan menghasilkan buah-buah kamma duniawi yang
baik. Akan tetapi Jalan Ssuci (Lokuttara Magga) ditempuh oleh parra Ariya
puggala dan menghasilkan kesucian, bahkan pembebasan dari derita.[51]
Disiplin
mengatur kata-kata dan perbuatan; konsentrasi mengawasi pikiran; tetapi
pandangan terang (panna), langkah ketiga dan terakhir, yang memungkinkan
seseorang calon pencapai kesucian untuk menghancurkan semua kekotoran yang
ditenangkan oleh samadhi.
Pada
mulanya ia mengembangkan “pandangan yang bersih” (ditthivisuddhi) dalam rangka
melihat segala sesuatu sebagai mereka adanya. Dengan pikiran terpusat ia
menganalisa dan menguji apa yang disebut makhluk. Pengujian ini menunjukkan apa
yang ia sebut “sku”, (pribadi), hanyalah perpaduan kompleks dari batin dan
jasmani yang selalu dalam keadaan mengalir. Setelah seseorang mencapai
pandangan benar dari sifat sesungguhnya yang disebut makhluk, bebas dari paham
suatu jiwa yang kekal, ia mencari sebab dari pribadi, “sang aku”. Ia menyadari
bahwa tiada apapun di dunia yang tidak disyarati oleh sebab atau sebab-sebab
tertentu, masa lampau atau sekarang, dan keberadaannya saat ini karena
ketidak-tahuan (avijja), nafsu keinginan (tanha), kemelekatan (upadana)
yang lalu, Kamma dan makanan jasmani pada saat ini. Karena ke lima sebab ini
apa yang disebut makhuk muncul dan karena sebab-sebab masa lalu telah membentuk
keadaan sekarang, jadi keadaan saat ini akan membentuk masa yang akan datang.
Dengan bermeditasi, ia mengatasi semua keraguan berkenaan dengan masa lalu,
saat ini dan yang akan datang. Selanjutnya ia merenungkan kesunyataan bahwa
semua benda semua benda bersyarat tidak kekal (annica), terkena
penderitaan (dukkha), dan kosong dari satu jiwa yang abadi (anatta).
Kemanapun ia mengarahkan pandangan mata ia tidak melihat apapun kecuali tiga
ciri utama yang tampak nyata. Ia menyadari bahwa kehidupan hanyalah keadaan
yang mengalir oleh sebab-sebab dari dalam dan luar. Dimanapun tidak ia dapatkan
ketenangan sejati, karena segala sesuatu dalam keadaan berubah. Karena ia
merenungkan sifat kehidupan dengan cara itu dan larut dalam meditasi, diluar
dugaannya, tiba saat ketika ia menjadi saksi dari satu cahaya (dukkha)
yang dipancarkan oleh dirinya. Ia merasakan kenikmatan, kebahagiaan, dan
ketenangan yang tak terbandingkan. Ia mengembangkan kesenangan pada keadaan
batin ini. Segera kesadaran datang bahwa perkembangan baru adalah ini adalah
rintangan pada kemajuan moral, dan ia mengembangkan kejelasan pengetahuan
berkenaan dengan sang jalan dan bukan jalan.
Dengan
mengamati jalan yang benar, ia memulai lagi meditasinya pada munculnya (udaya
nana) dan lenyapnya (vaya nana) semua benda bersyarat. Dari dua
keadaan itu, yang terakhir menjadi lebih mengesankan bagi batin karena
perubahan lebih nyata daripada pemunculan. Oleh karena itu ia mengarahkan
perhatiannya untuk merenungkan hancurnya benda-benda (bhanga nana). Ia
mengamati bahwa baik batin maupun jasmani yang membentuk apa yang disebut
makhluk dalam keadaan selau berubah, tidak tepat sama dalam dua saat yang
berurutan. Padanya muncul pengetahuan bahwa semua benda yang hancur adalah
menakutkan (bhaya nana). Seluruh dunia tampak padanya seperti setitik
lobang bara api yang merupakan satu sumber bahaya. Selanjutnya ia merenungkan
tentang kesengsaraan dan kekosongan (adhinava nana) dunia yang
menakutkan dan kotor, serta memperoleh perasaan jijik (nibhida nana)
diikuti oleh kehendak kuat unutk bebas dari padanya (muncitukamyata nana).
Dengan pandangan ini, ia mengamati meditasinya pada tiga ciri utama dari
ketidak kekalan, penderitaan dan ketiadaan jiwa (pati sankha nana), dan
setelah itu mengembangkan keseimbangan penuh terhadap semua benda bersyarat-
tidak mempunyai kemelekatan maupun keenganan terhadap obyek duniawi yang
manapun (upekkha nana). Dengan mencapai titik perkembangan spiritual
ini, ia memilih salah satu dari tiga ciri utama sebagai obyek khusus dari
usahanya dan dengan tekun mengembangkan pandangan terang pada arah itu sampai
hari yang agung ketika ia untuk pertama kali memahami Nibbana, tujuannya yang
tertinggi. Ketika orang ini menyadari Nibbana pertama kali disebut Sotapanna,
ia memasuki arus yang membimbing menuju ke Nibbana untuk pertama kali. Arus itu
mewakili jalan Ariya Berunsur Delapan. Seorang pemenang arus bukan lagi orang
biasa (puthujanna), tetapi orang Ariya (mulia).
Pada
waktu mencapai tingkat pertama dari kesucian, ia menghancurkan tiga belenggu (samyojana)
yang mengikatnya pada kelahiran yaitu:
1.
Sakkaya
dithi: sati+kaya+ditthi – secara harfiah, pandangan ketika sekelompok atau
perpaduan berada. Kaya menunjuk pada kelima kelompok jasmani, perasaan,
persepsi, keadaan mental, dan kesadaran. Pandangan bahwa ada kesatuan yang
tidak berubah, satu jiwa yang kekal, ketika ada perpaduan kompleks dari unsur
batin dan jasmani, ia disebut sakkaya-ditthi.
Dhammasangani menyebutkan dua puluh jenis teori jiwa semacam itu.
Sakkaya-ditthi biasanya diterjemahkan sebagai khayalan pribadi, teori tentang
pribadi, atau khayalan tentang aliran pribadi.
2.
Vicikiccha:
keragu-raguan. Mereka adalah keragu-raguan tentang Sang Buddha, Dhamma, Sangha,
aturan tata kedisiplinan (sikkha), masa lalu, masa yang akan datang, baik masa
lalu maupun masa yang akan datang, dan sebab musabab yang saling bergantungan
(paticca samupada).
3.
Silabbataparamasa:
kemelekatan (yang salah) pada ritual dan upacara.
Dhammasangani menerangkan hal itu
sebagai berikut, “Ia merupakan teori yang dipegang oleh para pertapa dan Brahim
diluar ajaran ini bahwa kesucian dicapai dengan aturan tindakan moral dan
upacara.
Untuk mengahancurkan sisa tujuh belenggu yang lain seorang
Sotapanna bertumimbal lahir paling banyak tujuh kali. Ia memperoleh keyakinan
penuh pada Sang Buddha, Dhama dan Sangha. Ia dengan alasan apapun tak akan
melanggar Lima Sila yang manapun. Ia tidak akan bertumimbal lahir dalam keadaan
sengsara karena ia pasti mencapai penerangan. Si peziarah suci menyempurnakan
pandangan terangnya untuk menjadi seorang sakadagami (Yang hanya kembali satu
kali saja), tingkat kesucian yang kedua, dengan melemahkan dua belenggu lagi
yaitu nafsu keinginan indriya (Kamaraga) dan keinginan jahat (patigha).
Sekarang ia disebut Ia yang Hanya Kembali Satu Kali saja di dalam manusia
seandainya ia tidak dapat mencapai tingkat kesucian Arahat pada kehidupan itu
juga. Sangatlah menarik untuk dicatat bahwa para makhluk suci yang telah
mencapai tingkat kesucian ke dua hanya dapat melemahkan dua belenggu yang kuat
itu yang mengikatnya, sejak waktu lampau yang tak terkira. Kadang-kadang
walaupun sangat jarang, ia dapat dikuasai pikiran penuh nafsu dan kemarahan.
Dengan mencapai tingkat kesucian ketiga, yaitu Anagami (Yang sudah tidak
kembali), ia lengkap menghancurkan dua belenggu tadi. Setelah itu ia tidak
kembali di dunia ini maupun alam surgawi lain, karena ia telah mencabut
keinginan untuk memuaskan indria. Setelah kematiannya ia bertumimbal lahir di
Alam Yang Murni (Suddhavasa), satu lingkungan khusus untuk para Anagami. Di
sana ia mencapai tingkat Arahat dan hidup sampai akhir hayatnya. Ketika seorang
umat awam menjadi seorang Anagami, ia menjalankan kehidupan selibat.
Para Anagami sekarang membuat
kemajuan terakhir dan menghancurkan sisa lima belenggu yaitu kemelekata pada
alam yang berbentuk (ruparaga), kemelekatan pada alam yang tidak berbentuk
(aruparaga), kesombongan (mana), keresahan (uddhacca) dan ketidaktahuan
(avijja) mencapai tingkat Arahat, yaitu jenjang terakhir kesucian.
Pemasuk Arus, Yang hanya kembali
satu kali saja, dan yang sudah tidak kembali disebut sekha karena mereka belum
menyelesaikan latihan. Arahat disebut Aseka (Mahir) karena mereka sudah tidak
menjalani latihan apapun.
Arahat, secara harfiah Yang
Berharga, tidak bertumimbal lahir lagi karena ia tidak menimbun Kamma baru.
Benih pembuahannya sudah dihancurkan semua.
Arahat memahami bahwa hal yang harus
diselesaikan telah dikerjakan, beban berat dukacita akhirnya sudah dilepaskan,
dan semua bentuk kerinduan dan semua bayangan atau ketidak tahuan sudah
dihilangkan sama sekali.
Tumimbal lahir tak dapat mengenai
dirinya lagi karena tidak ada lagi benih pembuahan dibentuk oleh kegiatan Kamma
yang baru.
Walaupun sebagai Arahat ia tak bebas
sepenuhnya dari penderitaan jasmani, karena pengalaman kebahagiaan. Kebebasan
hanyalah berselang-seling demikian pula ia belum melepaskan badan jasmaninya.
Seorang Arahat disebut Asekha, yaitu ia yang sudah tidak menjalani latihan,
karena ia sudah menjalani kehidupan suci dan sudah menyelesaikan sasarannya.
Para suci lain dari tingkat Sotapatti sampai tingkat jalur Arahat sisebut Sekha
karena masih menjalani latihan.
Dapat disebutkan bahwa dalam
hubungan ini para Anagami dan Arahat yang sudah mengembangkan Rupa dan Arupa
Jhana dapat mengalami kebahagian Nibbana tanpa terputus selama tujuh hari,
bahkan dalam kehidupan itu juga. Dalam bahasa Pali ini dikenal sebagai Niroddha
Samapatti. Seorang Ariya, dalam keadaan ini,seluruhnya bebas dari rasa sakit,
dan semua kegiatan mentalnya ditunda. Aliran kesadarannya berhenti mengalir
untuk sementara.
Berkenaan dengan perbedaan antara
orang yang telah mencapai Nirodha Samapatti dan orang mati, dalam Visuddhi
Magga disebutkan, tidak hanya kekuatan plastis dari tubuh (yaitu pernafasan),
pembicaraan dan pikiran diam tak bergerak, tetapi tenaga hidup juga habis,
panas padam, dan unsur-unsur indria rusak, sedangkan pada Bhikku dalam
kebahagiaan yang amat sangat tenaga hidup ada, jantung bekerja, dan unsur-unsur
indria jelas, walaupun pernafasan, pengamatan, dan pemahaman diam dan tidak
bergerak.
Menurut agama Buddha, dalam istilah
konvensional, inilah bentuk kebahagiaan tertinggi yang mungkin ada dalam
kehidupan sekarang.[52]
C.
Macam-Macam
Nibbana
Sesungguhnya ini bukan macam Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana.
Perbedaan namanya sesuai dengan cara dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah
kematian.
Menurut pencapaiannya, Nibbana ada dua macam, yaitu:
1. Sa- Upadisesa Nibbana
Yaitu
nibbana masih bersisa, yang dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini juga.
Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya Lima Khanda. Ketika
Pertapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau
dikatakan telah dapat mencapai Sa-upadisesa-Nibbana tetapi masih memiliki Lima
Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan).
Sa-upadisesa-Nibbana juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind)
yang murni, tenang, dan seimbang.[53] Mereka
yang mencapai Nibbãna, dengan batin yang telah bebas, tapi karena jasmaninya
masih ada, maka dia masih menjadi obyek penderitaan jasmaniah.[54]
2. An- Upadisesa Nibbana
Yaitu
nibbana tanpa sisa. Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai
anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Parinibbana,
dimana tidak ada lagi Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran,
pencerapan dan perasaan), tidak ada lagi sisa-sisa dan sebab-sebab dari suatu
bentuk kemunculan. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat
dilukiskan dengan kata-kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari
sebuah pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yaitu
‘tidak tahu’. Ketika Guru Buddha mangkat /wafat, Beliau dikatakan telah
mencapai anupadisesa-nibbana.[55] Lalu
setelah mereka mati, batin juga dibebaskan dari penderitaan jasmaniah dan
seorang mencapai Nibbãna sempurna.[56]
D. Manfaat
dari Sila, Samadhi, dan Panna
1.Hasil dari pelaksanaan Sila ialah diperolehnya kesucian Sila atau
Silavisuddhi (kesucian pikiran, ucapan, dan perbuatan). Dengan begitu orang
melaksanakan Sila, akan dapat mengendalikan tanha untuk kemudian menjadi
seorang manusia yang hidupnya susila.
2. Hasil pelaksanaan Samadhi ialah diperolehnya kesucian batin atau
Cittavisuddhi (kesadaran/batin yang bebas dari kekotoran-kekotoran). Dengan
melaksanakan samadhi, akan dapat melemahkan kekuatan tanha dengan menjalankan
sila. Karena Sila tanpa Samadhi adalah sulit untuk dapat berhasil dalam
melakukan perbuatan yang susila. Tapi Samaditanpa Sila tidak akan berhasil.
Karena itu, keduanya harus dijalankan bersama-sam.
3. Hasil pelaksanaan Panna, ialah diperolehnya kesucian pandangan
atau Ditthivisuddhi (melihat segala sesuatunya dalam kewajaran dari
anicca,dukkha, dan anatta). Bila Sila dan Samadhi tercapai sempurna, maka
tercapailah Panna. Panna gunanya untuk
melenyapkan tanha yang menjadi sebab utama terjadinya penderitaan
jasmani-rohani. Berhasilnya Panna diperoleh, Sila dan Samadhi sekaligus telah
dijalankan. Maka avijja, asava, dan tanha dapat dibasmi.[57]
E. Keadaan Orang yang telah mencapai Nibbana
Tiada
lagi penderitaan bagi mereka yang telah mencapai Nibbana, yang telah terbebas dari penderitaan yang telah
membebaskan diri dari segala ikatan nafsu, yang telah memutuskan semua ikatan.
Orang yang sempurna, sikapnya toleran, seperti tanha, seperti ambang pintu yang
menjalankan tugasnya, yang bagaikan danau yang tidak berlumpur, manusia yang
demikian tidak lagi terikat oleh lingkaran Tumimbal lahir dan kematian.
Pikiran tenang, tutur kata dan
perbuatannya senantiasa dilakukan dengan tenang setelah ia mencapai kebebasan
melalui pengetahuan sejati dan menjadi tenang serta seimbang. Orang sempurna
telah bebas dari ketahyulan. Ia mengetahui yang tak diciptakan, yang telah
memutuskan semua nafsu keinginan. Dialah manusia yang paling luhur, suci dari
segala manusia.
Dimana saja bersemayam orang suci,
tempat itu pasti sangat menyenangkan, baik di kota, di kampung maupun di dalam
hutan, di laut maupun di darat.
Cita-cita semua umat Buddha,
petama-tama ialah untuk mencapai tingkat kesucian, untuk menjadi manusia suci
atau Arahat, atau menjadi Bodhisattva untuk mencapai tingkat ke Buddhaan dan
Nibbana.[58]
Arahat melanjutkan hidup pada saat
ia telah mencapai Nibbana karena kekuatan kamma yang menghasilkan kelahiran belum
berakhir. Arahat hidup sepanjang rentang hidupnya tanpa penambahan Kamma baru
pada timbunannya, dan sama sekali tidak mempersoalkan kematian.
Ketika Arahat telah mati, ia telah
hilang. Untuk mereka yang hilang, tercantum dalam Sutta Nippana, tidak ada bentuk apapun
yang dapat mereka katakan sebagai kehadirannya. Jika semua keadaan terputus
semua materi untuk didiskusikan juga terputus.[59]
PENUTUP
Jalan menuju ke
Nibbana adalah jalan tengah (Majjima Patipada) yang menghindari ekstrim
penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim pengumbaran nafsu yang
menghalangi kemajuan moral.
Tidak semua
manusia memiliki kemampuan yang sama untuk seketika mencapai kematangan
spiritual. Buddha menjelaskan secara rinci Jalan Mulia Berfaktor delapan
untuk perkembangan bertahap cara hidup
spiritual dalam cara yang praktis.
Jalan untuk mencapai Nibbana ada delapan cara, namun telah
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1.
Sila
: kesusilaan, meliputi perkataan benar, penghidupan benar, penghidupan benar.
2.
Samadhi:
keheningan, meliputi pengupayaan benar, penyadaran benar, pengheningan benar.
3.
Panna:
kebijaksanaan, meliputi pandangan benar dan perniatan benar.
Orang yang telah mencapai Nibbana disebut orang yang sempurna.
Tiada lagi penderitaan bagi mereka yang telah mencapai Nibbana.
Macam-Macam Nibbana:
1.
Sa –
Upadisesa Nibbana
2.
An –
Upadisesa Nibbana
Manfaat Sila, Samadhi, dan Panna:
- Sila:
kesucian Sila (kesucian pikiran, ucapan, dan perbuatan), dapat
mengendalikan tanha.
- Samadhi:
kesucian batin (kesadaran/batin yang bebas dari kekotoran-kekotoran),
dapat melemahkan kekuatan tanha.
- Panna :
kesucian pandangan (melihat segala sesuatunya dalam kewajaran dari
anicca,dukkha, dan anatta), melenyapkan tanha.
DAFTAR PUSTAKA
Abhijato, Acharm Suchart, Kenikmatan inderawi adalah menykitkan
Ali, Matius, Filsafat India, (Tangerang: Sanggar Luxor), 2010, cet.
l,
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, (Kuala
Lumpur:Ehipassiko Foundation), 2012
Diputhera, Oka, Pedoman Penerangan Agama Buddha, (Jakarta:
Yayasan Sariputra Sadono), 1977
Mahatera, Ven Narada, Sang
Budha dan ajaran-ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama), 1992
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma
Pustaka Dhamma, Buku Pintar Agama Buddha, diakses pada 09
April 203, dari
http://tanhadi.blogspot.com/2011/03/buku-pintar-agama-buddha-n.html
Pustaka Dhamma, Nibbana,
diakses pada 09 April 2013, dari
http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm
Wowor, Cornelis, Jalan
Menuju Kesucian, diakses pada 21 April 2013, dari
http://www.ceramahdhamma.com/contents/ceramah-pandita/cornelis-wowor/visuddhi-magga-jalan-menuju-kesucian
[1]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama), 1992, h. 191
[2]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[3]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 12
[4]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[5]
Diputhera, Oka, Pedoman Penerangan Agama Buddha, (Jakarta: Yayasan
Sariputra Sadono), 1977, h. 62
[6]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, (Kuala Lumpur:Ehipassiko
Foundation), 2012, h. 119
[7]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[8]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 99
[9]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[10]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 121
[11]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 119
[12]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[13]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 122
[14]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 120
[15]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[16]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 122-123
[17]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 191-196
[18]
Wowor, Cornelis, Jalan Menuju
Kesucian, diakses pada 21 April 2013, dari http://www.ceramahdhamma.com/contents/ceramah-pandita/cornelis-wowor/visuddhi-magga-jalan-menuju-kesucian
[19]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 120-121
[20]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[21]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 100
[22]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 123-124
[23]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 121
[24]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[25]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[26]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 124
[27]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 121-122
[28]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[29]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[30]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 124-125
[31]
Ali, Matius, Filsafat India, (Tangerang: Sanggar Luxor), 2010, cet.
l, h. 170
[32]
Vajirananavarorasa, prince, Dhamma Vibhaga, h. 21
[33]
Ali, Matius, Filsafat India, h. 170
[34]
Abhijato, Acharm Suchart, Kenikmatan inderawi adalah menykitkan, h. 125
[35]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 200
[36]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 197
[37]
Ali, Matius, Filsafat India, 170
[38]
Vajirananavarorasa, prince, Dhamma Vibhaga, h. 22
[39]
Ali, Matius, Filsafat India, 171
[40]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 123-124
[41]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 123
[42]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[43]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 01
[44]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[45]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[46]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 120
[47]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 125-126
[48]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[49]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[50]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 120-121
[51] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 126
[52]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 217-223
[53]
Pustaka Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
[54]
Pustaka Dhamma, Buku Pintar Agama Buddha, diakses pada 09 April 203,
dari http://tanhadi.blogspot.com/2011/03/buku-pintar-agama-buddha-n.html
[55]
Pustaka Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
[56]
Pustaka Dhamma, Buku Pintar Agama Buddha, diakses pada 09 April 203,
dari http://tanhadi.blogspot.com/2011/03/buku-pintar-agama-buddha-n.html
[57]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 127
[58]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136-137
[59]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 224
Casino News | Dr.CMD
BalasHapusThe casinos in Atlantic City and Atlantic City are operated by Hard 광양 출장마사지 Rock Hotel and Casino, respectively, and are owned by Apr 16, 안성 출장샵 2021 · Uploaded by 사천 출장마사지 Hard Rock Hotel & 남원 출장안마 Casino 창원 출장안마