Ajaran-ajaran dalam Agama Bhuda
Oleh:
Annisa Khalida
1111032100047
Pendahuluan
Ajaran yang disampaikan kepada manusia oleh
Buddha sangat erat hubungannya dengan agama-agama yang ada sebelumnya, oleh
karena itu ajaran Buddha merupakan faham yang bertujuan untuk mereform atau
memperbarui ajaran Hinduisme dimana pendeta-pemdetanya saat itu sangat berperan
dalam kehidupan masyarakat. Ajaran
Buddha mengandung background social-religius pada saat itu. Nama Buddha itu
sendiri menunjukan arti “seorang yang bangun atau yang disadarkan” untuk mengadakan
reformasi tradisi agama yang telah ada.
Pengertian Buddha, Dharma, dan Triratna
·
Pengertian Buddha
Buddha
berasal dari bahasa sansekerta budh berarti menjadi sadar, kesadaran
sepenuhnya; bijaksana, dikenal, diketahui, mengamati dan mematuhi. (Arthur Antony
Macdonell, practical Sanskrit Dictionary, Oxford University Press, London,
1965).
Tegasnya
Buddha adalah seseorang yang telah mencapai penerangan atau pencerahan sempurna
dan sadar akan kebenaran kosmos serta alam semesta. “Hyang Buddha’’ adalah seorang
yang telah mencapai penerangan luhur, cakap dan bijak menuaikan karya-karya
kebajikan dan memperoleh kebijkasanaan kebenaran mengenai nirvana serta
mengumumkan doktrin sejati tentang kebebasan atau keselamatan kepada dunia
semesta sebelum parinirvana.
Hyang
Buddha yang berdasarkan sejarah bernama Shakyamuni pendir Agama Buddha.
Hyang Buddha yang berdasarkan waktu kosmik
ada banyak sekali dimulai dari Dipankara Buddha.
·
Pengertian Dharma
Hukum
kebenaran, Agama, hal, hal-hal apa saja mengenai agama Buddha. Berhubungan
dengan ajaran agama Buddha sebagai agama yang sempurna.
Dharma
mengandung 4 (empat) makna utama:
1.
Doktrin
2.
Hak, keadilan, kebenaran
3.
Kondisi
4.
Barang yang kelihatan atau phenomena
Buddha Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat
kehidupan berdasarkan pandangan terang yang dapat membebaskan manusia dari
kesesatan atau kegelapan batin dan
unsure-unsur agama, kebaktian, filosofis, psikologi, falsafah, kebatinan,
metafisika, tata susial, etika dan sebagianya.
·
Triratna
Seorang
telah menjadi umat Buddha bila ia menerima dan mengucapkan Triratna (Skt) atau
tiga mustika (Ind) yang berarti Buddha, Dharma, Sangha. Pada saat sembahyang
atau kebaktian didepan altar Hyang Buddha. Triratna secara lengkap diucapkan
dengan tenang dan khusyuk sampai tiga kali atau disebut trisarana. Trisarana
adalah sebagai berikut:
Bahasa
Sansekerta
Buddhang Saranang Gacchami
Dharmang Saranang Gacchami
Sanghang Saranang Gacchami
Dwipanang Buddhang Saranang Gacchami
Dwipanang Dharmang Saranang Gacchami
Dwipanang Sanghang Saranang Gacchami
Tripanang Buddhang Saranang Gacchami
Tripanang Dharmang Saranang Gacchami
Tripanang Sanghai Saranang Gacchami
Bahasa
Indonesia:
Aku Berlindung kepada Buddha
Aku Berlindung kepada Dharma
Aku Berlindung kepada Sangha
Kedua kali Aku Berlindung kepada Buddha
Kedua kal Aku Berlindung kepada Dharma
Kedua kali Aku berlindung kepada Sangha
Ketiga kali Aku Berlindung kepada Buddha
Ketiga
kali Aku Berlindung kepada Dharma
Ketiga kali Aku Berlindung kepada Sangha
Jadi dalam kesaksian tersebut, nampak adanya
sikap peneyerahan diri kepada Buddha, kepada Dharma (hukum-hukum yang telah
diberikan oleh Budha) dan kepada sangha yaitu golongan pendeta yang hidupnya
memelihara kelangsungan upacara agama yang pada umumnya tinggal dibiara-biara.
Pengakuan pada Dharma berarti mempercayai kebenaran hukum-hukumnya
dengan kewajiban menjalankan dasar-dasar ajaran kelepasan hidup serta
peraturan-peraturan lainnya. Dasar-dasar ajaran kelepasan tersebut adalah yang disebut Arya- satyami
(Arya: utama Satyami : kebenaran yang terdiri dari 4 kenyataan hidup sebagai
berikut:
1) Bahwa dalam kehidupan di dunia ini penuh
dengan hal-hal yang menyedihkan dan kesengsaraan, maka disimpulkan bahwa hidup
itu menderita.
2) Bahwa manusia berada oleh karena mempunyai
nafsu keinginan untuk berada (hidup). Keadaan hidupnya itu adalah penderitaan
karena terikat oleh samsara (menjelma berkali-kali).
3) Jika tidak lagi punya nafsu keiginan: maka
penderitaan samsara dapat dihilangkan yaitu dengan memadamkan nafsu keinginan
tersebut (tresna).
4) Cara menghilangkan nafsu keinginan itu ialah
melakukan 8 jalan kebenaran (disebut dengan Astavidha) yang terdiri dari:
a. Mengikuti pelajran yang benar.
b. Melaksanakan niat (keinginan) yang baik.
c. Mengucapkan perkataan yang baik dan tepat.
d. Menjalankan usaha yang baik (halal).
e. Melakukan pekerjaan yang baik.
f. Memusatkan perhatian dengan baik.
g. Mencari nafkah dengan baik.
h. Melakukan tafakur dengan baik.
Dengan dasar Aryasatyami tersebut dapat
diketahui bahwa agama Buddha mendidik pengikut-pengikutnya untuk berhati-hati
serta bersungguh-sungguh dalm menjalankan suatu kewajiban atau pekerjaan
mengingat bahwa dunia sekitar manusia ini dianggap penuh dengan hal-hal yang
dapat mencelakakan karena ada 3 anasir keduniawian:
1) Adanya Kama, yakni nafsu cinta.
2) Adanya Dwesa, yakni rasa benci kepada orang
lain.
3) Adanya Moha, yakni mabuk (dalam segala
bentuknya)
Untuk menegakan Dharma, maka pengikut-pemgikut
Buddha pada umumnya wajib menjauhi larangan-larangan dalam hal-hal sebagai
berikut:
1) Dilarang melakukan pembunhan terhadap semua
makhluk (misalnya peperangan dan sebagainya).
2) Dilarang melakukan pencurian atau perampokan
atau penyerobotan dan sebagainya.
3) Dilarang melakukan perbuatan asusila, misalnya
perzinahan.
4) Dilarang meminum, minuman yang memabukan
(minuman keras).
Adapun kewajiban khusus para anggota Sangha (orde pendeta) selain
lima macam tersebut diatas ditambah lagi dengan 5 macam larangan yaitu:
1)
Dilarang makan dan minum diwaktu yang dilarang (misalnya waktu
berpuasa).
2)
Dilarang mendatangi tempat-tempat yang dipergunakan untuk hidup
makisat (misalnya tempat hiburan, pertunjukan-pertunjukan).
3)
Dilarang menghias diri (misalnya dengan pakaian baik memakai hiasan
emas, belian dll)
4)
Dilarang tidur diatas tempat tidur yang baik.
5)
Dilarang menerima hadiah-hadiah yang berupa uang dan lain-lain
benda berharga.
Sepuluh larangan tersebut kemudian disebut dengan “DASA SILA” (10
dasar).
Pengertian Sadha dan Panca Sadha
a.
Kata Saddha adalah sebutan dalam bahasa Pali atau sradha sebutan
dalam bahasa sansekerta.
Arti
kata Saddha atau Sradha ialah keyakinan atau kepercayaan-Benar
(confident).
b.
Dalam ajaran agama Buddha, sesungguhnya menekankan suatu
kepercayaan yang ditimbulkan oeh suatu yang nyata. Inilah yang disebut
dengan Saddha. Atau dapat diartikan sebagai keyakinan yang telah mencakup
pengertian percaya di dalamnya.
Jadi
kata Saddha itu, dapat juga diartikan sebagai:
1)
keyakinan
2)
kepercayaan-Benar
3)
keimanan dalam Bakti
c.
saddha bukanlah suatu kepercayaan yang membuta, melainkan suatu
kepercayaan yang dimiliki para siswa dalam sekolah menengah, dimana siswa-siswa
yakin akan adanya atom dan molekul. Tetapi mereka tidak dapat membuktikannya.
Mereka terima itu karena percaya pada para sarjana yang menguraikannya. Tetapi
kepercayaan uni tidak dapat disebut kepercayaan membuta. Di perguruan tinggi
atau Universitas mereka mendapat kesempatan untuk melakukan percobaan untuk
menguji kebenaran teori ilmu alam dan kimia tadi.
Demikian
pula siswa agama Buddha pada tingkat permulaan yakin akan kebenaran beberapa
ajaran Dhamma yang mereka dengar dari guru agamanya. Tapi setindak demi
setindak dalam perjalanan mereka diatas jalan yang ditunjuk YMS Buddha Gautama
akan membawanya pada kebenaran ajaran Dhamma yang tiada bandingnya.
Saddha Mengandung Tiga Unsur
Salah seorang pujangga Buddhis yang terkemuka, yang hidup
abad ke IV bernama Asanga dan telah mengatakan bahwa Saddha itu mengandung tiga
unsure yaitu:
1)
keyakinan kuat terhadap sesuatu hal.
2)
Kegembiraan mendalam terhadap sifat-sifat yang baik.
3)
Harapan memperoleh sesuatu di kemudian hari.
Bedanya
Kepercayaan dengan Saddha
a)
Persoalan kepercayaan akan timbul bilamana kita dapat melihat
sesuatunya dengan betul dan nyata.
Pada
saat kita melihat, persoalan kepercayaan itu tidak aka nada lagi. Bila saya
katakana kepada anda bahwa menyembunyikan sebuah mustika di telapak tangan yang
saya genggam, persoalan kepercayaan akan segera timbul, sebab anda tidak
melihatnya denga mata anda sendiri. Tetapi bila saya buka genggaman tangan tadi
dan memperlihatkannya mustika itu kepada anda, maka persoalan kepercayaan itu
tidak akan timbul.
Dalam
hubungan ini teringatlah kita kepada sesuatu pepatah kuno penganut Buddha yang
berbunyi sebagai berikut:
“Mengalami sendiri seperti orang melihat
satu mustika di telapak tangan”.
b)
Persoalan Saddha akan timbul bilamana kita dpat melihat sesuatunya
dengan betul dan nyata. Tetapi haruslah diingat bahwa Saddha ini bukanlah suatu
kepercayaan seperti yang di mengerti orang pada umumnya.
Panca Saddha
(Lima Keyakinan umat Buddha)
1)
Keyakinan Terhadap Sang Hyang Adhi Buddha, Para Buddha
Tuhan dalam agama Buddha bukanlah hal yang baru, melainkan hal yang telah
lama di kembangkan, sejak pada abad ke IV M dari Negara bagian Benggala, tempat
kota kelahiran Acarya Asangha.
Pengaruh Tantra
menimbulkan pada Mahayana ajaran tentang Adhi Buddha, yaitu Buddha yang
pertama, yang dipandang sudah ada pada
mula pertama, yang tanpa asal, yang berada karena dirinya sendiri, yang tidak
pernah tampak karena berada di dalam Nirwana.
Hakikat
Adhi Buddha adalah terang yang murni. Ia timbul dari Sunyata, kekosongan.
Dengan lima macam permenungan (dyana) sang Adhi Buddha mengalirkan dari dirinya
lima Buddha, yang disebut dyani Buddha, yaitu wairocana, Aksobhiya, Ratnasambhawa,
Amithaba, dan Amoghasiddhi. Para dyani Buddha ini dipandang menguasai
daerah-daerahnya sendiri, yang disebut Buddha ksetra. Daerah-daerah itu ada
yang digambarkan seperti alam yang murni dan ada yang kurang murni, sesuai
dengan tugas Dyani Buddha masing-masing. Di dalam daerahnya masing-masing itu
mengajarkan Dharmanya kepada para makhluk dan menolong manusia untuk mendapat
pencerahan.
Diatas Panca Dyani Buddha yang memancarkan Bhodisatwa dan
manusia Buddha tersebut terdapat sesuatu
yang tertinggi, permulaan yang tanpa ada yang mendahuluinya, yaitu yang disebut
Adhi Buddha, atau Tuhan Yang Maha Esa Menurut kepercayaan aliran Mahayana.
Hubungan Dyani Buddha, Bhodisatwa dan Buddha dunia
tersebut sangat erat dan membentuk kelompok yang mempunyai tugas
sendiri-sendiri dipenjuru dunia sesuai dengan arah mata angin dan masa
masing-mmasing ketiganya terkait menjadi satu dan tidak bisa dipisah-pisahkan,
sebagaimna digambarkan dengan sangat jelas pada patung Bhodisatwa
avalokatisvara di Candi Mendut. Dalam
kepercayaan aliran Mahayana, jumlah Dyani Buddha, Bhodisatwa dan manusia Buddha
ada lima. Masing-masing kelompok bertempat di salh satu penjuru dunia, sesuai
dengan arah mata angin, dan salah satu Buddha bertempat di titik pusatnya.
Mereka berada dan bertugas dalm salah
satu masa diantara masa-masa yang jumlanya juga ada lima. Untuk masa sekarang,
yang bertanggung jawab adalah Dyani Buddha, Amitabha, Bhodisatwa
avalokatiswara, dan Manusia Budha Gautama.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa doktrin
Adhi Buddha dalam aliran Mahayana merupakan doktrin yang berusaha yang
mempersonifikasikan konsep kebuddhaan sebagai Tuhan atau persembahan tertinggi.
Doktrin ini sangat berbeda dengan
konsep ketuhanan agama Buddha yang mula-mula, seperti yang dipertahankan aliran
Theravada atau Hinayana.
Sebagaimana kita ketahui, banyak agama-agama didunia ini
memfokuskan perhatiannya terhadap pemujaan kepada Tuhan dan makhluk-makhluk
suci lainnya, namun para umat Buddha di dunia telah memfokuskan pada tokoh
Buddha atau Sidharta Gautama—seorang manusia yang menemukan bagaimana membawa
pencerahan dari penderitaan dan keluar dari lingkaran hidup dan mati. Cara umat
Buddha untuk berhubungan dengan Buddha adalah melalui penghormatan, sebagaimana
orang lain dapat memuja kekuatan-kekuatan diluar alam atau dewa-dewa yang
mereka yakini dapat memberikan pertolongan kepadanya dan sanak keluarganya.
Ajaran
agama Buddha bertitik tolak dari kenyataan yang dialami manusia dalam hidupnya.
Ajaran tidak di mulai dari prinsip yang transcendent, yang mempersoalkan
tentang Tuhan dan hubngannya dengan alam semesta dan segala isinya, melainkan
dimulai dengan menjelaskan tentang dukha yang selalu menyertai hidup manusia
dan cara membebaskan diri dari dukha tersebut. Dalam beberapa naskah pali dan
sansekerta disebutkan bahwa, sang Buddha
selalu diam apabila ditanya oleh pengikutnya tentnag Tuhan, ia menolak dan tidak
mempersoalkan tentang Tuhan, melainkan selalu menekankan pada para pengikutnya
agar mempraktekan sila ketuhanan. Sepeninggal Buddha persoalan Tuhan juga bukan
merupakan persoalan yang dianggap sangat penting dan mendesak dibicarakan dalam
pasamuan agung pertama dan kedua. Masalah yang sangat penting yang dibicarakan
dalam dua kali pasamuan itu adalah mengenai Dharma dan Vinaya. Kedua masalah
inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya beberapa mazhab besar dalam kalangan
umat Buddha.
Sekalipun demikian, benih-benih ajaran tentang Tuhan
dalam agama Buddha dapat ditelusuri dari adanya perbedaan pemahaman tentang
tingkat-tingkat keBuddhaan yang mulai muncul pada pasamuan agung kedua di
Vaisali. Aliran Staviravada yang ortodoks menekankan bahwa tingkat-tingkat
kebuddhaan adalah buah dari usaha yang tekun dalam menjlankan ajaran Sang
Buddha, sedangkan Mahasanghika menekankan bahwa benih-benih kebuddhaan telah
ada pada setiap makhluk dna hanya menunggu diwujudkan dan dikembangkan.
Bikkhu
CHANDRAKIRTI, seorang Bhikkhu Indonesia, pada abad ke-X M telah menulis naskah
“NAMASANGITI” yang membahas tentang sifat-sifat dari pada sanghyang Adhi
Buddha. Naskah tersebut adalah sebagai pengungkapan kembali tentang naskah lama
abad ke-IV M yang di prakarsai oleh Bhikkhu Acarya Asangha dari Bengalora,
pendiri dari aliran Yogacara. Dari beliaulah lahirnya doktrin “ADHI BUDDHA” ;
sebagai pendalaman ajaran Mahayana yang telah di beri landasan oleh Bhikkhu
Asvaghosa, yang pada mulanya berasal dari seorang Brahmana, ahli Veda.
Naskah Theisme dalam agama Buddha juga telah
diperkenalkan pula dalam naskah-naskah di Indonesia, diantaranya dalam naskah
“KUNJARAKARMA” dari Kediri dan naskah SANGHYANG KAMAHAYANIKAN karya Mpu Sri
Warana Sambhara Surya dari kerajaan Wangsa ICANA (sendok). Dalam naskah terakhir ini, nama lain dari Adhi Buddha adalah
Bhatara Buddha.
Istilah Adhi
Buddha digunakan untuk menamakan sumber kebuddhaan dan istilah ini ditemukan di Indonesia maupun
Nepal dan Tibet.
Kemaha kuasaan
Sanghyang Adhi Buddha dimanifestaskan kedalam hukumnya yang disebut hukuum
Kasunyataan. Hukum
Kasunyataan ini adalh hukum Tuhan YME, yang kekal abadi, yang mengatasi waktu,
tempat dan keadaan.
Semua yang tercipta tunduk kepada hukum Kasunyataan ini,
dan tidak ada seorangpun yang dapat membebakan dirinya dari berlakunya hukum
kasunyataan ini. Melalui hukum
Kasunyataan inilah Tuhan YME memperkenalkan kekyasaannya dan tidak ada
yang aka mampu menentang hukum Kasunyataan ini, baik ia seorang manusia ataupun
dewa, terkecuali orang yang telah mencapai kebebasan mutlak (Nibbana).
Bukan sejarah tertarik untuk membicarakan sang Buddha,
umat Buddha sendiri juga banyak membicarakan tingkat-tingkat kebuddhaan.
Umumnya mereka berbeda dalam hla memandang tingkatan kebuddhaan tersebut.
Pembicaraan tentang tingkat kebuddhaan ini sudah mulai muncul pada pasamuan
agung kedua di vaisali. Aliran Staviravada yang ortodoks melihat bahwa
tingkatan-tingkatan kebuddhaan adalah buah dari usaha yang tekun dalam menjalankan
ajaran-ajaran Buddha, sedangkan menurut aliran Mahasanghika menekankan bahwa
benih-benih kebuddhaan telah ada pada makhluk dan hanya menunggu untuk di
wujudkan dan di kembangkan (Abdurahman 1988; 114-115).
Mengenai para Buddha, terdapat 27 Buddha-Buddha yang terdahulu yaitu:
1.
Tahankara
2.
Medhankara
3.
Saranankara
4.
Dipankara
5.
Kondana
6.
Mangala
7.
Sumana
8.
Revata
9.
Shobitha
10.
Anomadasi
11.
Paduma
12.
Narada
13.
Padumutara
14.
Sumedha
15.
Sujata
16.
Piyadasi
17.
Attadasi
18.
Dhamadasi
19.
Sidhattha
20.
Tissa
21.
Phussa
22.
Vipasi
23.
Sikhi
24.
Veshabu
25.
Kakusandha
26.
Konagamana
27.
Kassapa
Buddha Gautama adalah Buddha yang terakhir atau yang ke 28
Buddha yang akan datang adalah ialah Bhodisatwa Maitreya, yang berarati :
“yang penuh kasih sayang”.
Semua Buddha mengajarkan ilmu yang sama yaitu Dhamma atua Kasunyataan dan
kebajikan untuk kebebasan mutlak dari penderitaan, Nibbana.
Baik dalam aliran Hinayana maupun aliran Mahayana, kedua-duanya mengajarkan
pelajaran dan tujuan yang sama, hanya mungkin upacara-upacara keagamaannya yang
berbeda-beda.
2)
Bhodisatwa dan arahat
Bhodisatwa
Secara harfiah Bhodisatwa berarti orang yang hakikat atau
tabiatnya adalah bodhi (hikmat) yang sempurna. Sebelum Mahayana timbul,
penegrtian Bhodisatwa sudah dikenal juga, dan dikenalkan juga kepada Buddha
Gautama, sebelum ia menjadi Buddha. Disitu Bodhisatwa adalah orang yang sedang
dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan
menjadi Buddha. Jadi semula Bhodisatwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang
ditetapkan untuk menjadi Buddha. Didalam Mahayana Bhodisatwa adalah orang yang
sudah melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih
pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain. Seorang Bhodisatwa
bukan hanya merenungkan kesengsaraan dunia saja melainkan juga turut merasakannya
dengan berat. Oleh karenanya sudah
mengambil keputusan untuk mempergunakan segala aktivitasnya sekarang dan kelak
guna keselamatan dunia. Karena kasihnya pada dunia maka segala kebajikannya
dipergunakan untuk menolong orang lain.
Cita-cita tertinggi di dalam Mahayana ialah untuk menjadi
Bhodisatwa. Cita-cita ini berlainan sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu
untuk menjadi arhat, yaitu orang yang sudah berhenti keinginanya,
ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukan lagi pada
kelahiran tumimbal kembali. Seorang arhat hanya memikirkan kelepasan diri
sendiri
Dengan daya pengetahuan dan permenungan para Dyani
Bhuddha melahirkan lima Bhidisatwa, yang disebut dyani Bhodisatwa, yaitu
wairocana melahirkan Samantabhadra, Aksobhiya melahirkan Wajrapani,
Ratnasambhawa melahirkan Ratnapani, Amithaba melahirkan padmapani atau
Awalokiteswara, dan Amoghasiddi melahirkan Wispapani. Para Dyani Bhodisatwa ini adalh para pencipta alam bendani. Dunia
yang mereka jadikan dapat binasa. Ada tiga yang sudah binasa. Dunia yang
sekarang adalah dunia yang ke empat, hasil karya awalokiteswara, yang memiliki
Amithaba sebagai pelindungnya.
Arahat
Permulaan agama Buddha menanamkan ide rangkap mengenai
arhatva dan nirvana. Buddha Gautama mengajarkan kepada murid-muridnya yang
pertama kai dengan khotbah enpat Kasunyataan Mulia dan Delapan jalan utama
serta menekankan pada ketidak-kekalan dan tiada kepemilikan dari semua unsur
pokok mengenai pribadi manusia. Para sisiwa ini dipanggil arhat, dan Buddha
sendiri diuraikan sebagia seorang arhat. Konsepsi mengenai arahat dikembangkan
dan diperinci secara perlahan-lahan oleh guru dan penggantinya. Jadi seorang
arahat juga diharuskan menegerti formula mengenai duabelas nidanas
(sebab-akibat). Dia ditetapkan sebagai seorang yang telah mencabut tiga asravas
(asava = minuman keras, dosa, dan kesalahan dari keinginan akan rasa, suka akan
yang ada, dan ketidak tahuan, dan juga tambahan ke-empat asrava mengenai
pikiran yang spekulasi. Dia melatih tujuh faktor penerangan (shambojjhanga):
kesadaran, penelitian, energi, kesenangan, ketenangan, konsentrasi, dan
ketenangan hati.
Arhat juga menjadi cita-cita tertinggi dari aliran
Hinayana, yaitu orang yang sudah berhenti keinginannya, ketidak tahuannya, dan
sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukan lagi pada kelahiran kembali.
Seorang arahat yang telah terbebas, mengetahui dia tidak akan
telahir kembali. Dia telah menyelesaikan dengan baik apa yang dikerjakan. Dia
telah melepaskan bebannya. Dia hidup pada kehidupan suci. Dia mencapai
kebersihan-kemurnian dan akhir emansipasinya dari pikiran hati. Dia sendiri,
menyendiri, bersemangat, bersungguh-sungguh, menguasai dirinya sendiri.
Seorang arhat seperti itu juga pergi sebagai pengkhotbah dan
mengajarkan ajaran Buddha kepada orang-orang. Gurua itu sangat menganjurkan
kepada para siswanya untuk pergi berkelana dan berkhotbah kebenaran demi
kebaikan dan pembebasan untuk orang banyak, karena dia mengasihi teman-temannya
semakhluk dan menaruh kasihan kepada mereka.
Hal seperti itu adalah ide arahat itu, sebagaimana dimengerti
selama tiga abad setelah Buddha Gautama parinibana.
Tetapi nyatanya bahwa para bhikku agama Buddha mulai mengabaikan
aspek pentng tertentu dari pada itu dalam abad ke-2 SM, dan menekankan beberapa
Tugas terhadap pengeluaran dari pada yang lainnya. Mereka menjadi lebih
mementingkan diri dan tafakur, dan tidak menunjukan dengan jelas semangat lama
itu demi tugas mengajar dan mneyebarkan agama atau misionari di antara manusia.
Mereka nampaknya hanya memperhatikan demi pembebasan bagi mereka sendiri dari
dosa dan duka. Mereka tidak membedakan terhadap tugas untuk mengajar dan
membantu semua makhluk manusia.
Ajara Bhodisatwa diumumkan secara resmi oleh beberapa pemuka agama
Buddha sebagai suatu protes terhadap kekurangan dari semangat spiritual yang
benar ini dan altruism (sifat mementingkan kepentingan orang lain) di antara
para bhikku pada waktu itu. Kedinginan dan kejauhan dari para arahat itu
menunjukan suatu pergeseran yang sesuai dengan ajaran lama mengenai
menyelamatkan semua makhluk. Ide Bhodisatwa dapat dimengerti hanya menantang
latar belakang ini mengenai seorang saleh dan tenang, namun tidak aktif dan
golongan viharawan atau viharawati yang tidak cekatan.
Kesimpulan
Tidak dapat dikatakan bahwa di dalam ajaran
agama Buddha seperti yang terdapat di dalam kitab-kitab Pitaka terdapat ajaran
tentang Tuhan atau tokoh yangn di pertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali
kepada asalanya, yaitu Tuhan, melainkan untuk masuk kedalam nirwana, pemadaman,
suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan, tanpa
kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah
situasi damai. Oleh karena itu maka ada ahli-ahli agama yang tidak mau
mengakui,bahwa Bhuddisme adalah suatu agama. Bhuddisme adalah suatu falsafah,
suatu usaha akal manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang
sistematis mengenai sebab dan akibat.
Akan tetapi kami kira pendapat yang demikian
itu adalah keliru. Memang, harus di akui, bahwa sebutan Tuhan atau tokoh yang
dipertuhankan tidak ada. Yang ada adalah nirwana, pemadaman, situasi padam,
bukan tokoh yang memadamkan. Tak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada
dibelakang suasana damai itu.
Tidak ada gagasan tentang pemebri hukum, yang
ada adalah hukum, tata tertib (karma) baik yang alamiah maupun yang moril.
Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, di
belakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan
yang dipertuhan tadi.
Dilihat dari keyakinan Kristen dapat
dikatakan, bahwa Buddha Gautama meraba-raba dan mencari kepada “Yang Tidak Jauh
dari padanya”. Berdasarkan kenyataan bahwa didalam ajaran Buddha manusia rindu
akan kelepasannya serta mencari-cari kan “Yang tak dilihatnya” dapat dikatakan,
bahwa Buddhisme adalah suatu agama, denganya manusia berusaha mencari Tuhanya.
Tuhan atau tokoh yang dipertuhan terdapat juga didalamnya.
Hanya Tuhan itu sukar ditemukan. Tokoh itu
dikaburkan menjadi sesuatu yang tak berpribadi. Itulah sebabnya tidak ada
hubungan aku-Engkau antara manusia dengan yang dipertuhan. Tetapi bagaimanapun
Bhudisme adalah suatu ajaran kelepasan, suatu ajaran yang ingin membawa manusia
pada jalan kelepasan karena merasa bahwa hidup ini tidak bebas.
Daftar Pustaka
Arifin M.Ed, H.M., Menguak Misteri Ajaran
Agama-agama Besar, Jakarta: PT Golden Press, 1995.
Ali, Mukti H.A., Agama-Agama Di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988.
Hadiwijono, Harun., Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, 2010.
Kebahagiaan Dalam Dhamma, Jakarta: Majelis Buddha Mahayana
Indonesia
T, Suwarto., Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha
Indonesia, 1995.
Tanggok, M Ikhsan., Agama Buddha, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Jakarta, 2009.
RIWAYAT
SIDHARTA GAUTAMA
Oleh
Ahmad Sobiyanto
1111032100027
A.
Kehidupan Sang Buddha
1.
Kelahiran
Bodhisattva
Pangeran
Siddharta dilahirkan pada tahun 623 Sebelum Masehi di Taman Lumbini. Oleh
para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran
Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi Seorang Buddha.
Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa
Sang
Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda
menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan
mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu
menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa,
atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu
adalah : 1. Orang tua, 2. Orang sakit, 3. Orang mati, 4. Seorang pertapa.
Saat ia
dilahirkan, bumi menjadi terang benderang, seberkas sinar sangat terang
mengelilingi bodhisattva yang baru lahir itu.
Sesaat ia dilahirkan, Bodisattva berjalan tujuh langkah diatas tujuh kuntum
bunga ke arah utara,dengan
jari telunjuk tangan kanan menunjuk kelangit, dan jari telunjuk tangan kiri
menunjuk ke bumi, yang artinya Akulah teragung, pemimpin alam semesta, guru
para dewa dan manusia. para dewa yang mendampingi menjatuhkan bunga dan air
suci untuk memandikannya. Juga bersamaan waktu lahirnya, tumbuhlah pohon Bodhi.
Seisi alaam
menyambutnya dengan suka cita karena telah lahir seorang Bodhisattva yang pada
nantinya dia akan menjadi pemimpin alam semesta, gurunya para dewa dan manusia,
mencapai Samyak Sam Buddha untuk mengakhiri penderitaan manusia dialam
samsara ini..
2.
Pada
umur 12 tahun
Pangeran sidharta telah menguasi berbagai ilmu pengetahuan, ilmu
taktik perang, sejarah, dan pancavidya, yaitu: sabda (bahasa dan sastra);
silpakarmasthana (ilmu dan matematika); cikitsa (ramuan obat-obatan); hatri
(logoka); adhyatma (filsafat agama). Dia juga menguasai Catur Veda rgveda(lagu-lagu
pujian keagamaan): yajurveda (pujian untuk upacara sembahyang);
athavarveda(mantra)
1.
Melihat
Empat Peristiwa
Pada suatu hari pangeran mengunjungi
Ayahnya dan berkata “Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan keluar istana
untuk melihat tata cara kehidupan penduduk yang kelak akan ku perintah”.
Karena permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin. tetapi
sebelumnya kata Raja, aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya
baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang baik.
Sekalipun sang raja sudah memerintahkan agar seluruh jalan yang
akan dilalui putranya itu harus dibersihkan dari segala hal yang tidak
menyenangkan namun dalam perjalanan itu Siddharta melihat seorang yang sudah
tua sekali. Pandangan ini mengejutkan Siddharta.pangeran
terkesan sekali, karena hal ini baru pertama kali dilihatnya.
Channa menerangkan kepada pangeran, bahwa itulah keadaan seorang
tua, tetapi bukan keadaannya sewaktu ia dilahirkan.
“ Sewaktu masih muda orang itu seperti kita dan karena sekarang ia
sudah tua sekali maka keadaanya telah berubah seperti yang tuanku lihat.
Sebaiknya tuanku lupakan saja orang tua itu. Setiap orang kalau sudah terlalu
lama hidup di dunia akan menjadi seperti oarang tua itu, hal ini tidak dapat
dielakkan.”
Atas keterangan Channa ia tahu bahwa segala makhluk kelak akan
menjadi tua seperti orang tua itu. Dengan wajah yang muram sekali Siddharta
kembali keistana.
Setelah persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi
sedih sekali dan ia merasa kuatir bahwa hal ini dapat menyebabkan pangeran
meninggalkan istana.
Berselang beberapa hari pangeran kembali memohon kepada Raja agar
diperkenankan melihat-lihat lagi kota Kapilavattu, tapi sekarang tanpa lebih
dulu memberitahukannya kepada para penduduk.
Dengan berat hati Raja mengizinkan karena beliau tahu tidak ada
gunanya melarang, sebab hal itu tentu akan membuat pangeran bersedih. Pada
kesempatan ini pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian seperti anak
kelurga Bangsawan, karen ia tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.
Pangeran memperhatikan orang-orang
kecil yang sderhana dan semua orang kehilatannya sibuk sekali, bahagia dan
senang dengan pekerjanya. Tetapi Pangeran juga melihat seorang yang sdeang
merintih-rintih dan berguling-guling ditanah dengan kedua tangannya memegang
perutnya. Dimuka dan badannya terdapat bercak-bercak berwarna ungu, matanya
berputar-putar dan nafasnya mengap-mengap.
Untuk kedua kali dalam hidupnya Pangeran melihat sesuatu yang
membuat beliau sangat sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh
kasih sayang dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya meletakkan
kepalanya dipangkuannya dan dengan suara menghibur menanyakan: “mengapa engkau,
engku mengapakah?” orang sakit itu sudah tidak adapat menjawab. Ia hanya
menangis tersedu-sedu.
“ Channa, katakanlah mengapa orang ini? Apakah yang salah dengan
nafasnya? Mengapa ia tidak bicara”?
“ O, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dn
darahnya beracun. Ia diserang demam pes dan seluruh bdannya terasa terbakar.
Oleh karena itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”
“tetapi apakah ada orang lain yang seperti dia”? “Ada, dan Tuanku
mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti ini. Mohon dengan sangat agar
Tuanku meletakkannya kembali ditanah dan jangan menyentuhnya lagi sebab sakit
pes itu sangat meenular.”
“apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang
dapat diserang penyakit? Apakah penyakit datang secara mendadak”?
“betul Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit.
Tidak ada orang yang dapat mencegahnya dan itu dapat terjadi setiap saat.”
Mendengar ini pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk
merenungi hal ini.
Berselang beberapa hari, Pangeran kembli memohon izin kepada Raja
agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu. Raja menyetujuinya
karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.
Pada kesempatan ini pangeran yang berpakaiaan sebagai anak seorang
bangsawan dengan diiringi Channa berjalan-jalan kembli di kota Kapilavatthu.
Tidak lama kemudian mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang
menangis mengikuti sebuah usungan yang dipikul oleh empat orang.
Diatas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam
keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah
sungai dan meletakkannya diatas tumpukan kayu yang kemudian di nayalakannya.
Orang itu tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun apai telah membakarnya
dari semua sudut.
Pangeran heran
dan kaget sekali sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Pangeran
berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut “mati” itu yang harus
dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari seorang
Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang dan
dikamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari.
Pangeran
kemudian memohon kembali kepada ayahnya untuk diperkenankan untuk keluar istana
lagi untuk berwisata ke taman Lumbini. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk
menolak permohonan santun Putranya itu. Ditemani oleh Chnna, pangeran menuju
taman Lumbini. Setelah sampai ditaman Lumbini dan ketika pangeran tengaah duduk
menikmati taman tersebut, tampak olehnya seorang lelaki dengan kepala yang
dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeranpun mendekati petapa itu dan
bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itupun menjelaskan prihal
dirinya.
“ Pangeran yang
mulia, aku ini seorang petapa, aku menjauhkan diri dari keduniawian,
meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua,
sakit, dan mati. Selain dari itu aku tidak menginginkan hal-hal dan
barang-barang duniawi.”
Pangeran terkejut karena ternyata petapa ini
mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya.
“O petapa suci,
dimana obat itu harus dicari”?
“panngeran yang
mulia, aku mencrinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat,
jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan
perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.”
Sejak saat itu
Siddharta ingin mengikuti kehidupan petapa itu. Ia mencari jalan bagaimana
dapat meninggalkan kehidupannya yang mewah itu.
Ketika pangeran
Siddharta masih di dalam taman dan benaknya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup
bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang di utus oleh raja
Suddhodana mengabarkan bahwa Putri yasodhara telah melahirkan seorang bayi laki-laki
yang tampan. Mendengar kabar itu, Pangeran justru bersedih hati dan berujar : “
seorang beenggu telah terlahir bagiku”! kelahiran tersebut merupakan halangan
karena ia mencintai keluarga dan anaknya yang baru saja dilahirkan. Mengetahui
apa yang diutarakan Pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian
memberi nama bayi itu “ Rahula” yang berarti “belenggu”.
B.
Sang Budha Mendapatkan Penerangan Tertinggi
1.
Pangern
siddharta Meninggalkan istana
Sebelum
meninggalkan istana , Pangeran telah memohon izin kepada ayahnya, tetapi
Ayahnya berusaha mencegahnya, tetapi Ayahnya tidak dapat memenuhi syarat-syarat
yang diajukan oleh Pangeran kepadanya. Antara lain dikatakan oleh Pangeran,
bahwa ia tidak akan jadi pergi, apabila ayahnya dapat memberikan kepadanya
kemudaan yang kekal, kecantikan yang kekal, kesehatan yang kekal dan hidup yang
kekal.
Pangeran kemudian
pergi kekamar Yasodhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk
bertapa. Istrinya sedang tidur nenyak dan memeluk bayinya.
Setelah sampai
di luar kota Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota
Kapilavattu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya
yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya).
Perjalanan
diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, Malla dan kemudian dengan
satu kali loncatan menyebrangi sungai Anoma.
2.
Penerangan
Agung
Pada suatu
malam di bulan Waisak ketika bukan purnama, ditepi sunagi Neranjara, ketika ia
sedang menghentikan cipta dibawah pohon Assatta (pohon Boddhi) dengan duduk
padmasana melakukan meditasi dengan mengatur pernapasannya, maka datanglah
petunjuk kepadanya sehingga ia mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi yang
meliputi hal berikut:
a.
Pubbenivasanussati,
yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali.
b.
Dibacakkhu,
yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin,
c.
Cuti
Upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk
kehidupan, bik atau buruk, bergantung pada prilaku masing-masing.
d.
Asvakkhayanana,
pengetahuan tentang padamnya semua kecendrungan dan avidya, tentang
menghilangkan ketidaktahuan
Dengan telah tercapainya penerangan tersebut maka Siddharta Gautama
telah menjadi Buddha pada umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya Manusia’
atau guru dari manusia.
C.
Sang Budha Mengajarkan Dharma
Setelah itu
sang Buddha masih ragu-ragu untuk menyampaikan darmanya kepada orang lain,
karena Dharmanya hanya dapat diterima orang arif bijaksana, maka ia pergi ke
Banares untuk menemukan murid-muridnya. Pada mulanya para murid itu ragu,
tetapi setelah melihat keagungan Buddha maka kelima muridnya bersedia kembali
mengikuti ajarannya. Kepada mereka lalu diajarkan empat kesunyataan itu.
Peristiwa-peristiwa
tersebut diatas sangat penting dalam agama Buddha, yang disebut “Dharmma Cakra
Pravantana Sutra”, yaitu “pemutaran roda dharmma” yang selalu diperingati oleh
para penganut agama Buddha. Begitu juga taman isi patana di Benares yang merupakan
tempat asal mula kelahirana ajaran Buddha dan Sangha, apar pemula penganut
ajaran Buddha, merupakan tempat suci bagi umat Buddha. Sejak peristiwa
pemutaran Rodha dharma tersebut mulailah siddharta Goutama yang telah menjadi
Buddha itu, menyebarkan ajaran diseluruh India mulai dari kota Rajagraha yang
berpokok pada empat kebijakan kebenaran bahwa:
-
kehidupan manusia itu pada dasrnya tidak
Bahagia
-
sebab-sebab
tidak bahagia karena memikirkan kepentingan diri sendiri terbelengggu oleh
nafsu,
-
pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu
dapat ditekan habis jika semua nafsu dan hasrat dapat ditiadaan, yang dalam
ajaran Buddha adalah Nirwana,
-
Menimbng
benar, berpikir benar, berbuat benar, mencari nafkah, berusaha yang benar,
mengingat yang benar, meditasi yang benar,
Selama 45 tahun
lamanya Buddha menyampaikan ajaran-ajaran, sehingga dari sekitar 60 orang
anggota Sangha kemudian menjadi ribuan orang banyaknya, yang memerlukan banyak
Wihara, pada akhirnya dalam umur 80 tahun wafat di kusiwara yang letaknya sekitar
180 KM dari kota Banares. Ia meninggal tanpa petunjuk siapa yang menjadi
penerus, sehingga di kemudian hari ajaran terpecah menjadi dua golongan yaitu
Teravadha ( Hinayana ) dan Mahasangika
(Mahayana).
Pandita S. Widyadharma, INTI SARI AGAMA BUDDHA, hal 1