Jumat, 31 Mei 2013

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Hindu-Budha

1. Situs tempat penemuan peradaban di Harappa.

Penggalian-penggalian di situs Mohenjodaro-Harappa, mengungkapkan bahwa pendukung peradaban ini telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Dari bukti-bukti peninggalan yang didapat, kita memperoleh gambaran bahwa penduduk Mohenjodaro-Harappa telah mengenal adat istiadat dan telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakatnya. Misalnya, banyak ditemukan amulet-amulet atau benda-benda kecil sebagai azimat yang berlubang-lubang, diasumsikan digunakan sebagai kalung. Lalu, ditemukan juga materai yang terbuat dari tanah liat, yang kebanyakan memuat tulisan-tulisan pendek dalam huruf piktograf, yaitu tulisan yang bentuknya seperti gambar.

2.
Munculnya peradaban Harappa lebih awal dibanding kitab Veda, saat itu bangsa Arya belum sampai India. Waktunya adalah tahun 2500 sebelum masehi, bangsa Troya mendirikan kotaHarappa dan Mohenjondaro serta kota megah lainnya didaerah aliran sungai India. Tahun 1500 sebelum masehi, suku Arya baru menjejakkan kaki di bumi India Kuno.

Asal mula peradaban India, berasal dari kebudayaan sungai India, mewakili dua kota peninggalan kuno yang paling penting dan paling awal dalam peradaban sungai India, yang sekarang letaknya di kota Mohenjodaro, propinsi Sindu Pakistan dan kota Harappa dipropinsi Punjabi.

3. Peradaban India Kuno.

Penemuan kebudayaan di sungai India kuno, berawal pada abad ke-19 (tahun 1870), dan mulai dieksplorasi oleh bangsa Inggris. Hingga sekarang, penggalian kebudayaan sungai India kuno tidak pernah berhenti, bahkan menemukan lagi sebuah aliran sungai kuno lainnya, pada dua sisi aliran sungai kuno ini tidak sedikit ditemukan juga peninggalan kuno lainnya.

Kejayaan Sebuah Peradaban
Dianggap sebagai representasi arsitektur Hoysala, Candi Chennakeshava di Karnataka, India ini didedikasikan kepada dewa Hindu, Wisnu, dengan menara dan kuil. Seperti candi pada umumnya, setiap bagiannya memiliki filosofi tersendiri.






4. Dwarasamudra pada abad ke-12 dan 13.

Dikenal juga dengan nama Dwarasamudra pada abad ke-12 dan 13, Halebeedu merupakan ibu kota Kerajaan Hoysala. Candi ini berlokasi di 30 km Hassan, Karnataka, India. Nama Dwarasamudra berasal dari hadirnya danau di samping Candi Hoysaleshwara. Dwara berarti pintu masuk, Samudra berarti lautan. Danau luas tersebut terlihat bagai lautan. Nama ini kemudian berubah menjadi Halebeedu (kota yang hancur) saat Kesultanan Moghul menghancurkannya tiga kali. Halebeedu merupakan candi terbaik dalam soal pembangunan dan arsitekturnya. Dibangun memakan waktu lebih dari seabad untuk menyelesaikannya.


5. Candi Seeyamangalam Pallava 
Candi Seeyamangalam Pallava ini berlokasi di Seeyamangalam, 80 km dari Chennai, India. Dibangun oleh raja Pallava, Mahendrawarman I pada abad ke-7. Candi ini dibuat sebagai persembahan untuk Stambeshwara, bentuk lain Dewa Siwa.







6. Candi Chausat Yogini 
Berlokasi di pusat India, Madhya Pradesh, Candi Chausat Yogini ini disebut juga sebagai Candi 64 Yogini. Berlokasi di atas bukit Bedaghat, 20 km dari Jabalpur. Candi ini dipersembahkan untuk Mahadewi Durga.








7.Candi Achyuta Rayas 
Candi Achyuta Rayas merupakan contoh terbaik candi dengan arsitektur Vijayanagara. Candi inilah yang terakhir tersisa sebelum kerajaannya jatuh. Candi ini menyerupai komplek kecil dan didedikasikan untuk Dewa Wisnu. Berlokasi di Hampi, India.








8.Candii Angkor Wat

Candi Angkor Wat. Inilah candi Hindu terbesar di dunia. Sisa peradaban masa lalu terekam jelas di sini. Dibangun oleh Raja Suryawarman II pada abad ke-12, candi ini kemudian menjadi simbol Kamboja dan menjadi daya tarik utama di negeri tersebut.







9. Borobudur
Borobudur, dibangun pada abad ke-9 di masa pemerintahan Kerajaan Sailendra. Candi besar yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, Indonesia ini dihiasi dengan 2.672 panel relief dan 504 patung Buddha.




Film





Kerajaan-Kerajaan Budha di India

Kerajaan Gupta
Patung Wisnhu dari masa Gupta

Kekaisaran Gupta adalah sebuah kekaisaran India kuno yang berdiri pada tahun 320 M hingga 550 M dan meliputi sebagian besar anak benua India. Kekaisaran Gupta didirikan oleh Maharaja Sri Gupta.
Kedamaian dan kemakmuran yang tercipta pada masa Gupta memungkinkan perkembangan ilmu pengetahuan dan seni.Periode ini disebut Zaman Keemasan India dan ditandai oleh banyaknya penemuan dalam bidang sains, teknologi, teknik, seni, dialektika, sastra, logika, matematika, astronomi, agama, dan filsafat yang mengkristalisasikan unsur-unsur yang kini dikenal sebagai kebudayaan Hindu.
Chandra Gupta I, Samudra Gupta Agung, dan Chandra Gupta II Agung merupakan penguasa terkenal dalam dinasti Gupta.
Penyair Sansakerta abad ke-4 M, Kalidasa, menyebut bahwa Gupta menaklukan sekitar dua puluh kerajaan di India dan daerah sekitarnya, termasuk kerajaan Parasikas (Persia), Huna, suku-suku Kamboja yang tinggal di sebelah barat dan timur lembah Oxos, Kinnara, Kirata, dll.

Kerajaan Gupta adalah sebuah kerajaan kuno India yang ada sekitar 320-550 M, kerajaan ini didirikan oleh  Maharaja Sri Gupta, periode ini dianggap sebagai masa keemasan India dalam ilmu pengetahuan, matematika, astronomi, teknologi, teknik, seni, dialektika, sastra, logika, agama dan filsafat Kedamaian yang ada selama kekuasaan kemaharajaan Gupta membuat pengejaran ilmu pengetahuan dan artistik. Sejarawan menaruh dinasti Gupta bersama dengan Dinasti Han, Dinasti Tang dan Kekaisaran Romawi sebagai model peradaban klasik.
Chandra Gupta I, Gupta Samudra Agung, dan Chandra Gupta II adalah penguasa yang paling terkenal dari dinasti Gupta. Kekaisaran ini secara bertahap menurun karena banyak faktor seperti kerugian besar daerah dan otoritas kekaisaran yang disebabkan oleh pengikut sendiri dan invasi oleh bangsa Huna dari Asia Tengah, setelah runtuhnya Kekaisaran Gupta di abad ke-6, India kembali diperintah oleh sejumlah kerajaan ragional.


Kerajaan Hoysala 
Arsitektur Hoysala (bahasa Kannada: ಹೊಯ್ಸಳ ವಾಸ್ತುಶಿಲ್ಪ) adalah gaya bangunan yang berkembang dibawah kepemimpinan kekaisaran Hoysala yang kini berada di Karnataka,India, antara abad ke-11 dan abad ke-14. Pengaruh Hoysala berada pada puncaknya pada abad ke-13 ketika Hoysala mendominasi daerah dataran tinggi Dekan selatan. Kuil besar dan kecil dibangun selama era ini menjadi contoh gaya arsitektur Hoysala, termasuk kuil Chennakesava di Belur, kuil Hoysaleswara di Halebidu, dan kuil Kesava di Somanathapura. Contoh ukiran Hoysala lainnya adalah pada kuil di Belavadi, Amruthapura, Hosaholalu danNuggehalli. Penelitian terhadap gaya arsitektur Hoysala menunjukan pengaruh Indo-Aryasementara akibat gaya India Selatan lebih jelas.[1]Aktivitas bangunan kuil kekaisaran Hoysala yang kuat diakibatkan oleh kejadian sosial, budaya dan politik selama periode tersebut. Transformasi tradisi bangunan kuil Karnatamerefleksikan tren religius yang dipopulerkan oleh filsuf Vaishnava dan Virashaiva dan juga kecakapan perkembangan militer raja Hoysala yang ingin mengungguli maharaja Chalukya Barat dalam bidang artistik. Kuil dibangun lebih dahulu sebelum kemerdekaan Hoysala pada abad ke-12 yang merefleksikan pengaruh signifikan Chalukya Barat, sementara kuil selanjutnya menahan beberapa fitur penting pada seni Chalukya, tetapi memiliki beberapa ornamentasi dan dekorasi yang berdaya cipta, memunculkan keunikan artis Hoysala. Sekitar seratus kuil masih ada di Karnataka, kebanyakan di distrik Malnad, tempat asal Raja Hoysala.Sebagai destinasi wisata populer di Karnataka, kuil Hoysala menawarkan kesempatan untuk peziarah dan pelajar arsitektur untuk melihat arsitektur Hindu abad pertengahan dalam tradisi Karnata Dravida. Tradisi ini dimulai pada abad ke-7 dibawah perlindungan dinasti Chalukya dari Badami, dikembangkan lebih jauh oleh Chalukya Barat di Basavakalyan pada abad ke-11 dan akhirnya ditransformasikan menjadi gaya bebas pada akhir abad ke-12 selama kekuasaan Hoysalas. Prasasti berbahasa Kannada abad pertengahan menunjukan lokasi kuil memberi informasi kuil dan menawarkan informasi berharga tentang sejarah dinasti Hoysala.







Kamis, 30 Mei 2013

Kumpulan Tugas Makala Budha

 Ajaran-ajaran dalam Agama Bhuda
Oleh:
Annisa Khalida 
1111032100047




Pendahuluan
Ajaran yang disampaikan kepada manusia oleh Buddha sangat erat hubungannya dengan agama-agama yang ada sebelumnya, oleh karena itu ajaran Buddha merupakan faham yang bertujuan untuk mereform atau memperbarui ajaran Hinduisme dimana pendeta-pemdetanya saat itu sangat berperan dalam kehidupan masyarakat. Ajaran Buddha mengandung background social-religius pada saat itu. Nama Buddha itu sendiri menunjukan arti “seorang yang bangun atau yang disadarkan” untuk mengadakan reformasi tradisi agama yang telah ada.[1]
Pengertian Buddha, Dharma, dan Triratna
·         Pengertian Buddha
Buddha berasal dari bahasa sansekerta  budh berarti menjadi sadar, kesadaran sepenuhnya; bijaksana, dikenal, diketahui, mengamati dan mematuhi. (Arthur Antony Macdonell, practical Sanskrit Dictionary, Oxford University Press, London, 1965).
Tegasnya Buddha adalah seseorang yang telah mencapai penerangan atau pencerahan sempurna dan sadar akan kebenaran kosmos serta alam semesta. “Hyang Buddha’’ adalah seorang yang telah mencapai penerangan luhur, cakap dan bijak menuaikan karya-karya kebajikan dan memperoleh kebijkasanaan kebenaran mengenai nirvana serta mengumumkan doktrin sejati tentang kebebasan atau keselamatan kepada dunia semesta sebelum parinirvana.
Hyang Buddha yang berdasarkan sejarah bernama Shakyamuni pendir Agama Buddha. Hyang Buddha yang berdasarkan waktu kosmik[2] ada banyak sekali dimulai dari Dipankara Buddha.[3]
·         Pengertian Dharma
Hukum kebenaran, Agama, hal, hal-hal apa saja mengenai agama Buddha. Berhubungan dengan ajaran agama Buddha sebagai agama yang sempurna.
Dharma mengandung 4 (empat) makna utama:
1.      Doktrin
2.      Hak, keadilan, kebenaran
3.      Kondisi
4.      Barang yang kelihatan atau phenomena
Buddha Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan pandangan terang yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan atau kegelapan  batin dan unsure-unsur agama, kebaktian, filosofis, psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata susial, etika dan sebagianya.
·          Triratna
Seorang telah menjadi umat Buddha bila ia menerima dan mengucapkan Triratna (Skt) atau tiga mustika (Ind) yang berarti Buddha, Dharma, Sangha. Pada saat sembahyang atau kebaktian didepan altar Hyang Buddha. Triratna secara lengkap diucapkan dengan tenang dan khusyuk sampai tiga kali atau disebut trisarana. Trisarana adalah sebagai berikut:
Bahasa Sansekerta
      Buddhang Saranang Gacchami
      Dharmang Saranang Gacchami
      Sanghang Saranang Gacchami
     
      Dwipanang Buddhang Saranang Gacchami
      Dwipanang Dharmang Saranang Gacchami
      Dwipanang Sanghang Saranang Gacchami

      Tripanang Buddhang Saranang Gacchami
      Tripanang Dharmang Saranang Gacchami
      Tripanang Sanghai Saranang Gacchami
Bahasa Indonesia:
      Aku Berlindung kepada Buddha
      Aku Berlindung kepada Dharma
      Aku Berlindung kepada Sangha

      Kedua kali Aku Berlindung kepada Buddha
      Kedua kal Aku Berlindung kepada Dharma
      Kedua kali Aku berlindung kepada Sangha

      Ketiga kali Aku Berlindung kepada Buddha
      Ketiga kali Aku Berlindung kepada Dharma
      Ketiga kali Aku Berlindung kepada Sangha[4]
Jadi dalam kesaksian tersebut, nampak adanya sikap peneyerahan diri kepada Buddha, kepada Dharma (hukum-hukum yang telah diberikan oleh Budha) dan kepada sangha yaitu golongan pendeta yang hidupnya memelihara kelangsungan upacara agama yang pada umumnya tinggal dibiara-biara.
Pengakuan pada Dharma berarti mempercayai kebenaran hukum-hukumnya dengan kewajiban menjalankan dasar-dasar ajaran kelepasan hidup serta peraturan-peraturan lainnya. Dasar-dasar ajaran kelepasan tersebut adalah yang disebut Arya- satyami (Arya: utama Satyami : kebenaran yang terdiri dari 4 kenyataan hidup sebagai berikut:
1)      Bahwa dalam kehidupan di dunia ini penuh dengan hal-hal yang menyedihkan dan kesengsaraan, maka disimpulkan bahwa hidup itu menderita.
2)      Bahwa manusia berada oleh karena mempunyai nafsu keinginan untuk berada (hidup). Keadaan hidupnya itu adalah penderitaan karena terikat oleh samsara (menjelma berkali-kali).
3)      Jika tidak lagi punya nafsu keiginan: maka penderitaan samsara dapat dihilangkan yaitu dengan memadamkan nafsu keinginan tersebut (tresna).
4)      Cara menghilangkan nafsu keinginan itu ialah melakukan 8 jalan kebenaran (disebut dengan Astavidha) yang terdiri dari:
a.       Mengikuti pelajran yang benar.
b.      Melaksanakan niat (keinginan) yang baik.
c.       Mengucapkan perkataan yang baik dan tepat.
d.      Menjalankan usaha yang baik (halal).
e.       Melakukan pekerjaan yang baik.
f.       Memusatkan perhatian dengan baik.
g.      Mencari nafkah dengan baik.
h.      Melakukan tafakur dengan baik.
Dengan dasar Aryasatyami tersebut dapat diketahui bahwa agama Buddha mendidik pengikut-pengikutnya untuk berhati-hati serta bersungguh-sungguh dalm menjalankan suatu kewajiban atau pekerjaan mengingat bahwa dunia sekitar manusia ini dianggap penuh dengan hal-hal yang dapat mencelakakan karena ada 3 anasir keduniawian:
1)      Adanya Kama, yakni nafsu cinta.
2)      Adanya Dwesa, yakni rasa benci kepada orang lain.
3)      Adanya Moha, yakni mabuk (dalam segala bentuknya)
Untuk menegakan Dharma, maka pengikut-pemgikut Buddha pada umumnya wajib menjauhi larangan-larangan dalam hal-hal sebagai berikut:
1)      Dilarang melakukan pembunhan terhadap semua makhluk (misalnya peperangan dan sebagainya).
2)      Dilarang melakukan pencurian atau perampokan atau penyerobotan dan sebagainya.
3)      Dilarang melakukan perbuatan asusila, misalnya perzinahan.
4)      Dilarang meminum, minuman yang memabukan (minuman keras).
Adapun kewajiban khusus para anggota Sangha (orde pendeta) selain lima macam tersebut diatas ditambah lagi dengan 5 macam larangan yaitu:
1)      Dilarang makan dan minum diwaktu yang dilarang (misalnya waktu berpuasa).
2)      Dilarang mendatangi tempat-tempat yang dipergunakan untuk hidup makisat (misalnya tempat hiburan, pertunjukan-pertunjukan).
3)      Dilarang menghias diri (misalnya dengan pakaian baik memakai hiasan emas, belian dll)
4)      Dilarang tidur diatas tempat tidur yang baik.
5)      Dilarang menerima hadiah-hadiah yang berupa uang dan lain-lain benda berharga.
Sepuluh larangan tersebut kemudian disebut dengan “DASA SILA” (10 dasar).[5]
Pengertian Sadha dan Panca Sadha
a.      Kata Saddha adalah sebutan dalam bahasa Pali atau sradha sebutan dalam bahasa sansekerta.
Arti kata Saddha atau Sradha ialah keyakinan atau kepercayaan-Benar (confident).
b.      Dalam ajaran agama Buddha, sesungguhnya menekankan suatu kepercayaan yang ditimbulkan oeh suatu yang nyata. Inilah yang disebut dengan Saddha. Atau dapat diartikan sebagai keyakinan yang telah mencakup pengertian percaya di dalamnya.
Jadi kata Saddha itu, dapat juga diartikan sebagai:
1)      keyakinan
2)      kepercayaan-Benar
3)      keimanan dalam Bakti
c.       saddha bukanlah suatu kepercayaan yang membuta, melainkan suatu kepercayaan yang dimiliki para siswa dalam sekolah menengah, dimana siswa-siswa yakin akan adanya atom dan molekul. Tetapi mereka tidak dapat membuktikannya. Mereka terima itu karena percaya pada para sarjana yang menguraikannya. Tetapi kepercayaan uni tidak dapat disebut kepercayaan membuta. Di perguruan tinggi atau Universitas mereka mendapat kesempatan untuk melakukan percobaan untuk menguji kebenaran teori ilmu alam dan kimia tadi.
Demikian pula siswa agama Buddha pada tingkat permulaan yakin akan kebenaran beberapa ajaran Dhamma yang mereka dengar dari guru agamanya. Tapi setindak demi setindak dalam perjalanan mereka diatas jalan yang ditunjuk YMS Buddha Gautama akan membawanya pada kebenaran ajaran Dhamma yang tiada bandingnya.

Saddha Mengandung Tiga Unsur
Salah seorang pujangga Buddhis yang terkemuka, yang hidup abad ke IV bernama Asanga dan telah mengatakan bahwa Saddha itu mengandung tiga unsure yaitu:
1)      keyakinan kuat terhadap sesuatu hal.
2)      Kegembiraan mendalam terhadap sifat-sifat yang baik.
3)      Harapan memperoleh sesuatu di kemudian hari.

Bedanya Kepercayaan dengan Saddha
a)      Persoalan kepercayaan akan timbul bilamana kita dapat melihat sesuatunya dengan betul dan nyata.
Pada saat kita melihat, persoalan kepercayaan itu tidak aka nada lagi. Bila saya katakana kepada anda bahwa menyembunyikan sebuah mustika di telapak tangan yang saya genggam, persoalan kepercayaan akan segera timbul, sebab anda tidak melihatnya denga mata anda sendiri. Tetapi bila saya buka genggaman tangan tadi dan memperlihatkannya mustika itu kepada anda, maka persoalan kepercayaan itu tidak akan timbul.
Dalam hubungan ini teringatlah kita kepada sesuatu pepatah kuno penganut Buddha yang berbunyi sebagai berikut:
      “Mengalami sendiri seperti orang melihat satu mustika di telapak tangan”.
b)      Persoalan Saddha akan timbul bilamana kita dpat melihat sesuatunya dengan betul dan nyata. Tetapi haruslah diingat bahwa Saddha ini bukanlah suatu kepercayaan seperti yang di mengerti orang pada umumnya.[6]

Panca Saddha (Lima Keyakinan umat Buddha)
1)     Keyakinan Terhadap Sang Hyang Adhi Buddha, Para Buddha
Tuhan dalam agama Buddha bukanlah hal yang baru, melainkan hal yang telah lama di kembangkan, sejak pada abad ke IV M dari Negara bagian Benggala, tempat kota kelahiran Acarya Asangha.[7]
Pengaruh  Tantra menimbulkan pada Mahayana ajaran tentang Adhi Buddha, yaitu Buddha yang pertama, yang dipandang  sudah ada pada mula pertama, yang tanpa asal, yang berada karena dirinya sendiri, yang tidak pernah tampak karena berada di dalam Nirwana.
Hakikat Adhi Buddha adalah terang yang murni. Ia timbul dari Sunyata, kekosongan. Dengan lima macam permenungan (dyana) sang Adhi Buddha mengalirkan dari dirinya lima Buddha, yang disebut dyani Buddha, yaitu wairocana, Aksobhiya, Ratnasambhawa, Amithaba, dan Amoghasiddhi. Para dyani Buddha ini dipandang menguasai daerah-daerahnya sendiri, yang disebut Buddha ksetra. Daerah-daerah itu ada yang digambarkan seperti alam yang murni dan ada yang kurang murni, sesuai dengan tugas Dyani Buddha masing-masing. Di dalam daerahnya masing-masing itu mengajarkan Dharmanya kepada para makhluk dan menolong manusia untuk mendapat pencerahan.[8]
Diatas Panca Dyani Buddha yang memancarkan Bhodisatwa dan manusia Buddha tersebut  terdapat sesuatu yang tertinggi, permulaan yang tanpa ada yang mendahuluinya, yaitu yang disebut Adhi Buddha, atau Tuhan Yang Maha Esa Menurut kepercayaan aliran Mahayana.
Hubungan Dyani Buddha, Bhodisatwa dan Buddha dunia tersebut sangat erat dan membentuk kelompok yang mempunyai tugas sendiri-sendiri dipenjuru dunia sesuai dengan arah mata angin dan masa masing-mmasing ketiganya terkait menjadi satu dan tidak bisa dipisah-pisahkan, sebagaimna digambarkan dengan sangat jelas pada patung Bhodisatwa avalokatisvara di Candi Mendut. Dalam kepercayaan aliran Mahayana, jumlah Dyani Buddha, Bhodisatwa dan manusia Buddha ada lima. Masing-masing kelompok bertempat di salh satu penjuru dunia, sesuai dengan arah mata angin, dan salah satu Buddha bertempat di titik pusatnya. Mereka berada dan bertugas  dalm salah satu masa diantara masa-masa yang jumlanya juga ada lima. Untuk masa sekarang, yang bertanggung jawab adalah Dyani Buddha, Amitabha, Bhodisatwa avalokatiswara, dan Manusia Budha Gautama.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa doktrin Adhi Buddha dalam aliran Mahayana merupakan doktrin yang berusaha yang mempersonifikasikan konsep kebuddhaan sebagai Tuhan atau persembahan tertinggi. Doktrin ini sangat berbeda dengan konsep ketuhanan agama Buddha yang mula-mula, seperti yang dipertahankan aliran Theravada atau Hinayana.[9]
Sebagaimana kita ketahui, banyak agama-agama didunia ini memfokuskan perhatiannya terhadap pemujaan kepada Tuhan dan makhluk-makhluk suci lainnya, namun para umat Buddha di dunia telah memfokuskan pada tokoh Buddha atau Sidharta Gautama—seorang manusia yang menemukan bagaimana membawa pencerahan dari penderitaan dan keluar dari lingkaran hidup dan mati. Cara umat Buddha untuk berhubungan dengan Buddha adalah melalui penghormatan, sebagaimana orang lain dapat memuja kekuatan-kekuatan diluar alam atau dewa-dewa yang mereka yakini dapat memberikan pertolongan kepadanya dan sanak keluarganya.[10]
Ajaran agama Buddha bertitik tolak dari kenyataan yang dialami manusia dalam hidupnya. Ajaran tidak di mulai dari prinsip yang transcendent, yang mempersoalkan tentang Tuhan dan hubngannya dengan alam semesta dan segala isinya, melainkan dimulai dengan menjelaskan tentang dukha yang selalu menyertai hidup manusia dan cara membebaskan diri dari dukha tersebut. Dalam beberapa naskah pali dan sansekerta  disebutkan bahwa, sang Buddha selalu diam apabila ditanya oleh pengikutnya tentnag Tuhan, ia menolak dan tidak mempersoalkan tentang Tuhan, melainkan selalu menekankan pada para pengikutnya agar mempraktekan sila ketuhanan. Sepeninggal Buddha persoalan Tuhan juga bukan merupakan persoalan yang dianggap sangat penting dan mendesak dibicarakan dalam pasamuan agung pertama dan kedua. Masalah yang sangat penting yang dibicarakan dalam dua kali pasamuan itu adalah mengenai Dharma dan Vinaya. Kedua masalah inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya beberapa mazhab besar dalam kalangan umat Buddha.
Sekalipun demikian, benih-benih ajaran tentang Tuhan dalam agama Buddha dapat ditelusuri dari adanya perbedaan pemahaman tentang tingkat-tingkat keBuddhaan yang mulai muncul pada pasamuan agung kedua di Vaisali. Aliran Staviravada yang ortodoks menekankan bahwa tingkat-tingkat kebuddhaan adalah buah dari usaha yang tekun dalam menjlankan ajaran Sang Buddha, sedangkan Mahasanghika menekankan bahwa benih-benih kebuddhaan telah ada pada setiap makhluk dna hanya menunggu diwujudkan dan dikembangkan.[11]
Bikkhu CHANDRAKIRTI, seorang Bhikkhu Indonesia, pada abad ke-X M telah menulis naskah “NAMASANGITI” yang membahas tentang sifat-sifat dari pada sanghyang Adhi Buddha. Naskah tersebut adalah sebagai pengungkapan kembali tentang naskah lama abad ke-IV M yang di prakarsai oleh Bhikkhu Acarya Asangha dari Bengalora, pendiri dari aliran Yogacara. Dari beliaulah lahirnya doktrin “ADHI BUDDHA” ; sebagai pendalaman ajaran Mahayana yang telah di beri landasan oleh Bhikkhu Asvaghosa, yang pada mulanya berasal dari seorang Brahmana, ahli Veda.
Naskah Theisme dalam agama Buddha juga telah diperkenalkan pula dalam naskah-naskah di Indonesia, diantaranya dalam naskah “KUNJARAKARMA” dari Kediri dan naskah SANGHYANG KAMAHAYANIKAN karya Mpu Sri Warana Sambhara Surya dari kerajaan Wangsa ICANA (sendok). Dalam naskah terakhir ini, nama lain dari Adhi Buddha adalah Bhatara Buddha.
Istilah Adhi Buddha digunakan untuk menamakan sumber kebuddhaan  dan istilah ini ditemukan di Indonesia maupun Nepal dan Tibet.[12]
Kemaha kuasaan Sanghyang Adhi Buddha dimanifestaskan kedalam hukumnya yang disebut hukuum Kasunyataan. Hukum Kasunyataan ini adalh hukum Tuhan YME, yang kekal abadi, yang mengatasi waktu, tempat dan keadaan.
Semua yang tercipta tunduk kepada hukum Kasunyataan ini, dan tidak ada seorangpun yang dapat membebakan dirinya dari berlakunya hukum kasunyataan ini. Melalui hukum  Kasunyataan inilah Tuhan YME memperkenalkan kekyasaannya dan tidak ada yang aka mampu menentang hukum Kasunyataan ini, baik ia seorang manusia ataupun dewa, terkecuali orang yang telah mencapai kebebasan mutlak (Nibbana).[13]
Bukan sejarah tertarik untuk membicarakan sang Buddha, umat Buddha sendiri juga banyak membicarakan tingkat-tingkat kebuddhaan. Umumnya mereka berbeda dalam hla memandang tingkatan kebuddhaan tersebut. Pembicaraan tentang tingkat kebuddhaan ini sudah mulai muncul pada pasamuan agung kedua di vaisali. Aliran Staviravada yang ortodoks melihat bahwa tingkatan-tingkatan kebuddhaan adalah buah dari usaha yang tekun dalam menjalankan ajaran-ajaran Buddha, sedangkan menurut aliran Mahasanghika menekankan bahwa benih-benih kebuddhaan telah ada pada makhluk dan hanya menunggu untuk di wujudkan dan di kembangkan (Abdurahman 1988; 114-115).[14]
Mengenai para Buddha, terdapat 27 Buddha-Buddha yang terdahulu yaitu:


1.      Tahankara
2.      Medhankara
3.      Saranankara
4.      Dipankara
5.      Kondana
6.      Mangala
7.      Sumana
8.      Revata
9.      Shobitha
10.  Anomadasi
11.  Paduma
12.  Narada
13.  Padumutara
14.  Sumedha
15.  Sujata
16.  Piyadasi
17.  Attadasi
18.  Dhamadasi
19.  Sidhattha
20.  Tissa
21.  Phussa
22.  Vipasi
23.  Sikhi
24.  Veshabu
25.  Kakusandha
26.  Konagamana
27.  Kassapa


Buddha Gautama adalah Buddha yang terakhir atau yang ke 28
Buddha yang akan datang adalah ialah Bhodisatwa Maitreya, yang berarati : “yang penuh kasih sayang”.
Semua Buddha mengajarkan ilmu yang sama yaitu Dhamma atua Kasunyataan dan kebajikan untuk kebebasan mutlak dari penderitaan, Nibbana.
Baik dalam aliran Hinayana maupun aliran Mahayana, kedua-duanya mengajarkan pelajaran dan tujuan yang sama, hanya mungkin upacara-upacara keagamaannya yang berbeda-beda.[15]


2)      Bhodisatwa dan arahat

Bhodisatwa
Secara harfiah Bhodisatwa berarti orang yang hakikat atau tabiatnya adalah bodhi (hikmat) yang sempurna. Sebelum Mahayana timbul, penegrtian Bhodisatwa sudah dikenal juga, dan dikenalkan juga kepada Buddha Gautama, sebelum ia menjadi Buddha. Disitu Bodhisatwa adalah orang yang sedang dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan menjadi Buddha. Jadi semula Bhodisatwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan untuk menjadi Buddha. Didalam Mahayana Bhodisatwa adalah orang yang sudah melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain. Seorang Bhodisatwa bukan hanya merenungkan kesengsaraan dunia saja melainkan juga turut merasakannya dengan berat. Oleh karenanya  sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan segala aktivitasnya sekarang dan kelak guna keselamatan dunia. Karena kasihnya pada dunia maka segala kebajikannya dipergunakan untuk menolong orang lain.
Cita-cita tertinggi di dalam Mahayana ialah untuk menjadi Bhodisatwa. Cita-cita ini berlainan sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu untuk menjadi arhat, yaitu orang yang sudah berhenti keinginanya, ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukan lagi pada kelahiran tumimbal kembali. Seorang arhat hanya memikirkan kelepasan diri sendiri[16]
Dengan daya pengetahuan dan permenungan para Dyani Bhuddha melahirkan lima Bhidisatwa, yang disebut dyani Bhodisatwa, yaitu wairocana melahirkan Samantabhadra, Aksobhiya melahirkan Wajrapani, Ratnasambhawa melahirkan Ratnapani, Amithaba melahirkan padmapani atau Awalokiteswara, dan Amoghasiddi melahirkan Wispapani. Para Dyani Bhodisatwa ini adalh para pencipta alam bendani. Dunia yang mereka jadikan dapat binasa. Ada tiga yang sudah binasa. Dunia yang sekarang adalah dunia yang ke empat, hasil karya awalokiteswara, yang memiliki Amithaba sebagai pelindungnya.[17]


Arahat
Permulaan agama Buddha menanamkan ide rangkap mengenai arhatva dan nirvana. Buddha Gautama mengajarkan kepada murid-muridnya yang pertama kai dengan khotbah enpat Kasunyataan Mulia dan Delapan jalan utama serta menekankan pada ketidak-kekalan dan tiada kepemilikan dari semua unsur pokok mengenai pribadi manusia. Para sisiwa ini dipanggil arhat, dan Buddha sendiri diuraikan sebagia seorang arhat. Konsepsi mengenai arahat dikembangkan dan diperinci secara perlahan-lahan oleh guru dan penggantinya. Jadi seorang arahat juga diharuskan menegerti formula mengenai duabelas nidanas (sebab-akibat). Dia ditetapkan sebagai seorang yang telah mencabut tiga asravas (asava = minuman keras, dosa, dan kesalahan dari keinginan akan rasa, suka akan yang ada, dan ketidak tahuan, dan juga tambahan ke-empat asrava mengenai pikiran yang spekulasi. Dia melatih tujuh faktor penerangan (shambojjhanga): kesadaran, penelitian, energi, kesenangan, ketenangan, konsentrasi, dan ketenangan hati.[18]
Arhat juga menjadi cita-cita tertinggi dari aliran Hinayana, yaitu orang yang sudah berhenti keinginannya, ketidak tahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukan lagi pada kelahiran kembali.[19]
Seorang arahat yang telah terbebas, mengetahui dia tidak akan telahir kembali. Dia telah menyelesaikan dengan baik apa yang dikerjakan. Dia telah melepaskan bebannya. Dia hidup pada kehidupan suci. Dia mencapai kebersihan-kemurnian dan akhir emansipasinya dari pikiran hati. Dia sendiri, menyendiri, bersemangat, bersungguh-sungguh, menguasai dirinya sendiri.
Seorang arhat seperti itu juga pergi sebagai pengkhotbah dan mengajarkan ajaran Buddha kepada orang-orang. Gurua itu sangat menganjurkan kepada para siswanya untuk pergi berkelana dan berkhotbah kebenaran demi kebaikan dan pembebasan untuk orang banyak, karena dia mengasihi teman-temannya semakhluk dan menaruh kasihan kepada mereka.
Hal seperti itu adalah ide arahat itu, sebagaimana dimengerti selama tiga abad setelah Buddha Gautama parinibana.
Tetapi nyatanya bahwa para bhikku agama Buddha mulai mengabaikan aspek pentng tertentu dari pada itu dalam abad ke-2 SM, dan menekankan beberapa Tugas terhadap pengeluaran dari pada yang lainnya. Mereka menjadi lebih mementingkan diri dan tafakur, dan tidak menunjukan dengan jelas semangat lama itu demi tugas mengajar dan mneyebarkan agama atau misionari di antara manusia. Mereka nampaknya hanya memperhatikan demi pembebasan bagi mereka sendiri dari dosa dan duka. Mereka tidak membedakan terhadap tugas untuk mengajar dan membantu semua makhluk manusia.
Ajara Bhodisatwa diumumkan secara resmi oleh beberapa pemuka agama Buddha sebagai suatu protes terhadap kekurangan dari semangat spiritual yang benar ini dan altruism (sifat mementingkan kepentingan orang lain) di antara para bhikku pada waktu itu. Kedinginan dan kejauhan dari para arahat itu menunjukan suatu pergeseran yang sesuai dengan ajaran lama mengenai menyelamatkan semua makhluk. Ide Bhodisatwa dapat dimengerti hanya menantang latar belakang ini mengenai seorang saleh dan tenang, namun tidak aktif dan golongan viharawan atau viharawati yang tidak cekatan.[20]
Kesimpulan
Tidak dapat dikatakan bahwa di dalam ajaran agama Buddha seperti yang terdapat di dalam kitab-kitab Pitaka terdapat ajaran tentang Tuhan atau tokoh yangn di pertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu Tuhan, melainkan untuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan, tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai. Oleh karena itu maka ada ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui,bahwa Bhuddisme adalah suatu agama. Bhuddisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab dan akibat.
Akan tetapi kami kira pendapat yang demikian itu adalah keliru. Memang, harus di akui, bahwa sebutan Tuhan atau tokoh yang dipertuhankan tidak ada. Yang ada adalah nirwana, pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamkan. Tak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada dibelakang suasana damai itu.
Tidak ada gagasan tentang pemebri hukum, yang ada adalah hukum, tata tertib (karma) baik yang alamiah maupun yang moril. Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, di belakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan yang dipertuhan tadi.
Dilihat dari keyakinan Kristen dapat dikatakan, bahwa Buddha Gautama meraba-raba dan mencari kepada “Yang Tidak Jauh dari padanya”. Berdasarkan kenyataan bahwa didalam ajaran Buddha manusia rindu akan kelepasannya serta mencari-cari kan “Yang tak dilihatnya” dapat dikatakan, bahwa Buddhisme adalah suatu agama, denganya manusia berusaha mencari Tuhanya. Tuhan atau tokoh yang dipertuhan terdapat juga didalamnya.
Hanya Tuhan itu sukar ditemukan. Tokoh itu dikaburkan menjadi sesuatu yang tak berpribadi. Itulah sebabnya tidak ada hubungan aku-Engkau antara manusia dengan yang dipertuhan. Tetapi bagaimanapun Bhudisme adalah suatu ajaran kelepasan, suatu ajaran yang ingin membawa manusia pada jalan kelepasan karena merasa bahwa hidup ini tidak bebas.[21]





Daftar Pustaka
  Arifin M.Ed, H.M., Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, Jakarta: PT Golden Press, 1995.
Ali, Mukti H.A., Agama-Agama Di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
Hadiwijono, Harun., Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010.
Kebahagiaan Dalam Dhamma, Jakarta: Majelis Buddha Mahayana Indonesia
T, Suwarto., Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha Indonesia, 1995.
Tanggok, M Ikhsan., Agama Buddha, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.




Prof. H.M. Arifin M.Ed “Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar “ (PT Golden Press- Jakarta 1995) cet 1 hal 95
[2]  Waktu kosmik adalah kalpa. Satu kalpa adalah suatu periode waktu yang sangat  lampau yaitu 4326 juta tahun.
[3] Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana” (Majelis Agama Buddha Indonesia-Jakarta 1995)cet 1 hal 50
Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana” (Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Palembang 1995) cet 1 hal. 49-50
[5] Prof. H.M. Arifin M.Ed “Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar” hal 96-99
[6] “kebahagiaan Dalam Dhamma” (Majelis Buddhayana Indonesia) hal 15-16
[7] “kebahagiaan Dalam Dhamma” (Majelis Buddhayana Indonesia) hal 337
[8] Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha” (Gunung Mulia-Jakarta 2010)cet17 hal 94-95
[9] H. A. Mukti Ali. “Agama-Agama Di dunia” (IAIN Sunan Kalijaga Press-Yogyakarta1988)cet 1 hal 120-121
[10] M. Ikhsan Tanggok. “Agama Buddha” (Lembaga Penelitian UIN  Jakarta, Ciputat Jak Sel. 2009) cet 1 hal. 33
[11] H. A. Mukti Ali “Agama-agama di Dunia” (IAIN Sunan Kalijaga Press. Yogyakarta. 1988) cet 1. Hal 114-115
[12] ”Kebahagiaan Dalam Dhamma” hal 337-339
[13] ”Kebahagiaan Dalam Dhamma” hal 341
[14] M. Ikhsan Tanggok ‘’Agama Buddha” hal42
[15] “Kebahagiaan Dalam Dhamma” hal 336
[16] Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha” (PT BPK Gunung Mulia-Jakarta 2010) cet 17 hal91-92
[17] Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha”hal 95
[18] “Buddha Dharma Mahayana” hal 131
[19] Harun Hadiwijono. Hal 91
[20] Dr. Suwarto T. “Buddha Mahayana” hal132-133
[21] Harun Hadiwijono ‘’Agama Hindu dan Buddha”hal101-102



     RIWAYAT SIDHARTA GAUTAMA
Oleh
Ahmad Sobiyanto
 1111032100027


A.  Kehidupan Sang Buddha
1.    Kelahiran Bodhisattva
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 Sebelum Masehi di Taman Lumbini. Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi Seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa
Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa, atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah : 1. Orang tua, 2. Orang sakit, 3. Orang mati, 4. Seorang pertapa.[1]
Saat ia dilahirkan, bumi menjadi terang benderang, seberkas sinar sangat terang mengelilingi bodhisattva yang baru lahir itu.[2] Sesaat ia dilahirkan, Bodisattva berjalan tujuh langkah diatas tujuh kuntum bunga ke arah utara,[3]dengan jari telunjuk tangan kanan menunjuk kelangit, dan jari telunjuk tangan kiri menunjuk ke bumi, yang artinya Akulah teragung, pemimpin alam semesta, guru para dewa dan manusia. para dewa yang mendampingi menjatuhkan bunga dan air suci untuk memandikannya. Juga bersamaan waktu lahirnya, tumbuhlah pohon Bodhi.
Seisi alaam menyambutnya dengan suka cita karena telah lahir seorang Bodhisattva yang pada nantinya dia akan menjadi pemimpin alam semesta, gurunya para dewa dan manusia, mencapai Samyak Sam Buddha untuk mengakhiri penderitaan manusia dialam samsara ini.[4].
2.      Pada umur 12 tahun
Pangeran sidharta telah menguasi berbagai ilmu pengetahuan, ilmu taktik perang, sejarah, dan pancavidya, yaitu: sabda (bahasa dan sastra); silpakarmasthana (ilmu dan matematika); cikitsa (ramuan obat-obatan); hatri (logoka); adhyatma (filsafat agama). Dia juga menguasai Catur Veda rgveda(lagu-lagu pujian keagamaan): yajurveda (pujian untuk upacara sembahyang); athavarveda(mantra)
1.    Melihat Empat Peristiwa
Pada suatu hari pangeran mengunjungi Ayahnya dan berkata “Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan keluar istana untuk melihat tata cara kehidupan penduduk yang kelak akan ku perintah”.
Karena permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin. tetapi sebelumnya kata Raja, aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang baik.[5]
Sekalipun sang raja sudah memerintahkan agar seluruh jalan yang akan dilalui putranya itu harus dibersihkan dari segala hal yang tidak menyenangkan namun dalam perjalanan itu Siddharta melihat seorang yang sudah tua sekali. Pandangan ini mengejutkan Siddharta.[6]pangeran terkesan sekali, karena hal ini baru pertama kali dilihatnya.
Channa menerangkan kepada pangeran, bahwa itulah keadaan seorang tua, tetapi bukan keadaannya sewaktu ia dilahirkan.
“ Sewaktu masih muda orang itu seperti kita dan karena sekarang ia sudah tua sekali maka keadaanya telah berubah seperti yang tuanku lihat. Sebaiknya tuanku lupakan saja orang tua itu. Setiap orang kalau sudah terlalu lama hidup di dunia akan menjadi seperti oarang tua itu, hal ini tidak dapat dielakkan.”[7]
Atas keterangan Channa ia tahu bahwa segala makhluk kelak akan menjadi tua seperti orang tua itu. Dengan wajah yang muram sekali Siddharta kembali keistana.[8]
Setelah persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali dan ia merasa kuatir bahwa hal ini dapat menyebabkan pangeran meninggalkan istana.
Berselang beberapa hari pangeran kembali memohon kepada Raja agar diperkenankan melihat-lihat lagi kota Kapilavattu, tapi sekarang tanpa lebih dulu memberitahukannya kepada para penduduk.
Dengan berat hati Raja mengizinkan karena beliau tahu tidak ada gunanya melarang, sebab hal itu tentu akan membuat pangeran bersedih. Pada kesempatan ini pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian seperti anak kelurga Bangsawan, karen ia tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.
Pangeran memperhatikan orang-orang kecil yang sderhana dan semua orang kehilatannya sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjanya. Tetapi Pangeran juga melihat seorang yang sdeang merintih-rintih dan berguling-guling ditanah dengan kedua tangannya memegang perutnya. Dimuka dan badannya terdapat bercak-bercak berwarna ungu, matanya berputar-putar dan nafasnya mengap-mengap.
Untuk kedua kali dalam hidupnya Pangeran melihat sesuatu yang membuat beliau sangat sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya meletakkan kepalanya dipangkuannya dan dengan suara menghibur menanyakan: “mengapa engkau, engku mengapakah?” orang sakit itu sudah tidak adapat menjawab. Ia hanya menangis tersedu-sedu.
“ Channa, katakanlah mengapa orang ini? Apakah yang salah dengan nafasnya? Mengapa ia tidak bicara”?
“ O, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dn darahnya beracun. Ia diserang demam pes dan seluruh bdannya terasa terbakar. Oleh karena itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”
“tetapi apakah ada orang lain yang seperti dia”? “Ada, dan Tuanku mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti ini. Mohon dengan sangat agar Tuanku meletakkannya kembali ditanah dan jangan menyentuhnya lagi sebab sakit pes itu sangat meenular.”
“apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat diserang penyakit? Apakah penyakit datang secara mendadak”?
“betul Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit. Tidak ada orang yang dapat mencegahnya dan itu dapat terjadi setiap saat.” Mendengar ini pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk merenungi hal ini.
Berselang beberapa hari, Pangeran kembli memohon izin kepada Raja agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu. Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.
Pada kesempatan ini pangeran yang berpakaiaan sebagai anak seorang bangsawan dengan diiringi Channa berjalan-jalan kembli di kota Kapilavatthu. Tidak lama kemudian mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti sebuah usungan yang dipikul oleh empat orang.
Diatas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah sungai dan meletakkannya diatas tumpukan kayu yang kemudian di nayalakannya. Orang itu tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun apai telah membakarnya dari semua sudut.
Pangeran heran dan kaget sekali sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Pangeran berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut “mati” itu yang harus dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari seorang Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang dan dikamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari.[9]
Pangeran kemudian memohon kembali kepada ayahnya untuk diperkenankan untuk keluar istana lagi untuk berwisata ke taman Lumbini. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk menolak permohonan santun Putranya itu. Ditemani oleh Chnna, pangeran menuju taman Lumbini. Setelah sampai ditaman Lumbini dan ketika pangeran tengaah duduk menikmati taman tersebut, tampak olehnya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeranpun mendekati petapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itupun menjelaskan prihal dirinya.[10]
“ Pangeran yang mulia, aku ini seorang petapa, aku menjauhkan diri dari keduniawian, meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati. Selain dari itu aku tidak menginginkan hal-hal dan barang-barang duniawi.”
 Pangeran terkejut karena ternyata petapa ini mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya.
“O petapa suci, dimana obat itu harus dicari”?
“panngeran yang mulia, aku mencrinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat, jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.”[11]
Sejak saat itu Siddharta ingin mengikuti kehidupan petapa itu. Ia mencari jalan bagaimana dapat meninggalkan kehidupannya yang mewah itu.[12]
Ketika pangeran Siddharta masih di dalam taman dan benaknya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang di utus oleh raja Suddhodana mengabarkan bahwa Putri yasodhara telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Mendengar kabar itu, Pangeran justru bersedih hati dan berujar : “ seorang beenggu telah terlahir bagiku”! kelahiran tersebut merupakan halangan karena ia mencintai keluarga dan anaknya yang baru saja dilahirkan. Mengetahui apa yang diutarakan Pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian memberi nama bayi itu “ Rahula” yang berarti “belenggu”.
B.     Sang Budha Mendapatkan Penerangan Tertinggi
1.      Pangern siddharta Meninggalkan istana
Sebelum meninggalkan istana , Pangeran telah memohon izin kepada ayahnya, tetapi Ayahnya berusaha mencegahnya, tetapi Ayahnya tidak dapat memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Pangeran kepadanya. Antara lain dikatakan oleh Pangeran, bahwa ia tidak akan jadi pergi, apabila ayahnya dapat memberikan kepadanya kemudaan yang kekal, kecantikan yang kekal, kesehatan yang kekal dan hidup yang kekal.[13]
Pangeran kemudian pergi kekamar Yasodhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nenyak dan memeluk bayinya.
Setelah sampai di luar kota Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavattu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya).
Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, Malla dan kemudian dengan satu kali loncatan menyebrangi sungai Anoma.[14]
2.      Penerangan Agung
Pada suatu malam di bulan Waisak ketika bukan purnama, ditepi sunagi Neranjara, ketika ia sedang menghentikan cipta dibawah pohon Assatta (pohon Boddhi) dengan duduk padmasana melakukan meditasi dengan mengatur pernapasannya, maka datanglah petunjuk kepadanya sehingga ia mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi yang meliputi hal berikut:
a.       Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali.
b.      Dibacakkhu, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin,
c.       Cuti Upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan, bik atau buruk, bergantung pada prilaku masing-masing.
d.      Asvakkhayanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecendrungan dan avidya, tentang menghilangkan ketidaktahuan
Dengan telah tercapainya penerangan tersebut maka Siddharta Gautama telah menjadi Buddha pada umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya Manusia’ atau guru dari manusia.
C.       Sang Budha Mengajarkan Dharma
Setelah itu sang Buddha masih ragu-ragu untuk menyampaikan darmanya kepada orang lain, karena Dharmanya hanya dapat diterima orang arif bijaksana, maka ia pergi ke Banares untuk menemukan murid-muridnya. Pada mulanya para murid itu ragu, tetapi setelah melihat keagungan Buddha maka kelima muridnya bersedia kembali mengikuti ajarannya. Kepada mereka lalu diajarkan empat kesunyataan itu.
Peristiwa-peristiwa tersebut diatas sangat penting dalam agama Buddha, yang disebut “Dharmma Cakra Pravantana Sutra”, yaitu “pemutaran roda dharmma” yang selalu diperingati oleh para penganut agama Buddha. Begitu juga taman isi patana di Benares yang merupakan tempat asal mula kelahirana ajaran Buddha dan Sangha, apar pemula penganut ajaran Buddha, merupakan tempat suci bagi umat Buddha. Sejak peristiwa pemutaran Rodha dharma tersebut mulailah siddharta Goutama yang telah menjadi Buddha itu, menyebarkan ajaran diseluruh India mulai dari kota Rajagraha yang berpokok pada empat kebijakan kebenaran bahwa:
-           kehidupan manusia itu pada dasrnya tidak Bahagia
-          sebab-sebab tidak bahagia karena memikirkan kepentingan diri sendiri terbelengggu oleh nafsu,
-           pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan habis jika semua nafsu dan hasrat dapat ditiadaan, yang dalam ajaran Buddha adalah Nirwana,
-          Menimbng benar, berpikir benar, berbuat benar, mencari nafkah, berusaha yang benar, mengingat yang benar, meditasi yang benar,
Selama 45 tahun lamanya Buddha menyampaikan ajaran-ajaran, sehingga dari sekitar 60 orang anggota Sangha kemudian menjadi ribuan orang banyaknya, yang memerlukan banyak Wihara, pada akhirnya dalam umur 80 tahun wafat di kusiwara yang letaknya sekitar 180 KM dari kota Banares. Ia meninggal tanpa petunjuk siapa yang menjadi penerus, sehingga di kemudian hari ajaran terpecah menjadi dua golongan yaitu Teravadha  ( Hinayana ) dan Mahasangika (Mahayana).
                       




[1] Pandita S. Widyadharma, INTI SARI AGAMA BUDDHA, hal 1
[2] Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), hal.7-8
[3] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal.4
[4] Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), hal.8
[5] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 10
[6] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010), hal.65
[7] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 11
[8] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010), hal.65.

[9] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 11-14
[10] Forum Diskusi Agama Buddha, www.wihara.com. Di unduh pada Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.
[11] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal.15-16
[12] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010), hal.66


[13] A.G. Honig. Ilmu Agama, (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1997) hal.173
[14] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 19-20



Keyakinan Terhadap Hukum Kasunyataan
Hukum Karma dan Tumimbal Lahir, Tilakhana
Oleh
Fahmi Dzilfikri
1111032100030


1.      I.       Pendahuluan
Buddha Gotama lahir ketika terjadi pergolakan, ketika kebudayaan sekitar menginginkan perubahan radikal yang bersifat spiritual. Gotama sebagai inovator, mengatakan bahwa pengalaman pencerahan telah menunjukan padanya solusi masalah penderitaan manusia.
Apakah Buddha Gotama ini membuat agama baru atau tidak, itu tidak akan menjadi fokus perdebatan pada makalah ini. Karena, terima atau tidak kini ajarannya telah menjadi sebuah agama yang diyakini oleh seluruh penganutnya. Dalam makalah ini, akan disajikan beberapa ajaran Buddha seperti Kamma, dan Tilakhana. Buku “Kebahagian dalam Dhamma” sebagai referensi utama yang digunakan penulis.
1.      II.    Hukum Karma dan Tumimbal Lahir (Rebirth)
2.      1.      Pengertian Kamma atau Karma
Kamma[1] adalah term atau kata dalam bahasa Pali, yang mempunyai arti semua jenis kehendak atau maksud (action or doing) perbuatan, yang baik maupun yang  buruk, lahir atau pun batin dengan pikiran, ucapan dan tindakan[2].
Mengenai hal Kamma, Buddha Gotama bersabda dalam kitab Anguttara Nikaya III halaman 415 :
“I declare, O Bihkkus, that volution (cetana) is Kamma, Having willed one that acts by body, speech and thought.” [ Oh para siswa, kehendak untuk berbuat (cetana) itulah yang Kami sebut Kamma. Sesudah berkehendak lalu orang berbuat dengan badan, ucapan dan pikiran ][3]
Secara umum semua bentuk keinginan atau tindakan yang tidak membedakan baik (moral) atau buruk (immoral) adalah disebut Kamma. Dalam ajaran Buddha, Kamma ini bukanlah sesuatu yang membuat manusia menjadi putus asa, dan bukan juga mengenai kehidupan yang telah ditakdirkan. Memang dalam keyakinan umat Buddha bahwa masa lalu mempengaruhi kehidupan sekarang, namun bukan berarti menentukan semua kehidupannya dalam artian takdir. Apa yang terjadi di masa silam, merupakan dasar hidup apa yang terjadi sekarang. Oleh karena itu, saat sekarang inilah merupakan saat yang nyata dan kitalah yang menentukan untuk menggunakan dengan sebaik-baiknya atau tidak.
Semua perbuatan akan menimbulkan akibat dan akibat ini akan menjadi sebab atas akibat yang lain dan demikian seterusnya, sehingga Kamma sering juga disebut sebagai hukum sebab-akibat (kausalitas)[4]. Dalam buku Kebahagiaan dalam Dhamma, dicontohkan ketika kita melempar batu adalah suatu perbuatan. Kemudian batu tadi mengenai kaca dan pecah. Pecahnya kaca merupakan akibat dari pelemparan batu. Tidak selesai sampai di sana, setelah kaca pecah kita memberikan uang sebagai ganti rugi, yang sebenarnya uang ganti rugi itu untuk keperluan lain, sehingga menimbulkan suatu kekecewaan. Munculah akibat akibat lain dari kekecewaan ini[5]. Oleh karena itu kita harus berbuat baik agar Kamma Vipaka (akibat-kamma) juga berbuah baik.  
Apa pun yang terjadi pada diri kita, yang menimpa pada kita adalah sesuatu yang kita harus terima adanya. Kala kita mengalami sesuatu yang menyenangkan, yakinilah bahwa Kamma yang kita telah perbuat adalah baik. Sebaliknya, jika kita ditimpa sesuatu yang tidak baik, dan membuat kita tidak senang, adalah Kamma-Vipaka, itu menujukan kita telah berbuat hal yang salah atau tidak baik.
Hasil Kamma tidaklah selalu sama, ada yang berlangsung cepat ada pula yang berlangsung lama. Bukan berarti Kamma tidak berfungsi atau tidak tepat, tetapi karena kekeliruan diri sendiri. Buddha bersabda :
Pembuat kejahatan melihat kebahagiaan selama perbuatan jahatnya belum masak; tetapi bilamana perbuatan jahatnya telah masak, maka barulah ia melihat penderiataan.
Menurut ajaran Buddha, ada 3 macam penyebab dari perbuatan yaitu :
1.      Loba (keserakahan)
2.      Dosa (kebencian) dan
3.      Moha (kebodohan)
Jenis-jenis Kamma :
1.      Kamma yang ditentukan oleh waktu
2.      Kamma yang ditentukan oleh kekuatan
3.      Kamma yang ditentukan oleh fungsi
Sekalipun Kamma yang buruk tidak dapat dirubah, bukan berarti seseorang tidak dapat sama sekali memperbaikinya.  Ajaran Buddha memberikan solusi, ketika seseorang menyadari bahwa Kamma yang buruk itu merupakan hasil dari Kamma yang telah diperbuat di kehidupan sebelumnya, hendaklah dia memperbaiki dan senantiasa melakukan kebaikan[6].
Kamma dipandang sebagai sebab utama adanya berbagai kejadian yang terjadi alam ini, namun hal ini bukan merupakan fatalisme[7] (such a fatalistic doctrine is not the Buddhist law of Kamma) atau pun suatu takdir untuk seseorang. Hukum Kamma hanya merupakan salah satu dari 24 sebab. Sebagai mana yang ditemukan dalam filsafat agama Buddha[8] atau salah satu dari lima Niyama (Hukum Tata Tertib Alam Sejagad) yang berlaku di alam semesta ini dan merupakan hukum yang berdiri sendiri.
Lima Niyama ( The Five Niyamas)
Ajaran Buddha mengatakan ada lima hukum Niyama yang mengatur alam fisik dan mental ini, diantaranya :
1.      Utu Niyama
Adalah hukum yang mengatur physical inorganic, misalnya gejala timbulnya angin dan hujan. Termasuk gejala alam lain, seperti pergantian musim-musim dan perubahan iklim yang disebabkan oleh angin dan hujan, sifat-sifat panas dan sebagainya.
1.      Bija Niyama
Adalah hukum yang mengatur tumbuh-tumbuhan dari pada benih (seeds) dan sel-sel termasuk pula jenis-jenis persamaan yang terdapat pada bayi kembar (physical organic). Keistimewaan-keistimewaan dari berbagai jenis buah-buahan dapat pula digolongkan pada Niyama ini.
1.      Kamma Niyama
Adalah hukum tentang sebab akibat ( act and result). Misal : perbuatan yang bermanfaat akan menghasilkan sesuatu yang baik dan sebaliknya jika tidak bermanfaat hasilnya pun tidak baik.
Sebagimana sifat air mengalir untuk mencapai persamaan (own level), begitu pula Kamma memberikan keseimbangan. Dampaknya itu bukan suatu hadiah (reward) atau hukuman (punishment), melainkan suatu hal yang wajar dari suatu rangkaian.
1.      Dhamma Niyama
Adalah hukum yang mengatur tentang the norm. Misal : keajaiban alam sewaktu seorang Bodhisattva hendak mengakhiri hidupnya sebagai calon Buddha. Gaya gravitasi bumi dan kejadian-kejadian alam yang semisalnya, sebab-sebab dari pada keseimbangan dan keselarasan termasuk juga pada golongan ini.
1.      Citta Niyama
Adalah hukum yang mengatur tentang jalannya alam pikiran atau alam batin (mind or psychic law). Misalnya : proses sebuah kesadaran, munculnya sebuah kesadaran, kekuatan pikiran termasuk juga telepati.
Kemampuan mengingat masa lalu dan atau meramalkan masa depan adalah termasuk pada hukum ini.
Demkian mengenai Lima Niyama yang mengatur alam semesta ini. Termasuk semua gejala yang lahir maupun yang batin, di seluruh alam semesta ini dan tidak perlu ada yang mengatur lagi[9].
1.      2.      Perang Cetana dalam Kamma
Cetana, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya merupakan akar dari perbuatan baik maupun buruk. Apabila cetana berhubungan dengan citta (kesadaran) yang berakar pada lobha, dosa dan moha, akan timbullah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pikiran, ucapan dan badan yang buruk, kemudian ssebagai akibatnya ialah mendapatkan bentuk-bentuk karma yang buruk (akusala kamma). Begitu pun, apabila kausala cetana maka timbullah perbuatan-perbuatan yang baik, sehingga sebagai akibatnya dimilikilah bentuk-bentuk Kamma yang baik pula[10].
Kamma merupakan hukum kausalitas (moral causation). Kelahiran kembali adalah sebuah akibat yang wajar. Antara Kamma dan tumiba lahir saling terkait, dan merupakan doktrin fundamental dalam agama Buddha. Kedua doktrin ini, adalah hal yang lumrah atau lazim di India bahkan sebelum kedatangan agama Buddha. Namun, Buddhalah yang kemudian menjelaskan dan memformulasikan kedua doktrin ini secara lengkap sebagaimana yang kita kenal sekarang[11].
1.      3.      Tiga Macam Kamma Berdasarkan atas Kejadiannya Mano-Kamma, Vaci-Kamma dan Daya-Kamma
Kamma ada yang terjadi di alam Neraka, binatang, setan, manusia dan bahkan di surga. Ada Kamma yang berlangsung dalam satu kehidupan, atau di kehidupan mendatang atau dalam kehidupan berikutnya. Kejadiannya berdasarkan tiga macam Kamma, yaitu :
1.      Perbuatan yang dilakukan oleh Pikiran (Mano-Kamma)
2.      Perbuatan yang dilakukan oleh Ucapan (Vaci-Kamma)
3.      Perbuatan yang dilakukan oleh Badan (Kaya-Kamma)

1.      4.      Kamma menurut sifat dan Akar Kamma
1.      Kusala-Kamma artinya perbuatan baik yang dilakukan oleh pikiran, ucapan maupun badan. Hal ini bisa dilakukan bila cetana berhubungan dengan kesadaran yang terbebas dari alobha, adosa dan amoha.
Ada sepuluh Kamma baik (Kausalakamma-patha) sebagai berikut :
1.      Dana atau murah hati (dermawan)
2.      Sila atau hidup bersusila (moral)
3.      Bhavana atau pengembangan dalam meditasi
Mengembangkan pikiran dengan mengisi metta dan kemudian ditingkatkannya dengan mengembangkan pandangan terang menggunakan perhatian pada gerak-gerik jasmani-rohani. Dengan cara :
a. Samatha-Bhavana (ketenangan batin)
b. Vipassana-Bhavana (pandangan terang)

1.      Apacayana atau hormat dan rendah hati
2.      Veyyavacca atau berbakti
3.      Pattidana atau cenderung membagi kebahagiaan
4.      Pattanumodana atau bersimpati terhadap kebahagiaan orang
5.      Dhammasavana atau mendengarkan dhamma
6.      Dhammadesana atau menyebarkan dhamma
10.  Ditthijukamma atau meluruskan pandangan hidup

1.      Akusala-Kamma artinya perbuatan jahat/buruk yang dilakukan oleh pikiran, ucapan maupun perbuatan. Terjadi jika cetana berhubungan dengan kesadaran pada lobha, dosa dan moha.
Ada sepuluh Kamma Jahat (akusalakamma) sebagai berikut :
1.      Panatipata atau pembunuhan
2.      Adinnadana atau pencurian
3.      Kamesumicchacara atau perjinahan
4.      Musavada atau pendustaan
5.      Pisuanvaca atau pergunjingan
6.      Pharusavaca atau kata-kata kotor dan menghina
7.      Samphappalapa atau omong kosong
8.      Abhijjha atau keserakahan
9.      Vyapada atau kemauan jalan untuk mencelakakan
10.  Micchaditthi atau pandangan salah

1.      5.      Empat Kamma menurut waktu atau Kiccacatuka
1.      Dittha Dhammavedaniya-Kamma
Perbuatan baik atau buruk yang langsung terjadi dalam kehidupan sekarang atau satu fase kehidupan. Disebabkan oleh saar kehendak impuls (dorongan hati) atau Javana-Cetana[12] yang baik atau buruk. Dalam waktu tujuh hari dengan pasti.
Kamma ini terbagi dua macam, yaitu :
1.      Paripakka Dittha Dhammavedaniya-Kamma
2.      Aparipakka Dittha Dhammavedaniya-Kamma
3.      Ahosi-Kamma
Kamma yang tidak menimbulkan akibat sama sekali.
1.      Upapajjavedaniya-Kamma
Kamma yang terjadi di kehidupan berikutnya. Jika gagal terjadi maka termasuk pada Ahosi Kamma.
1.      Aparapariyavedaniya-Kamma
Kamma yang terjadi di kehidupan yang ke tiga dan seterusnya hingga menjadi Ahosi Kamma.
1.      6.      Empat Kamma menurut sifat dan akibatnya atau Pakadanapariyayacatuka
1.      Garuka-Kamma
Perbuatan baik atau buruk yang berkualitas atau berat, sehingga Kamma ini terjadi lebih dulu dan timbul dalam satu kehidupan.
1.      Acinna-Kamma atau Bahula Kamma
Perbuatan baik atau buruk yang terlah menjadi kebiasaan. Kamma ini terjadi setelah Garuka-Kamma.
1.      Maranasanna-Kamma atau Asanna-Kamma
Perbuatan baik atau buruk yang dilakukan pada saat ajal.
1.      Katatta-Kamma
Perbuatan baik atau buruk yang ditangguhkan tidak begitu berat dirasakan akibatnya dari perbuatan-perbuatan lampau.

1.      7.      Empat Kamma menurut Fungsi Sifat Bekerjanya atau Kiccacatukka
1.      Janaka-Kamma
Adalah hukum yang menyebabkan timbulnya syarat untuk lahirnya kembali suatu makhluk.
1.      Upatthambaka-Kamma
Perbuatan yang menunjang akibat lain.
1.      Upapilaka-Kamma
Perbuatan baik atau buruk yang menekan dan menghilangkan akibat dari Kamma lain.
1.      Upaghataka-Kamma
Perbuatan baik atau buruk yang menggugurkan jenis kamma lain yang lemah dan menimbulkan Kamma lain.
Dari penjelasan hukum Kamma ini kita dapat mengambil pelajaran tentang kesabaran, keyakinan, percaya pada diri sendiri, pengendalian diri dan memperoleh kemampuan[13].
III. Tilakhana (Tiga Corak Umum;anicca,dukkha, anatta)
Tilakhana (tri-laksana) artinya Tiga Sifat Universal atau Tiga Corak Umum dari alam fenomena dan ini termasuk  Hukum Kesunyataan; Mengandung arti, hukum ini berlaku dimanapun dan kapanpun, tidak terikat oleh waktu dan tempat[14]. Tilkhana, yaitu :
1.      1.      Sabbe Sankhara Anicca
Kata Anicca berarti tidak kekal, yaitu segala sesuatu yang ada di alam semesta ini terus menerus mengalami perubahan. Misalnya, bunga, buah-buahan, pepohonan dalam perkebunan. Umat Buddha meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini sebagai suatu proses yang selalu dalm keadaan bergerak, yaitu :
Uppada ----------------à thiti -----------------à bhanga
(timbul)                    (berlangsung)                 (berakhir/lenyap)
Terdapat dua faktor, yaitu pembentuk (uppada) dan penghancur (nirodha) yang berlangsung secara terus-menerus dan tidak pernah berhenti walaupun sekejap. Sejak permulaan sesuatu itu tercipatakan atau terbentuk, kehancuran telah membayanginya dan dapat dipastikan suatu saat akan kembali hancur tak berbekas.
Ketidak-kekalan (anicca) bukanlah suatu ajaran dalam agama Buddha yang direka-reka atau dibuat-buat, melainkan sudah jelas sekali dalam kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena kemelakatan yang disebabkan oleh ketidak-tahuan (avijja), maka kita tidak mampu melihat kesunyataan.
Tubuh dan  pikiran adalah sesuatu yang dianggap sebagai fenomena yang terlihat secara jasmani dan rohani. Setiap waktu dari kesadaran dianggap sebagai bentuk dari sebab akibat, namun karena ketidak setabilan menyebabkan tidak terlihat[15]. Misal, ada seorang yang mengendarai sepeda selama duapuluh tahun. Ia sangat rajin merawat sepeda itu, setiap kali ada yang rusak ia perbaiki sehingga ia beranggapan bahwa sepeda yang dinaikinya ini masih sama dengan yang ia naiki dua puluh tahun lalu. Anggapan semacam ini tidak benar, karena keliru menafsirkan kata “sama” dan “utuh/awet”.
Di dalam kitab Suci Tipitaka dijelaskan bahwa ketika seorang siswa telah menembus kesunyataan atau dhamma, ia akan menyadari : “yamkinci uppadadhammang sabbang tang nirodadhammang” [ segala sesuatu yang berbentuk pastilah akan lenyap]. Penembusan yang sempurna terhadap kesunyataan ini hanya dapat dilakukan apabila kita sudah tidak mempunyai keinginan (tanha) terhadap apapun. Selama kita belum bisa melepaskan tanha, selama itu pula kita akan terbutakan (sakkayaditthi). Itulah yang  menyebabkan kita tidak menyadari corak ketidak-kekalan dari segala sesuatu yang wujud atau sankhara.
Bagaimana anicca ini berbicara tentang “waktu”, dari penejelasan sebeumnya dikatakan bahwa tidak mengenal waktu dan tempat. Anggapan tentang masa lalu, masa sekarang dan yang akan datang hanya ada, karena jika kita menghubungakan sesuatu yang bersifat tetap. Misal A ini ada di masa lalu, masa kini dan nanti, anggapan tentang sesuatu yang tetap inilah yang menyebabkan anggapan tentang “waktu”. Namun, selama kita mempunyai tanha, yang menyebabkan kita sakkayaditthi, selama itu pula anggapan tentang waktu tidak dapat dipatahkan[16].
Dalam kitab Samyutta Nikaya II : 49, diuraikam : segala sesuatu yang menwujud, ia akan berlalu dan lenyap menurut kodrat yang sewajarnya. Hukum ini meliputi segala sesuatu, siapa saja, baik makhluk yang paling berkuasa maupun makhluk yang paling lemah dan tidak berdaya.
Dalam ajaran Buddha, tidak ada yang disebut “makhluk”, tapi yang ada hanyalah “BHAVA” yaitu perwujudan dan perkembangan yang tidak pantang berhenti. Setiap sesuatu yang mewujud adalah akibat sebab-musabab yang mendahuluinya. Sebab-musabab tadi saling berhubungan satu sama lain dan selalu berubah-ubah.
Demikianlah bentuk materi, demikianlah kejadiannya, demikianlah cara lenyapnya dan selanjutnya demikian pula dengan ketiga kelompok lainnya, yakni pencerahan, pikiran dan kesadaran. Sebenarnya penyempurnaan yang tertinggi dari kehidupan rohani adalah hasil dari pencerapan yang sewajarnya terhadap sifat timbul dan lenyapnya perasaan yang kontak melalui ke-enam pintu-pintu indranya. Ke-enam macam sentuhan indra inilah yang merupakan sebab dari samsara yang terus-menerus, dengan lain kata, ialah BHAVA atau dumadi yaitu timbul-lenyapnya arus penjelmaan dan selanjutnya hal itu dikenal sebagai unsur pergolakan Sankhara yang terpenting.



1.      2.      Sabbe Sankhara Dukkha
Dukkha[17] ini sering diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai penderitaan, merupakan corak yang khas dari semua kehidupan (samsara) yaitu tentang ketidaksempuranaan. Semua bentuk yang mewujud adalah tidak sempurna[18].
Segala sesuatu yang tidak kekal menimbulkan penderitaan atau penderitaan itu terjadi karena adanya perubahan yang terus-menerus. Segala sesuatu pasti berubah, cepat atau lambat dan kemudian menjadi lapuk atau rusak.
Sarjana-sarjana Barat sering menggunakan kata sorrow, ill, suffering untuk menterjemahkan kata Dukkha. Akan tetapi tidak ada satu katapun yang tepat untuk menterjemahkan kata Dukkha, dalam bahasa Inggris tidak mencakup keseluruhan dari maknanya karena biasanya maknanya itu terlalu khusus, terbatas, dan sempit. Namun, makna dari Dukkha dapat diartikan suatu perasaan atau pikiran yang tidak puas, yang timbul karena tidak tercapainya suatu keinginan atau yang timbul karena perubahan-perubahan yang senantiasa terjadi di dalam ataupun di luar diri kita[19].
Buddha Gotama memformulasikan tentang Dukkha ini, kelahiran merupakan dukkha, kesakitan dan kematian adalah dukkha, berkumpul dengan sesuatu yang tidak disenangi adalah dukkha, gagal dalam sesuatu yang dicita-citakan adalah dukkha, singkatnya kelima kelompok kehidupan jasmani dan rohani yang disebut Pancakkhandha.
Menurut Buddha, permulaan, kelangsungan dan pengakhiran dari suatu keadaan yaitu seluruh alam (loka) dari tiap makhluk hidup, adalah berpusat pada pribadinya sendiri, yakni kelima kelompok kehidupan merupakan pribadi yaitu terdiri atas rupa (jasmani), vedana (perasaan), sanna (pencerapan), sankhara (bentuk-pikiran), dan vinnana (kesadaaran). Bentuk jasmani ini, sebagaimana yang kita ketahui terdari dari empat unsur materi yang besar, yaitu cair (apo), panas (tejo), gerak (vayo), dan padat (pathavi). Keempat unsur pokok ini, terikat oleh hukum-hukum alam semseta yang berkenan ketidak-adilan.
Dukkha adalah sudah lazim mengikuti kesunyataan tentang anicca dan tidak terdapat sesuatu inti yang kekal, yang dapat kita pegang sebagai jasmani untuk memperoleh ketentraman dan kepuasaan. Tanha membuat orang ingin menguasai dunia dan hati kita melekat kepadanya, akan tetapi dunia ini selalu lolos dan meninggalkan kita, sebelum menyadarinya sehingga membuat kita bersedih dan berduka karenanya.
Yang menimbulkan Dukkha menurut hukum Pattica-samuppada yaitu :
1.      Tanha diikuti oleh Upadana
Tanha adalah keinginan, kehausan atau kerinduan dan Upadana adalah yang melekat atau ikatan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.
1.      Upadana diikuti oleh Bhava
Bhava adalah sesuatu yang terbentuk, maksud di sini adalah proses terbentuknya kehidupan. Adanya kelahiran kembali karena ada upadana atau ikatan di kehidupan sebelumnya (proses Kamma).
1.      Bhava diikuti oleh Jati, Jaramarana dsb
Jika Bhava (proses kehidupan atau arus perwujudan) ini terbentuk, maka timbullah kelahiran, usia, tua, kematian, mengalami sukses dan kegagalan, harapan dan kekecewaan. Dengan demikian timbullah segala macam penderitaan.
Apabila kita berhasil menaklukan “tanha”, maka tidak akan muncul “upadana” karena mana mungkin timbul keterkaitan kalau tidak ada keinginan. Berhentinya keterikatan atau kemelakatan berarti berhenti pula arus penjelmaan. Bila arus penjelmaan berhenti, maka berhenti pula tumiba lahir (jati), begitu pun usia tua, kelapukan, kematian (jaramarana) dan segala penderitaan. Semua penderitaan telah dilenyapkan. Tassayeva tanhaya asesa viraga-nirodha yaitu lenyapnya semua keinginan secara mutlak, inilah yang dinamakan “NIBBANA”[20].
1.      3.      Sabbe Sankhara Anatta
Setelah membahas kedua uraian dari hukum tilakhana, kita sebetulnya sudah mendapatkan arahan dasar pelajaran agama Buddha tentang pengertian dari Anatta yaitu tanpa-aku atau tidak ada suatu subtansi. Arti lainnya adalah bahwa segala sesuatu tidak mempunyai inti yang kekal abadi, atau tidak adanya existensi pribadi. Umat agama Buddha sendiri mengakui, bahwa kata anatta ini banyak menimbulkan perdebatan dan salah paham juga menyebabkan multi tafsir mengenai makna dari kata anatta.
Tanpa pengertian atau pengetahuan mengenai arti dari anatta adalah tidak mungkin mengerti pemikiran agama Buddha. Ajaran pokok ini menjelaskan tentang penolakan mengenai kenyataan dari aku atau jiwa yang mendiami individu, suatu kesatuan yang lahir.
Setidaknya anatta di terangkan dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu :
1.      Tidak terlalu mementingkan diri sendiri.
2.      Kita tidak dapat memerintah siapa dan apa saja, termasuk tubuh-jasmani dan pikiran kita supaya tetap seperti yang kita inginkan.
3.      Bila tingkatan pengetahuan tinggi dicapai dan memperaktekan akan mengetahui dan menemukan bahwa jasmani dan batinnya sendiri adalah tanpa “aku”, atau tanpa pribadi. Orang yang telah mencapai kebijaksanaan tertinggi, ia tidak terikat dengan apapun dimanapun dia berada[21].



Daftar Pustaka


Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. Jakarta : Majelis Buddhayana Indonesia. 1980
Minato, Shiba. The Teaching of Buddha. Tokyo : Bukkyo Dendo Kyokai, 1981
Prebish, Charles S. dan Damien Kewon. Introducing Buddhism. New York : Routledge. 2nd. 2010
Sri Dhammananda, K.. What Buddhists Believe. Taiwan : The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation. 5th. 1993
The Buddhist Missionary Society. The Buddha and His Teachings. Kuala Lumpur : The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation. 3rd. 1977
T, Drs. Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. 1995


[1] Dalam bahasa Sansakerta Karma.

[2] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. (Jakarta : Majelis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 143

[3] The Buddhist Missionary Society. The Buddha and His Teachings. (Kuala Lumpur : The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation, 1977) 3rd, h. 348

[4] K. Sri Dhammananda. What Buddhists Believe. (Taiwan : The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation, 1993), 5th., h. 87

[5] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. h. 143-144

[6] Lihat Drs. Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana. (Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995) h. 70- seterusnya.

[7] The Buddhist Missionary Society. The Buddha and His Teachings. (Kuala Lumpur : The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation, 1977) 3rd, h. 344

[8] Lihat Compendium of Philosophy, h. 191, Manual of Abhidhamma oleh Narada Thera.

[9] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. h. 146-147

[10] Charles S. Prebish dan Damien Kewon. Introducing Buddhism. (New York : Routledge, 2010) h. 17-20

[11] The Buddhist Missionary Society. The Buddha and His Teachings. 3rd, h. 333

[12] Dalam bahasa Pali

[13] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. h. 149-192

[14] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. h. 225

[15] Lihat Drs. Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana. h. 60

[16] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. h. 228-229

[17] Dukkha dalam bahasa Pali, sangat sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara tepat.

[18] Lihat Drs. Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana. h. 59

[19] Shiba Minato. The Teaching of Buddha. (Tokyo : Bukkyo Dendo Kyokai, 1981) h. 82-85

[20] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma. h.238-245

[21] Drs. Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana. h. 61



KEYAKINAN TERHADAP KITAB SUCI
TRIPITAKA
(SUTRA PITAKA, VINAYA PITAKA, ABIDHARMA PITAKA
DAN BAGIAN-BAGIANNYA)
Oleh :
Dede Ardi Hikmatullah
NIM : 1111032100037


A.  PENDAHULUAN
Setiap agama pasti memiliki sesuatu yang dikategorikan sebagai ‘kitab suci’. Kitab suci merupakan salah satu unsur penting di dalam sebuah agama. Karena dari kitab suci itulah kita dapat mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan agama yang bersangkutan, seperti konsep ketuhanan, ajaran, ritual-ritual peribadatan, hukum dan peraturan, dan banyak lagi yang lainnya. Selain sebagai unsur, kitab suci juga dapat dikatakan sebagai ‘jendela’ yang bisa digunakan untuk melihat lebih jauh sebuah agama. Banyak ahli yang dapat mengetahui dan memahami sebuah agama secara mendalam hanya dengan mengkaji kitab sucinya. Dari sini kita bisa melihat betapa pentingnya peran sebuah kitab suci dalam sebuah agama.

Terlepas dari benar atau salahnya suatu hal yang terdapat di dalam sebuah kitab suci, kita tidak bisa memungkiri bahwa dari situlah sebenarnya agama terbentuk. Permasalahan mengenai suatu kitab suci itu merupakan ‘wahyu’ Tuhan atau hanya ‘buatan’ manusia, tidaklah seharusnya menjadi persoalan yang harus kita kaji. Karena terkadang masing-masing agama tertentu memiliki penjelasan tertentu berkaitan dengan pengertian kitab suci tersebut. Hal ini menyebabkan pengertian kitab suci menurut agama yang satu berbeda dengan pengertian kitab suci menurut agama yang lain.

Sebagai contoh, kitab suci agama Buddha. Dalam agama Buddha tidak ada pengklaiman bahwa kitab suci mereka merupakan ‘wahyu’ Tuhan, karena agama Buddha sendiri tidak secara khusus membahas dan mengajarkan konsep ketuhanan. Dalam agama Buddha hanya diajarkan bahwa semua yang terdapat dalam kitab suci mereka merupakan perkataan-perkataan dari sang Buddha Gautama yang berbentuk khotbah, keterangan, peraturan, syair, percakapan sang Buddha dengan siswanya, dan lain-lain. Sang Buddha sendiri hanya seorang manusia yang kemudian mendapatkan ‘pencerahan’, sehingga menjadi suci. Perkataan-perkataan yang dianggap suci ini kemudian dikumpulkan dan dijadikan kitab suci.
Pembentukan kitab suci ini tidaklah singkat. Perkataan-perkataan tersebut tentu tidak langsung berbentuk tulisan. Karena sekitar empat abad, agama Buddha hidup dari ‘tradisi’ yang diteruskan secara lisan oleh pemimpin-pemimpin agama Buddha yang hidup pada  abad-abad pertama yang kemungkinan merupakan siswa dan pengikut sang Buddha. Kemudian dilakukanlah pengumpulan-pengumpulan tradisi yang diteruskan secara lisan tadi, seperti khotbah-khotbah, kata-kata mutiara, syair, cerita-cerita, peraturan-peraturan, dan lain-lain. Pengumpulan tersebut kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok yang dikenal sebagai ‘pitaka’, yang secara bahasa berarti ‘keranjang’. Tiga kelompok pitaka yang berhasil dikumpul itu terdiri dari: Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka, Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau Abbidhamma Pitaka[1]. Ketiga ‘pitaka’ inilah yang mereka klaim sebagai kitab suci yang kemudian disebut “Tripitaka”.

Memang ada beberapa poin utama yang seharusnya kita pahami mengenai kitab suci Tripitaka ini, seperti pengertiannya, sejarah penulisannya, kanonisasinya, serta penjelasan mengenai bagian-bagian dari Tripitaka itu sendiri. Namun karena keterbatasan, makalah ini hanya akan membahas mengenai pembagian Tripitaka dan penjelasannya.

B.  KITAB SUCI TRIPITAKA
Ajaran agama Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan khotbah, keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan sang Buddha dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya tidak hanya berasal dari kata-kata sang Buddha sendiri melainkan juga kata-kata dan komentar-komentar dari para siswanya[2]. Oleh para siswanya sumber ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar yang dikenal dengan ‘pitaka’ (keranjang), yaitu Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka, Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau Abbidhamma Pitaka.
a.    Sutra Pitaka
Sutra (bahasa Sansakerta) atau Sutta (bahasa Pali) mempunyai arti sederhana yaitu ‘benang’. Benang adalah tali halus yang dipintal dari kapas atau sutera, yang gunanya untuk menjahit atau merangkai sesuatu. Setiap khotbah Hyang Buddha seperti kata-kata yang dirangkai menjadi satu dengan indah dan satu sama lain tidak dapat dipisahkan, tidak acak-acakan serta tidak saling bertentangan, oleh sebab itu khotbah Hyang Buddha disebut ‘sutra’[3]. Sutra-sutra itu dikumpulkan dan disusun menjadi satu disebut Sutra Pitaka.

Sutra Pittaka sendiri berisi dharma (dalam bahasa Pali: dhamma) atau ajaran Buddha kepada muridnya[4]. Kitab Sutra Pitaka juga memuat uraian-uraian tentang cara hidup yang berguna bagi para bhikku atau biksu dan pengikut yang lain.[5] Kitab ini terdiri atas lima 'kumpulan' (nikaya) atau buku, yaitu:[6]
-       Dighanikaya, Dighanikaya terdiri dari 34 sutra panjang terbagi menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahavagga dan Patikavagga. Beberapa di antara sutta-sutta yang terkenal ialah : Brahmajala Sutta (yang memuat 62 macam pandangan salah), Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang petapa), Sigalovada Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan sehari-sehari umat berumah tangga), Mahasatipatthana Sutta (memuat secara lengkap tuntunan untuk meditasi Pandangan Terang, Vipassana), Mahaparinibbana Sutta (kisah mengenai hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama)
-       Majjhimanikaya, merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannasa); dua pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannasa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta di antaranya ialah : Ratthapala Sutta, Vasettha Sutta, Angulimala Sutta, Anapanasati Sutta, Kayagatasati Sutta dan sebagainya.
-       Angutaranikaya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipata (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk memudahkan pengingatan.
-       Samyuttanikaya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.
-       Khuddakanikaya, terdiri atas 15 kitab.
a.  Khuddakapatha, berisi empat teks: Saranattaya, Dasasikkhapada, Dvattimsakara, Kumarapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana, Tirokudda, Nidhikanda dan Metta Sutta.
b. Dhammapada, terdiri atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
c. Udana, merupakan kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga. Kitab ini memuat ucapan-ucapan Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.
d. Itivuttaka, berisi 110 sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttam hetam bhagava (demikianlah sabda Sang Bhagava).
e. Sutta Nipata, terdiri atas lima vagga : Uraga, Cûla, Maha, Atthaka dan Parayana Vagga. Empat vagga pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima terdiri atas enam belas sutta.
f. Vimanavatthu, menerangkan keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh melalui perbuatan-perbuatan berjasa.
g. Petavatthu, merupakan kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam Peta akibat dari perbuatan-perbuatan tidak baik.
h. Theragatha, kumpulan syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang diucapkan oleh para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.
i. Therigatha, buku yang serupa dengan Theragatha yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri semasa hidup Sang Buddha.
j. Jataka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu. 
k. Niddesa, terbagi menjadi dua buku : Culla-Niddesa dan Maha-Niddesa. Culla-Niddesa berisi komentar atas Khaggavisana Sutta yang terdapat dalam Parayana Vagga dari Sutta Nipata; sedang Maha-Niddesa menguraikan enam belas sutta yang terdapat dalam Atthaka Vagga dari Sutta Nipata.
l. Patisambhidamagga, berisi uraian skolastik tentang jalan untuk mencapai pengetahuan suci. Buku ini terdiri atas tiga vagga : Mahavagga, Yuganaddhavagga dan Paññavagga, tiap-tiap vagga berisi sepuluh topik (katha).
m. Apadana, berisi riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang semuanya hidup pada masa Sang Buddha.
n. Buddhavamsa, terdiri atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan Buddha Gotama adalah yang paling akhir.
o. Cariyapitaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu dalam bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 paramî yang dijalankan oleh Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariya.

Kitab Sutra Pitaka ini juga tidak hanya memuat ucapan-ucapan Buddha Gautama saja melainkan ucapan para thera semasa hidupnya, dan juga riwayat hidup dari para bhikku dan bhikkuni. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah kitab Dhammapada yang mengutarakan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Buddha dan cara yang diajarkannya untuk menyembuhkan penyakit yang terdapat dalam diri manusia. Buku ini terdiri atas 423 syair dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain Dhammapada juga ada kitab Udana yang berisi ucapan-ucapan Buddha yang disampaikan pada berbagai kesempatan, theragata yang merupakan kumpulan syair yang disusun oleh para thera semasa Buddha masih hidup. Beberapa syair berisi riwayat hidup para thera, dan lainnya berisi pujian yang diucapkan para thera atas pembebasan yang telah mereka capai. Riwayat hidup Buddha yang terdahulu dan kehidupan dari 25 Buddha lainnya juga diceritakan dalam Sutranikaya ini, terutama kitab-kitab Jataka, Apadana, Buddhavamsa, dan Cariya Pitaka.[7]

b.   Vinaya Pitaka
Winaya Pittaka berisi peraturan-peraturan untuk mengatur tata tertib sangha atau jemaat, kehidupan sehari-hari para biksu atau bhikku atau rahib, dan sebagainya[8]. Selain itu, kitab suci Vinaya Pitaka ini juga berisi peraturan-peraturan bagi para Bhikku dan Bhikkuni.[9]  dan terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka, dan Parivawa[10].
-       Kitab Sutra Vibanga berisi peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227 peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari sangha dan tidak dapat menjadi bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai.  Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
-       Kitab Khandaka terbagi atas Mahavagga dan Cullavagga. Kitab Mahavagga berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru di mana dibacakan Patimokkha (peraturan disiplin bagi para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa), upacara pada akhir vassa (pavarana), peraturan-peraturan mengenai jubah Kathina setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan. Sedangkan Kitab Cullavagga berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan calon bhikkhu (samanera), pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha, penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama di Rajagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali
-       Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan Vinaya yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.

Skema umum isi Vinaya Pitaka[11]:
-        Bagian yang berhubungan dengan Pratimoksa atau Patimokha, yaitu peraturan-peraturan untuk para biksu atau bikkhu yang dinamakan ‘bagian bhikku’ (bhikku vibhanga).
-       Bagian yang sama untuk para bhikkuni.
-       Suatu bagian yang dinamakan ‘khandhaka’ (kelompok), tiap-tiap kelompok berhubungan dengan suatu aspek khusus mengenai kehidupan dari sangha, seperti pentahbisan, upasattha, memenuhi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pakaian, jubah, obat-obatan, makanan, tempat tinggal, dan lain sebagainya.


c.    Abbidharma Pitaka
Abidharma atau abhidhamma adalah susunan ceramah dan perkembangan logika tentang dharma dari ajaran Hyang Buddha, membahas filsafat dan metafisika, juga sastra, memberikan definisi kata-kata Buddha Dharma, dan penjelasan terperinci mengenai filsafat dengan sistematis, memantapkan suatu metode mengenai latihan spiritual oleh para sesepuh dari aliran atau sekte pada waktu itu, kumpulan dari kitab Abidharma ini dinamakan Abidharma Pitaka[12]. Sehingga Abbidharma Pitaka berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakikat dan tujuan hidup manusia, ilmu pengetahuan yang membawa pada kelepasan dan lain sebagainya[13].

Abbidharma Pitaka juga berisi uraian filsafat Buddha-dharma yang disusun secara analitis dan mencakup berbagai bidang seperti ilmu jiwa, sastra, logika, etika, dan metafisika. Kitab ini terdiri dari 7 buah buku, yaitu: Dhammasangani, Vibhanga, Dathukatha, Puggalapannatti, Kathavatthu, Yamaka, dan Patthana. Berbeda dengan kitab Sutra Pitaka dan Vinaya Pitaka yang menggunakan bahasa naratif, sederhana dan mudah dimengerti umum, gaya bahasa kitab Abbidharma Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis[14]. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku (pakarana), yaitu :
1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.
2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhajaniya, Abhidhannabhajaniya dan Pññapucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
3. Dhatukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.
4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikaya. 
5. Kathavatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (katha) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika. 
6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya. 
7. Patthana, menerangkan mengenai "sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).

Namun, selain pengelompokan di atas, kitab-kitab agama Buddha juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kitab-kitab Sutra dan kitab-kitab Sastra. Kitab Sutra adalah  kitab-kitab yang dipandang berisi ucapan Buddha sendiri meskipun ditulis jauh sesudah ia meninggal dunia, sedangkan kitab Sastra adalah uraian-uraian yang ditulis oleh para tokoh yang ternama. Uraian-uraian tersebut biasanya disusun secara sistematis[15].

Menurut aliran Hinayana yang dianggap sebagai kitab-kitab Sutra ialah kitab-kitab yang dulu dikumpulkan pada Muktamar Buddhis pertama, sekitar tahun 383 S.M. Dan semua kitab yang muncul setelah itu tidak diakui keasliannya. Namun, berbeda dengan Hinayana, aliran Mahayana berpendapat bahwa kitab-kitab Sutra yang muncul setelah Muktamar pertama pun dipandang asli dan diyakini diucapkan oleh sang Buddha sendiri.

Dengan demikian, berkaitan  dengan kitab suci Tripitaka yang merupakan sumber ajaran agama Buddha seperti yang telah diterangkan  di atas, ada dua pandangan yang beda, yakni antara golongan Theravada dan Mahayana. Golongan pertama menganggap bahwa kitab Tripitaka yang dikumpulkan pada Pasamuan Agung yang pertama tahun 483 S.M. saja yang dapat dianggap sebagai ajaran yang diajarkan sendiri oleh Buddha, sedangkan golongan Mahayana selain menerima Tripitaka sebagai sumber ajarannya juga menjadikan kitab-kitab Sutra dan Sastra sebagai sumber ajarannya. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah Karandavyriha, Sukhavatiyuha, Lalitavistara, Mahayanacradhautpada, Saddharmapundarika, Madyamika-sutra, Yogacara-bhumi-sastra, Milindapanha, dan lain-lain[16].

C.    PENUTUP
Dari paparan di atas, sekiranya teranglah bahwa memang suatu agama akan memiliki pandangan khusus mengenai kitab sucinya. Pandangan itu memang tidak akan sama, namun demikianlah kitab suci sebagai unsur penting agama ditempatkan dalam agama. Agama Buddha dengan pandangan sendiri, menempatkan Tripitaka sebagai kitab suci yang didalamnya memuat ‘perkataan-perkataan’ sang Buddha Gautama di tempatkan pada kedudukan khusus. Kitab suci ini memang memiliki sejarah yang tidak singkat, di mulai dengan di hafal secara lisan oleh siswa-siwa dan pengikut sang Buddha, dikumpulkan oleh para pemuka-pemuka agama saat itu, ditulis dan dibentuk sehingga menjadi sebuah ‘kitab’, dan selanjutnya kemudian di kanosisasikan.

Kitab suci Tripitaka milik agama Buddha ini tidak serumit seperti halnya kitab suci milik agama Hindu. Tripitaka hanya terdiri dari tiga kelompok -yang disebut ‘keranjang’ (pitaka)- yang didalamnya juga terbagi lagi ke dalam bagian-bagian yang lebih spesifik.






D.  DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman. 1983. Antropologi Agama. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Hadiwijono, Harun. 2010. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Romdhon, dkk. 1988. Agama-Agama di Dunia. Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
T., Suwarto. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Www.google.com



[1] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010), h. 63
[2] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, (Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 112

[3] Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 844
[4] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[5] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1983), h. 215
[6] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 112

[7] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
[8] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha. h. 63
[9] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, h.214
[10] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 112
[11] Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. h. 843
[12] Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. h. 844
[13] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[14] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
[15] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 64
[16] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113


Nibbana
Oleh
Fadilati Haqiqi

A.    Pengertian jalan menuju Nibbana
Jalan menuju ke Nibbana adalah jalan tengah (Majjima Patipada) yang menghindari ekstrim penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim pengumbaran nafsu yang menghalangi kemajuan moral.[1] Bodhisatva pangeran Siddharta Gotama, melalui pengalaman-pengalamannya sendiri telah menemukan jalan tengah yang telah menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang membawa beliau ke keterangan. Pengertian benar, kesadaran Agung dan Nibbana. Pada hakekatnya seluruh ajaran YMS Buddha Gotama, dengan yang disiarkan nya sendiri untuk 45 tahun lamanya, dalam satu dan lain cara ada hubungannya dengan jalan ini.[2] Hal ini dilakukan oleh Buddha Gotama dan beliau hanya tidur satu jam setiap harinya. Selama 45 tahun menyampaikan Dhamma kepada setiap orang setiap orang dengan penuh rasa kasih sayang. Setiap pagi beliau melihat sekeliling alam, memberikan berkah cinta kasih dan kasih sayang yang sempurna; membawa kebahagiaan dan membimbing berjuta-juta umat manusia untuk maju menuju pembebasan mutlak ialah Nibbana.[3] Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara, dengan memakai aneka perkataan kepada bermacam-macam orang, sesuai dengan tingkatan pengetahuan masing-masing dan kesanggupan mereka untuk mengerti dalam mengikuti beliau. Sari dari ribuan sutta dalam kitab suci agama buddha adalah mengenai delapan ruas jalan  utama. Ruas jalan (magganga) ini tidak harus dilakukan menurut nomor urutan dari susunan yang kesatu sampai ke delapan. Ini tergantung dengan keadaan dan kesanggupan tiap-tiap orang. Karena ruas jalan itu satu sama lain bergantungan dan saling bantu-membantu. Jalan tengah adalah jalan yang menuju lenyapnya penderitaan. Ada delapan jalan dalam melakukan jalan tengah ini.[4] Jalan tengah disebut juga jalan utama.[5]  Buddha pun mengetahui bahwa tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama untuk seketika mencapai kematangan spiritual. Jadi ia menjelaskan secara rinci Jalan Mulia Berfaktor delapan untuk  perkembangan bertahap cara hidup spiritual dalam cara yang praktis. Ia tahu bahwa tidak semua orang dapat menjadi sempurna dalam satu kehidupan. Ia berkata bahwa sila, samadhi, panna harus dan dapat dikembangkan dalam banyak masa kehidupan dengan usaha yang tekun. Jalan ini akhirnya menuju pada pencapaian kedamaian tertinggi dimana tiada lagi dukha.[6]
B.     Jalan untuk mencapai Nibbana
Ada delapan jalan (cara) untuk mencapai Nibbana. Delapan ruas jalan utama dan jalan tengah itu lazim disebut tiga golongan yang lebih besar, yaitu:
1.      Sila artinya Tata hidup yang susila dan beradab[7]
Sebagai langkah pertama, kita menghindarkan diri dari perbuatan yang buruk dan merugikan. Jika kita menjalankan Sila, tidak menjalankan kejahatan apapun juga, maka api keinginan itu tidak akan memperoleh umpan baru. Oleh karena itu, keinginan haruslah dilemahkan dan dilawan.[8] Sila meliputi:
a.       Ucapan Benar (Samma Vacca)[9]
Ucapan benar meliputi hormat akan kebenaran dan hormat akan kesejahteraan orang lain. Hal ini berarti menghindari berdusta, memfitnah, berkata kasar, dan beromong kosong. Kita sering menganggap remeh kekuatan ucapan dan cenderung kurang mengendalikan ucapan kita. Tapi kita semua pernah terluka oleh kata-kata seseorang pada suatu waktu dalam hidup kita, dan juga pernah tersemangati oleh kata-kata orang lain. Kata-kata kasar dapat melukai lebih dalam daripada senjata, sedangkan kata-kata halus dapat mengubah hati  dan pikiran penjahat yang paling keji. Jadi untuk mengembangkan suatu masyarakat yang harmonis, kita harus mengendalikan, membudayakan, dan menggunakan ucapan kita secara positif. Kita mengucap kata-kata yang penuh kebenaran, membawa harmoni, baik, dan penuh makna. Buddha pernah berkata, “Ucapan yang menyenangkan itu manis bagai madu, ucapan yang penuh kebenaran itu indah bagai bunga, dan ucapan yang salah itu tidak berguna seperti sampah”.[10]
Syarat-syarat Ucapan benar:
Ø  Kata-kata itu benar
Ø  Kata-kata itu beralasan
Ø  Kata-kata itu berfaedah
Ø  Kata-kata itu tepat pada waktunya
Ucapan benar duniawi (lokiya samma vaca), yaitu:
Ø  Menghindari kedustaan
Ø  Menghindari pergunjingan
Ø  Menghindari kata-kata kasar/kotor
Ø  Menghindari omong kosong
Ucapan benar luhur (lokuttara samma vaca), yaitu Tidak melakukan empat jenis ucapan salah.
Hubungan dengan ruas jalan lain, yaitu:
Ø  Pandangan terang: menyelami ucapan salah sebagai salah dan ucapan benar sebagai benar
Ø  Daya upaya benar: berdaya upaya mengatasi ucapan salah dan membina ucapan benar
Ø  Perhatian benar: mengatasi ucapan salah dengan pikiran sadar serta memiliki ucapan benar dengan pikiran sadar.[11]
b.      Perbuatan Benar (Samma kammanta)[12]
Perbuatan benar melibatkan rasa hormat pada kehidupan, hormat pada kepemilikan, dan hormat pada hubungan pribadi. Hal ini berkaitan dengan tiga prinsip pertama dari Lima sila yang harus dijalani oleh setiap umat Buddha, yaitu pantang: membunuh, mencuri, dan berasusila. Hidup itu bernilai bagi semua makhluk, semua gentar pada hukuman, semua takut akan kematian, dan menghargai kehidupan. Karena itu sebaiknya kita menjauhkan diri dari mengambil kehidupan yang kita sendiri tidak dapat berikan dan kita sebaiknya tidak menyakiti makhluk lainnya. Hormat pada kepemilikan berarti bahwa kita sebaiknya tidak mengambil apa yang tidak diberikan dengan mencuri, menipu, atua memaksa. Hormat pada hubungan pribadi berarti bahwa kita sebaiknya tidak melakukan perilaku seksual yang menyimpang, yang mana hal ini penting untuk memelihara kehormatan dan kepercayaan orang yang kita cintai serta membuat masyarakat yang lebih baik untuk ditinggali.[13]
Untuk perbuatan benar duniawi (Lokiya Samma Vaca), yaitu:
Ø  Menghindari pembunuhan
Ø  Menghindari pencurian
Ø  Menghindari perjinahan
Untuk perbuatan benar luhur (Lokuttara Samma Vaca), yaitu: Tidak melakukan tiga perbuatan salah, dan berhubungan dengan jalan suci.
Hubungan dengan ruas jalan:
Ø  Pandangan benar: menyelami perbuatan salah sebagai salah dan perbuatan benar sebagai benar
Ø  Daya upaya benar: berdaya upaya untuk mengatasi perbuatan salah dan membina perbuatan benar
Ø  Perhatian benar: mengatasi perbuatan salah dengan pikiran sadar serta memiliki perbuatan benar dengan pikiran benar.[14]
c.     Penghidupan atau Mata Pencaharian Benar (Samma ajiva)[15]
Penghidupan benar adalah faktor sikap moral mengenai bagaimana kita mencari nafkah dalam masyarakat. Hal ini merupakan sambungan dari kedua faktor lainnya, perkataan benar dan perbuatan benar. Penghidupan benar berarti kita sebaiknya mencari nafkah tanpa melanggar prinsip-prinsip sikap moral ini. Umat Buddha tidak dianjurkan untuk terlibat dalam lima jenis mata pencaharian ini: perdagangan makhluk, perdagangan senjata, perdagangan daging yang menyebabkan pembinasaan hewan, perdagangan minuman keras, dan narkotika, serta perdagangan racun. Sebagian orang mungkin berkata bahwa mereka harus melakukan pekerjaan semacam itu untuk hidup mereka dan, karenanya, mereka tidak bisa dipersalahkan. Tetapi argumen ini sama sekali tidak berdasar. Jika hal ini sahih, maka pencuri, pembunuh, bandit, penjahat keji, penyelundup, dan penipu juga bisa berkilah dengan mudah bahwa mereka juga melakukan perbuatan keliru itu demi penghidupan mereka dan karenanya, tidak ada yang salah dengan cara hidup mereka.
Sebagian orang percaya bahwa memancing dan  berburu binatang untuk kesenangan dan membantai binatang untuk makanan tidak melawan prinsip-prinsip Buddhis. Ini adalah kesalahpahaman lain yang muncul karena kurangnya pengetahuan tentang Dhamma. Semua ini bukanlah tindakan yang layak dan mendatangkan penderitaan bagi makhluk lain. Tetapi dari semua perbuatan ini, orang yang paling jahat adalah orang yang melakukan tindakan buruk demi kesenangan semata. Mempertahankan kehidupan melalui jalan yang salah tidaklah sesuai dengan ajaran Buddha. Buddha pernah berkata, “Barang siapa hidup seratus tahun kurang bermoral, tidak kokoh, lebih baik hidup satu hari bermoral luhur, bermedirasi.” ( Dhammapada 110). Lebih baik mati sebagai orang yang beradab dan terhormat daripada hidup sebagai orang jahat.[16] 
Seorang Bhikhu diharapkan untuk menjalankan empat jenis kesusilaan yang lebih tinggi, yaitu:
1.      Patimokkha sila - Tata tertib moral yang mendasar.
2.      Indriyasamavara Sila – kesusilaan berkenaan dengan pengendalian indria
3.      Ajivaparisuddhi Sila – Kesusilaan berkenaan dengan kesucian kehidupan
4.      Paccayasannissita Sila – Kesusilaan berkenaan dengan penggunaan keperluan-keperluan hidup.
Empat jenis kesusilaan ini secara bersamaan disebut Sila Visuddhi (kesucian kebajikan), yang pertama dari tujuh tingkatan kesucian menuju jalan ke Nibbana.[17]
Tujuh tingkatan kesucian itu adalah:
1.      Sila Visuddhi – Kesucian perbuatan fisik dan ucapan
2.      Citta Visuddhi – Kesucian kesadaran
3.      Ditthi Visuddhi – Kesucian terhadap pandangan
4.      Khanka Vitara Visuddhi – Kesucian dengan melenyapkan keragua-raguan
5.      Maggamagga Nanadasana Visuddhi – Kesucian tentang jalan yang harus ditempuh
6.      Patipada Nanadasana Visuddhi – Kesucian tentang praktek atau latihan yang dikerjakan
7.      Nanadasana Visuddhi – Kesucian pengetahuan untuk melenyapkan kekotoran batin.[18]
Untuk mata pencaharian duniawi, orang harus menghindari pencaharian salah dan melaksanankan mata pencaharian benar, yaitu:
Ø  Penipuan
Ø  Ketidaksetiaan
Ø  Penujuman
Ø  Kecurangan
Ø  Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat).
Harus menghindari lima macam perdagangan:
Ø  Perdagangan alat-alat senjata
Ø  Berdagang mahluk hidup
Ø  Berdagang daging atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan makhluk-makhluk hidup
Ø  Berdagang minuman yang memabukkan, yang bisa menimbulkan ketagihan
Ø  Berdagang racun.
Untuk mata pencaharian benar luhur:
Tidak melaksanakan mata pencaharian yang salah, dan berhubungan dengan jalan suci.
Hubungan dengan ruas jalan:
Ø  Pandangan benar: menyelami mata pencaharian salah sebagai salah, dan mata pencaharian benar sebagai benar
Ø  Daya upaya benar: berdaya upaya untuk mengatasi pencaharian salah dan membina mata pencaharian benar
Ø  Perhatian benar: mengatasi pencaharian salah dengan pikiran sadar serta memiliki mata pencaharian benar dengan pikiran sadar.[19]
2.      Samadhi artinya Pembinaan diri/ mental[20]
Manusia dapat melawan dan melemahkan keinginan itu dengan menjalankan meditasi atau samadhi ialah pengheningan cipta. Dengan samadhi atas cinta kasih dan rasa persaudaraan yang tak terbatas, kita dapat melemahkan perasaan-perasaan bermusuhan, membenci, dan iri hati. Dengan bersamadhi kita dapat melemahkan godaan-godaan untuk mengejar kesenangan.[21] Samadhi ini meliputi:
a.       Usaha/Daya Upaya Benar (Samma vayama)
Pengupayaan benar berarti bahwa kita mengembangkan suatu niat positif dan antusias dalam hal-hal yang kita lakukan, baik dalam karier, studi, atau  praktik Dhamma kita. Dengan semangat terus menerus dan tekad yang ceria semacam itu, kita akan sukses dalam hal-hal yang kita lakukan. Ada empat aspek pengupayaan benar, dua  aspek mengenai keburukan dan dua lainnya mengenai kebaikan. Pertama, adalah upaya untuk menolak keburukan yang telah muncul; kedua, upaya untuk mencegah munculnya keburukan; Ketiga, upaya untuk mengembangkan kebaikan yang belum muncul; keempat, upaya untuk memelihara kebaikan yang telah muncul. Dengan menerapkan pengupayaan benar dalam hidup kita, kita dapat mengurangi dan akhirnya menghapuskan keadaan batin yang buruk serta meningkatkan dan memantapkan batin yang sehat sebagai hal yang alamiah.[22]
Pelaksanaan daya upaya benar, adalah:
Ø  Mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam batin dengan sekuat tenaga
Ø  Berdaya upaya dengan sekuat tenaga untuk memusnahkan unsur jahat dan tidak baik di dalam batin
Ø  Berdaya upaya untuk membangkitkan unsur baik dan sehat di dalam batin
Ø  Berdaya keras untuk mempernyata, memperbanyak, memupuk, mengembangkan, menyelesaikan unsur-unsur baik dan sehat.[23]
b.      Perhatian Benar (Samma sati)[24] atau ada juga yang menyebut dengan penyadaran benar[25]
Pengupayaan benar berhubungan erat dengan penyadaran benar.
Praktik penyadaran adalah penting dalam ajaran Buddha. Buddha berkata bahwa penyadaran penuh adalah jalan untuk merealisasi akhir dukha. Penyadaran dapat dikembangkan dengan selalu menyadari empat aspek khusus. Aspek itu adalah penerapan penyadaran terhadap tubuh (postur tubuh, bernapas, dan sebagainya), perasaan (menyenangkan, tak menyenangkan, atau netral), pikiran (tamak, marah, buyar, terkelabui atau tidak), dan fenomena (rintangan batin, empat kebenaran mulia, faktor pencerahan, dan sebagainya). Penyadaran itu penting bahkan dalam kita sehari-hari, tatkala kita bertindak dengan penuh penyadaran akan perbuatan, perasaan, pikiran, dan kesekitaran kita. Batin sebaiknya senantiasa jernih dan penuh perhatian, alih-alih kabur dan terpecah.[26]
Perhatian benar  ini merupakan kunci delapan ruas jalan utama, ini terdiri dari latihan-latihan Vipassana Bhavana (meditasi pandangan terang) yang dapat menghasilkan penembusan kesunyatan yang diperolehnya tingkat-tingkat kesucian, latihan itu secara singkat terdiri dari:
1.      Perenungan terhadap tubuh (Kayanupassana)
a.       Perenungan terhadap pernapasan
b.      Perenungan terhadap gerak-gerik tubuh
c.       Perenungan terhadap isi tubuh
d.      Perenungan terhadap empat unsur yang merupakan rupakkhanda (unsur padat, cair, panas, gerak)
e.       Perenungan terhadap muncul dan lenyapnya tubuh.
Tiap-tiap pernapasan dilakukan dengan sadar.
2.      Perenungan terhadap perasaan (Vedananupassana), ialah setiap perasaan disadari dengan seksama, demikianpun muncul lenyapnya perasaan itu.
3.      Perenungan terhadap perasaan (Cittanupassana)
a.       Menyadari adanya ketamakan, kebencian, dan kebodohan dalam kesadaran.
b.      Menyadari bebasnya kesadaran dari ketamakan, kebencian, dan kebodohan.
c.       Menyadari muncul lenyapnya kesadaran.
4.      Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran (Dhammanupassana)
a.       Menyadari muncul-lenyapnya kekotoran batin yang merintangi kemajuan samadhi
b.      Menyadari muncul lenyapnya kelima khandha
c.       Menyadari muncul lenyapnya belenggu-belenggu yang berhubungan dengan enam landasan indriya (mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan batin)
d.      Merenungkan empat kasunyatan.
Hasil dari perenungan ini, ialah ditembusnya anatta dan empat kasunyatan, dengan demikian diperolehnya Tingkat Kesucian.[27]
c.       Konsentrasi atau Meditasi Benar (Samma samadhi)[28], atau dapat disebut dengan pengheningan benar.[29]
Sementara penyadaran benar mengarahkan perhatian kita pada tubuh, perasaan, pikiran, atau obyek mental kita, atau peka terhadap orang lain, dengan kata lain, menaruh perhatian pada sesuatu yang kita pilih, pengheningan benar adalah penerapan sinambung perhatian itu pada suatu obyek tanpa terpecahnya pikiran. Pengheningan adalah praktik mengembangkan pemusatan pikiran pada satu objek tunggal, baik fisik maupun mental. Pikiran terserap total pada objek tanpa terpecah, goyang, cemas, atau bingung. Melalui latihan dibawah bimbingan guru yang berpengalaman, pengheningan benar membawa dua manfaat. Pertama, hal ini menuju pada kesejahteraan mental dan fisik, kenyamanan, kegembiraan, ketenangan. Kedua, hal ini mengubah batin menjadi mampu melihat sesuatu sebagaimana adanya, dan menyiapkan batin untuk mencapai kebijaksanaan.[30]
Samadhi bisa diartikan dengan konsentrasi atau kontemplasi.[31]
Yang dimaksud meditasi (samadhi) adalah terpusatnya batin pada satu titik, yaitu batin atau perhatian yang terpusat pada satu benda khusus atau suatu paham sampai semua pikiran-pikiran yang berhamburan dihentikan.[32]
Sedangkan menurut Matius Ali, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan samadhi atau pembersihan pikiran adalah mengenai seluruh pengendalian dan perkembangan dari pikiran serta kekuatan batin, yang dalam bahasa pali disebut bhavana.
Secara etimologis, kata samadhi berarti: penempatan yang kuat bersama dan di dalam sutta-sutta dijelaskan sebagai: keadaan pikiran yang ditujukan pada suatu objek (citta ekaggata= pemusatan pikiran). Jika ditinjau dalam arti yang luas, samadhi berarti suatu tingkat tertentu dari pemusatan pikiran, yang bersatu dan tak dapat dipisahkan dari unsur-unsur kesadaran.[33]
Dalam referensi lain, samadhi diartikan sebagai tehnik meditasi untuk menenangkan pikiran gangguan emosi dan pengalihan mental dengan melekatkan kuat-kuat pada objek tunggal perhatian dan kesadaran menjaganya sampai pikiran benar-benar menyerap dalam pre okupasi tunggal menyingkirkan hal lain, dan seluruhnya menyatu dalam keadaan kesadaran yang sederhana dan bersatu. Keadaan tenang, hening, dan konsentrasi disebut samadhi.[34]
Harus dipahami bahwa hening dan kesunyian ada dalam diri kita. Jika pikiran kita tidak tenang, bahkan hutan yang sunyi pun tidak akan menjadi cocok. Tetapi jika kita tenang, bahkan jantung kota yang ramai bisa menjadi cocok. Suasana tempat kita hidup berfungsi sebagai pembantu tak langsung untuk menenangkan pikiran kita.[35]
Samadhi berarti terpusatnya pikiran pada suatu hal. Ia merupakan konsentrasi pikiran pada suatu objek dengan mengeluarkan semua yang lain.[36]
Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah bersatu dengan kesadaran dari karma yang baik; sedangkan samadhi yang salah (miccha-samadhi) adalah bersatu dengan semua kesadaran dari karma yang tidak baik. Bilamana dipergunakan istilah samadhi, yang dimaksud adalah samadhi yang benar.[37] Miccha samadhi dapat pula terjadi disamping samma samadhi. Pada bentuk yang pertama, kekuatan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri, apakah untuk keuntungan-keuntungan materi atau untuk tujuan-tujuan yang merugikan. Pada bentuk yang kedua, itu dikembangkan hanya untuk penyucian batin dan sebagai dasar-dasar pencapaian Jhana yang kemudian dipergunakan untuk melatih pandangan terang.[38]
Ada dua macam samadhi: Samatha Bhavana dan Vipassana Bhavana
Bhavana artinya menjadi, terbuka, perkembagan. Ada dua macam perkembangan:
a.       Perkembangan ketenangan batin (Samatha bhavana) atau konsentrasi (samadhi bhavana). Perkembangan pandangan – terang (Vipassana bhavana) atau perkembangan –kebijaksanaan (panna bhavana). Ketenangan (samatha) adalah keadaan pikiran yang tidak dapat digoncangkan, tenang, aman, damai, dan nyata. Ketenangan batin, sebenarnya menurut keterangan sankhepa vannana, mendatangkan tiga macam berkah, yakni reinkarnasi yang baik, hidup bahagia, dan kesucian pikiran untuk mencapai pandangan terang (vipassana).
b.      Pandangan-Terang (vipassana) adalah nyata pikiran yang seperti kilat menembus ketidak-kekalan, ketidak puasan, dan tidakadanya aku, (anicca, dukha, anatta)dari seluruh badan, perasaan, dan bentuk pikran, yakni: kelima kelompok kehidupan (khandha), yang terdiri atas: badan jasmani (rupa khandha), perasaan (vedana), pencerapan (sanna), bentuk-bentuk pikiran (sankhara)dan kelompok kesadaran (vinnana khandha).
Pemusatan pikiran, sebenarnya merupakan dasar penting untuk menuju tingkat awal pandangan terang, dengan membebaskan pikiran dari kotoran-kotoran dan rintangan batin; tapi pandangan terang adalah yang langsung membawa ke salah satu tingkat kesucian. Pandangan terang, jika sudah timbul, terusirlah kegelapan dari kebsodohan (avijja) dan terbitlah cahaya kebijaksanaan (panna).[39]
Konsentrasi benar adalah diiringi dengan pikiran benar, daya upaya benar, perhatian benar. Samadhi ini disebut Jhana, bertujuan untuk mencapai konsentrasi pikiran, dan ketenangan.
Jhana tingkat 1
Keadaan batin terdiri dari lima corak, yaitu:
1.      Usaha untuk memegang objek (vittaka)
2.      Pikiran telah berhasil memegang objek dengan kuat (vicara)
3.      Kegiuran atau kenikmatan, karena telah terbebas dari tekanan perasaan (piti)
4.      Kebahagiaan yang tidak terhingga (Sukkha)
5.      Pemusatan pikiran yang kuat (cittekaggata)
Jhana tingkat 2
1.      Kegiuran atau piti
2.      Kebahagiaan atau sukkha
3.      Pemusatan pikiran yang kuat atau Cittekaggata
Jhana tingkat 3
1.      Kebahagiaan atau sukkha
2.      Pemusatan pikiran atau Cittekaggata
Jhana tingkat 4
Semua perasaan lenyap, batin seimbang dan pikiran terpusat/manunggal atau upekkha dan cittekaggata
Setelah mencapai Jhana tingkat 4, penganut agama Buddha yang mulia dapat memperkembangkan tenaga-tenaga batin, ialah Abhinna, yang terdiri dari:
1.      Tenaga batin duniawi atau lokiya abhinna
Ø  Kekuatan magis (iddhividha) yang terdiri dari:
·         Iddhitana iddhi: dengan kekuatan kehendak dapat merubah tubuh sendiri dari satu menjadi banyak atau dari banyak kembali menjadi satu
·         Vikkubhana iddhi: kemampuan untuk menyalin rupa, (seperti menyalin rupa seperti anak kecil, raksasa, membuat diri menjadi tidak tertampak)
·         Manomaya iddhi: kemampuan menciptakan dengan menggunaan pikiran, umpamanya menciptakan harimau, pohon, dan sebagainya.
·         Hanavipphara iddhi: kekuatan menembus ajaran.
·         Samadhivipphara iddhi: konsentrasi lebih jauh:
*      Kemampuan menembus dinding, gunung, dan lain-lain
*      Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan ke dalam air
*      Kemampuan berjalan di atas air
*      Keampuan melawan api
*      Kemapuan berterbangan di angkasa
Ø  Telinga batin (dibbasota), ialah kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam-alam manusia dewa, yang jauh maupun yang dekat.
Ø  Mata batin (dibbacakkhu), ialah kemampuan untuk melihat alam-alam dan berkesanggupan melihat lenyap – muncul – lenyapnya makhluk yang menitis sesuai dengan kammanya masing-masing.
Ø  Kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain atau cetopariyanana.
Ø  Kemampuan untuk mengingat penitisan-penitisan yang lampau atau pubbenivasanussati.
2.      Tenaga bathin luhur atau lokuttara abhinna
Ø  Kemampuan untuk memusnahkan arus-kekotoran batin (asava) atau asavakkhaya.
Lokkiya abhinna dapat dimiliki puthujjana, tapi lokuttara abhinna hanya dimiliki oleh para arahat karena dengan lenyapnya semua asava berarti dicapainya arahat. Dalam kitab Visuddhi Magga pasal XII membentangkan latihan-latihan untuk memperoleh iddhi.[40]
Tiga faktor ini adalah faktor untuk pengembangan kebijaksanaan melalui pemurnian batin. Faktor-faktor ini jika dilatih, memungkinkan seseorang untuk memperkuat dan mengendalikan batin, dan karena itu memastikan tindakannya akan terus baik dan batinnya dipersiapkan untuk menyadari kebenaran, yang akan membuka pintu menuju keterbatasan, menuju pencerahan.[41]
3.      Panna artinya Kebijaksanaan/ kebijaksanaan luhur[42],
Penembusan terhadap anicca dan dukkha adalah kebijaksanaan yang tertinggi. Kebijaksanaan tertinggi ini akan melenyapkan keinginan, yang menjadi akar dari penderitaan. Untuk melenyapkan penderitaan, keinginanan harus diatasi dengan sempurna dan untuk selama-lamanya. Jangan menambah kuatnya keinginan dengan membuat kejahatan, itulah Sila. Lawan keinginanmu dengan meditasi itulah Samadhi. Dan lenyapkan keinginnmu dengan menembus kebijaksanaan yang tertinggi, itu lah Panna.[43] Panna ini meliputi:
a.  Pengertian Benar (Samma ditthi)[44], atau dapat disebut juga dengan pandangan benar.[45]
Pandangan benar dijelaskan sebagai mengetahui pengetahuan akan empat kebenaran mulia. Dengan kata lain, hal ini adalah pemahaman sesuatu sebagaimana adanya. Pandangan benar juga berarti bahwa seseorang memahami sifat karma yang bermanfaat (baik) dan karma yang tidak bermanfaat (buruk), dan bagaimana hal itu dapat dilakukan oleh pikiran, ucapan, dan tubuh. Dengan memahami karma, seseorang akan belajar untuk memantang keburukan dan melakukan kebaikan , demi menciptakan hasil yang diinginkan dalam hidup. Jika seseorang memiliki pandangan benar, ia juga memahami tiga sifat keberadaan (bahwa segala hal yang terkondisi adalah tak tetap, tak memuaskan, dan tiada diri) dan memahami musabab yang saling bergantung. Seseorang dengan pandangan benar yang sempurna adalah orang yang bebas dari ketaktahuan, dan dengan sifat pencerahan itu menyingkirkan akar keburukan dari batinnya yang menjadi terbebas. Tujuan mulia umat Buddha adalah mengembangkan batin untuk memperoleh pandangan benar tentang diri sendiri, kehidupan, dan semua fenomena.[46]
Pandangan benar ini adalah:
1.      Menembus empat kasunyatan
2.      Menembus tiga corak umum, ialah barang siapa menyelami, bahwa bentuk jasmani (rupa), perasaan (vedana), pencerapan (sanna), bentuk-bentuk mental (sankhara) dan kesadaran (vinnana) adalah fana, terpengaruh oleh derita dan tanpa diri (anatta), dialah orangnya yang memiliki pandangan benar.
3.      Menembus pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan, ialah sesungguhnya, barangsiapa menembusnya, dialah orangnya yang menembus kesunyatan; dan barangsiapa menembus kesunyatan, dialah orangnya yang menembusnya.
Untuk pandangan benar duniawi:
Memberi, sedekah, bermurah hati adalah tidak sia-sia, sesungguhnya terdapat buah dan akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk.
Berbakti pada orang tua menghasilkan pahala, di alam-alam luhur terdapat makhluk-makhluk yang lahir dengan spontan.
Di dalam dunia terdapat petapa-petapa dan pandita yang tanpa noda serta sempurna, yang dapat menerangkan hidup sekarang dan hidup kemudian yangv telah mereka selami.
Untuk pandangan benar luhur:
Kebijaksanaan, penembusan, pandangan benar yang berhubungan dengan Ariya Atthangika Magga, batin berpaling dari dunia dan dihubungi dengan jalan suci yang ditempuh, inilah pandangan benar luhur.
Hubungan dengan ruas jalan:
Ø  Pandangan benar: menyelami pandangan salah sebagai salah dan pandangan benar sebagai benar
Ø  Daya upaya benar: berdaya untuk mengatasi pandangan salah dan membina pandangan benar
Ø  Perhatian benar: mengatasi pandangan salah dengan pikiran sadar serta memiliki pandangan benar dengan pikiran sadar.[47]
b.      Pikiran Benar (Samma sankappa)[48], atau disebut juga dengan perniatan benar.[49]
Jika seseorang memiliki pandangan benar, ia mengembangkan perniatan benar juga. Faktor ini kadang-kadang disebut sebagai pemikiran benar, kehendak benar, atau gagasan benar. Hal ini mengacu pada keadaan batin yang melenyapkan ide atau gagasan yang salah dan meningkatkan faktor moral lainnya untuk diarahkan menuju Nibbana. Faktor ini memberikan tujuan ganda, yaitu melenyapkan perniatan buruk dan mengembangkan perniatan murni. Perniatan benar penting karena niatlah yang memurnikan atau mengotori seseorang.
Ada tiga aspek perniatan benar. Pertama, seseorang sebaiknya memelihara sikap ketaklekatan pada kesenangan duniawi alih-alih melekat secara egois terhadapnya. Ia sebaiknya tidak mementingkan diri sendiri dan memikirkan kesejahteraan pihak lain. Kedua, seseorang sebaiknya memelihara cinta kasih, niat baik, dan kebajikan dalam batinnya, yang merupakan lawan kebencian, niat buruk, dan kejahatan. Ketiga, seseorang sebaiknya berniat untuk tidak menyakiti atau berwelas terhadap semua makhluk, yang merupakan lawan kekejaman dan kurang tenggang rasa terhadap pihak lain. Saat seseorang maju dalam jalan spiritual, batinnya akan semakin jadi bajik, tidak menyakiti, tidak memntingkan diri sendiri, dan dipenuhi cinta dan kewelasan.[50]
Pikiran Benar atau Samma Sankappa adalah:
Untuk pikiran Benar Dunia (Lokkiya Samma Sankappa) adalah:
Ø  Pikiran yang bebas dari hawa nafsu (nekhama sankappa)
Ø  Pikiran yang bebas dari kebencian (avyapada sankappa)
Ø  Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsa sankappa)
Untuk pikiran benar luhur (Lokuttara Samma Sankappa):
Pemikiran, pertimbangan, pembahasan yang berpaling dari dunia, batin yang suci berhubungan dengan jalan suci yang ditempuh.
Hubungan dengan Ruas Jalan adalah:
Ø  Pandangan benar: menyelami pikiran salah sebagai salah, ddan pikiran benar sebagai benar
Ø  Daya upaya benar: berdaya untuk mengatasi pikiran jahat dan membina pikiran benar
Ø  Perhatian benar: mengatais pikiran jahat dengan sadar serta dengan sadar memiliki pikiran benar.
Jalan duniawi (Lokiya Magga) ditempuh oleh para Puthujjana dan menghasilkan buah-buah kamma duniawi yang baik. Akan tetapi Jalan Ssuci (Lokuttara Magga) ditempuh oleh parra Ariya puggala dan menghasilkan kesucian, bahkan pembebasan dari derita.[51]
Disiplin mengatur kata-kata dan perbuatan; konsentrasi mengawasi pikiran; tetapi pandangan terang (panna), langkah ketiga dan terakhir, yang memungkinkan seseorang calon pencapai kesucian untuk menghancurkan semua kekotoran yang ditenangkan oleh samadhi.
Pada mulanya ia mengembangkan “pandangan yang bersih” (ditthivisuddhi) dalam rangka melihat segala sesuatu sebagai mereka adanya. Dengan pikiran terpusat ia menganalisa dan menguji apa yang disebut makhluk. Pengujian ini menunjukkan apa yang ia sebut “sku”, (pribadi), hanyalah perpaduan kompleks dari batin dan jasmani yang selalu dalam keadaan mengalir. Setelah seseorang mencapai pandangan benar dari sifat sesungguhnya yang disebut makhluk, bebas dari paham suatu jiwa yang kekal, ia mencari sebab dari pribadi, “sang aku”. Ia menyadari bahwa tiada apapun di dunia yang tidak disyarati oleh sebab atau sebab-sebab tertentu, masa lampau atau sekarang, dan keberadaannya saat ini karena ketidak-tahuan (avijja), nafsu keinginan (tanha), kemelekatan (upadana) yang lalu, Kamma dan makanan jasmani pada saat ini. Karena ke lima sebab ini apa yang disebut makhuk muncul dan karena sebab-sebab masa lalu telah membentuk keadaan sekarang, jadi keadaan saat ini akan membentuk masa yang akan datang. Dengan bermeditasi, ia mengatasi semua keraguan berkenaan dengan masa lalu, saat ini dan yang akan datang. Selanjutnya ia merenungkan kesunyataan bahwa semua benda semua benda bersyarat tidak kekal (annica), terkena penderitaan (dukkha), dan kosong dari satu jiwa yang abadi (anatta). Kemanapun ia mengarahkan pandangan mata ia tidak melihat apapun kecuali tiga ciri utama yang tampak nyata. Ia menyadari bahwa kehidupan hanyalah keadaan yang mengalir oleh sebab-sebab dari dalam dan luar. Dimanapun tidak ia dapatkan ketenangan sejati, karena segala sesuatu dalam keadaan berubah. Karena ia merenungkan sifat kehidupan dengan cara itu dan larut dalam meditasi, diluar dugaannya, tiba saat ketika ia menjadi saksi dari satu cahaya (dukkha) yang dipancarkan oleh dirinya. Ia merasakan kenikmatan, kebahagiaan, dan ketenangan yang tak terbandingkan. Ia mengembangkan kesenangan pada keadaan batin ini. Segera kesadaran datang bahwa perkembangan baru adalah ini adalah rintangan pada kemajuan moral, dan ia mengembangkan kejelasan pengetahuan berkenaan dengan sang jalan dan bukan jalan.
Dengan mengamati jalan yang benar, ia memulai lagi meditasinya pada munculnya (udaya nana) dan lenyapnya (vaya nana) semua benda bersyarat. Dari dua keadaan itu, yang terakhir menjadi lebih mengesankan bagi batin karena perubahan lebih nyata daripada pemunculan. Oleh karena itu ia mengarahkan perhatiannya untuk merenungkan hancurnya benda-benda (bhanga nana). Ia mengamati bahwa baik batin maupun jasmani yang membentuk apa yang disebut makhluk dalam keadaan selau berubah, tidak tepat sama dalam dua saat yang berurutan. Padanya muncul pengetahuan bahwa semua benda yang hancur adalah menakutkan (bhaya nana). Seluruh dunia tampak padanya seperti setitik lobang bara api yang merupakan satu sumber bahaya. Selanjutnya ia merenungkan tentang kesengsaraan dan kekosongan (adhinava nana) dunia yang menakutkan dan kotor, serta memperoleh perasaan jijik (nibhida nana) diikuti oleh kehendak kuat unutk bebas dari padanya (muncitukamyata nana). Dengan pandangan ini, ia mengamati meditasinya pada tiga ciri utama dari ketidak kekalan, penderitaan dan ketiadaan jiwa (pati sankha nana), dan setelah itu mengembangkan keseimbangan penuh terhadap semua benda bersyarat- tidak mempunyai kemelekatan maupun keenganan terhadap obyek duniawi yang manapun (upekkha nana). Dengan mencapai titik perkembangan spiritual ini, ia memilih salah satu dari tiga ciri utama sebagai obyek khusus dari usahanya dan dengan tekun mengembangkan pandangan terang pada arah itu sampai hari yang agung ketika ia untuk pertama kali memahami Nibbana, tujuannya yang tertinggi. Ketika orang ini menyadari Nibbana pertama kali disebut Sotapanna, ia memasuki arus yang membimbing menuju ke Nibbana untuk pertama kali. Arus itu mewakili jalan Ariya Berunsur Delapan. Seorang pemenang arus bukan lagi orang biasa (puthujanna), tetapi orang Ariya (mulia).
Pada waktu mencapai tingkat pertama dari kesucian, ia menghancurkan tiga belenggu (samyojana) yang mengikatnya pada kelahiran yaitu:
1.      Sakkaya dithi: sati+kaya+ditthi – secara harfiah, pandangan ketika sekelompok atau perpaduan berada. Kaya menunjuk pada kelima kelompok jasmani, perasaan, persepsi, keadaan mental, dan kesadaran. Pandangan bahwa ada kesatuan yang tidak berubah, satu jiwa yang kekal, ketika ada perpaduan kompleks dari unsur batin dan jasmani, ia disebut sakkaya-ditthi.  Dhammasangani menyebutkan dua puluh jenis teori jiwa semacam itu. Sakkaya-ditthi biasanya diterjemahkan sebagai khayalan pribadi, teori tentang pribadi, atau khayalan tentang aliran pribadi.
2.      Vicikiccha: keragu-raguan. Mereka adalah keragu-raguan tentang Sang Buddha, Dhamma, Sangha, aturan tata kedisiplinan (sikkha), masa lalu, masa yang akan datang, baik masa lalu maupun masa yang akan datang, dan sebab musabab yang saling bergantungan (paticca samupada).
3.      Silabbataparamasa: kemelekatan (yang salah) pada ritual dan upacara.
Dhammasangani menerangkan hal itu sebagai berikut, “Ia merupakan teori yang dipegang oleh para pertapa dan Brahim diluar ajaran ini bahwa kesucian dicapai dengan aturan tindakan moral dan upacara.
Untuk mengahancurkan sisa tujuh belenggu yang lain seorang Sotapanna bertumimbal lahir paling banyak tujuh kali. Ia memperoleh keyakinan penuh pada Sang Buddha, Dhama dan Sangha. Ia dengan alasan apapun tak akan melanggar Lima Sila yang manapun. Ia tidak akan bertumimbal lahir dalam keadaan sengsara karena ia pasti mencapai penerangan. Si peziarah suci menyempurnakan pandangan terangnya untuk menjadi seorang sakadagami (Yang hanya kembali satu kali saja), tingkat kesucian yang kedua, dengan melemahkan dua belenggu lagi yaitu nafsu keinginan indriya (Kamaraga) dan keinginan jahat (patigha). Sekarang ia disebut Ia yang Hanya Kembali Satu Kali saja di dalam manusia seandainya ia tidak dapat mencapai tingkat kesucian Arahat pada kehidupan itu juga. Sangatlah menarik untuk dicatat bahwa para makhluk suci yang telah mencapai tingkat kesucian ke dua hanya dapat melemahkan dua belenggu yang kuat itu yang mengikatnya, sejak waktu lampau yang tak terkira. Kadang-kadang walaupun sangat jarang, ia dapat dikuasai pikiran penuh nafsu dan kemarahan. Dengan mencapai tingkat kesucian ketiga, yaitu Anagami (Yang sudah tidak kembali), ia lengkap menghancurkan dua belenggu tadi. Setelah itu ia tidak kembali di dunia ini maupun alam surgawi lain, karena ia telah mencabut keinginan untuk memuaskan indria. Setelah kematiannya ia bertumimbal lahir di Alam Yang Murni (Suddhavasa), satu lingkungan khusus untuk para Anagami. Di sana ia mencapai tingkat Arahat dan hidup sampai akhir hayatnya. Ketika seorang umat awam menjadi seorang Anagami, ia menjalankan kehidupan selibat.
Para Anagami sekarang membuat kemajuan terakhir dan menghancurkan sisa lima belenggu yaitu kemelekata pada alam yang berbentuk (ruparaga), kemelekatan pada alam yang tidak berbentuk (aruparaga), kesombongan (mana), keresahan (uddhacca) dan ketidaktahuan (avijja) mencapai tingkat Arahat, yaitu jenjang terakhir kesucian.
Pemasuk Arus, Yang hanya kembali satu kali saja, dan yang sudah tidak kembali disebut sekha karena mereka belum menyelesaikan latihan. Arahat disebut Aseka (Mahir) karena mereka sudah tidak menjalani latihan apapun.
Arahat, secara harfiah Yang Berharga, tidak bertumimbal lahir lagi karena ia tidak menimbun Kamma baru. Benih pembuahannya sudah dihancurkan semua.
Arahat memahami bahwa hal yang harus diselesaikan telah dikerjakan, beban berat dukacita akhirnya sudah dilepaskan, dan semua bentuk kerinduan dan semua bayangan atau ketidak tahuan sudah dihilangkan sama sekali.
Tumimbal lahir tak dapat mengenai dirinya lagi karena tidak ada lagi benih pembuahan dibentuk oleh kegiatan Kamma yang baru.
Walaupun sebagai Arahat ia tak bebas sepenuhnya dari penderitaan jasmani, karena pengalaman kebahagiaan. Kebebasan hanyalah berselang-seling demikian pula ia belum melepaskan badan jasmaninya. Seorang Arahat disebut Asekha, yaitu ia yang sudah tidak menjalani latihan, karena ia sudah menjalani kehidupan suci dan sudah menyelesaikan sasarannya. Para suci lain dari tingkat Sotapatti sampai tingkat jalur Arahat sisebut Sekha karena masih menjalani latihan.
Dapat disebutkan bahwa dalam hubungan ini para Anagami dan Arahat yang sudah mengembangkan Rupa dan Arupa Jhana dapat mengalami kebahagian Nibbana tanpa terputus selama tujuh hari, bahkan dalam kehidupan itu juga. Dalam bahasa Pali ini dikenal sebagai Niroddha Samapatti. Seorang Ariya, dalam keadaan ini,seluruhnya bebas dari rasa sakit, dan semua kegiatan mentalnya ditunda. Aliran kesadarannya berhenti mengalir untuk sementara.
Berkenaan dengan perbedaan antara orang yang telah mencapai Nirodha Samapatti dan orang mati, dalam Visuddhi Magga disebutkan, tidak hanya kekuatan plastis dari tubuh (yaitu pernafasan), pembicaraan dan pikiran diam tak bergerak, tetapi tenaga hidup juga habis, panas padam, dan unsur-unsur indria rusak, sedangkan pada Bhikku dalam kebahagiaan yang amat sangat tenaga hidup ada, jantung bekerja, dan unsur-unsur indria jelas, walaupun pernafasan, pengamatan, dan pemahaman diam dan tidak bergerak.
Menurut agama Buddha, dalam istilah konvensional, inilah bentuk kebahagiaan tertinggi yang mungkin ada dalam kehidupan sekarang.[52]
C.     Macam-Macam Nibbana
Sesungguhnya ini bukan macam Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana. Perbedaan namanya sesuai dengan cara dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah kematian.
Menurut pencapaiannya, Nibbana ada dua macam, yaitu:
1.      Sa- Upadisesa Nibbana
Yaitu nibbana masih bersisa, yang dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini juga. Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya Lima Khanda. Ketika Pertapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau dikatakan telah dapat mencapai Sa-upadisesa-Nibbana tetapi masih memiliki Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan).  Sa-upadisesa-Nibbana juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind) yang murni, tenang, dan seimbang.[53] Mereka yang mencapai Nibbãna, dengan batin yang telah bebas, tapi karena jasmaninya masih ada, maka dia masih menjadi obyek penderitaan jasmaniah.[54]
2.      An- Upadisesa Nibbana
Yaitu nibbana tanpa sisa. Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Parinibbana, dimana tidak ada lagi Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan), tidak ada lagi sisa-sisa dan sebab-sebab dari suatu bentuk kemunculan. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari sebuah pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yaitu ‘tidak tahu’. Ketika Guru Buddha mangkat /wafat, Beliau dikatakan telah mencapai anupadisesa-nibbana.[55] Lalu setelah  mereka mati, batin juga dibebaskan dari penderitaan jasmaniah dan seorang  mencapai Nibbãna sempurna.[56]
D. Manfaat dari Sila, Samadhi, dan Panna
1.Hasil dari pelaksanaan Sila ialah diperolehnya kesucian Sila atau Silavisuddhi (kesucian pikiran, ucapan, dan perbuatan). Dengan begitu orang melaksanakan Sila, akan dapat mengendalikan tanha untuk kemudian menjadi seorang manusia yang hidupnya susila.
2. Hasil pelaksanaan Samadhi ialah diperolehnya kesucian batin atau Cittavisuddhi (kesadaran/batin yang bebas dari kekotoran-kekotoran). Dengan melaksanakan samadhi, akan dapat melemahkan kekuatan tanha dengan menjalankan sila. Karena Sila tanpa Samadhi adalah sulit untuk dapat berhasil dalam melakukan perbuatan yang susila. Tapi Samaditanpa Sila tidak akan berhasil. Karena itu, keduanya harus dijalankan bersama-sam.
3. Hasil pelaksanaan Panna, ialah diperolehnya kesucian pandangan atau Ditthivisuddhi (melihat segala sesuatunya dalam kewajaran dari anicca,dukkha, dan anatta). Bila Sila dan Samadhi tercapai sempurna, maka tercapailah Panna.  Panna gunanya untuk melenyapkan tanha yang menjadi sebab utama terjadinya penderitaan jasmani-rohani. Berhasilnya Panna diperoleh, Sila dan Samadhi sekaligus telah dijalankan. Maka avijja, asava, dan tanha dapat dibasmi.[57]
E. Keadaan Orang yang telah mencapai Nibbana
Tiada lagi penderitaan bagi mereka yang telah mencapai Nibbana, yang  telah terbebas dari penderitaan yang telah membebaskan diri dari segala ikatan nafsu, yang telah memutuskan semua ikatan. Orang yang sempurna, sikapnya toleran, seperti tanha, seperti ambang pintu yang menjalankan tugasnya, yang bagaikan danau yang tidak berlumpur, manusia yang demikian tidak lagi terikat oleh lingkaran Tumimbal lahir dan kematian.
Pikiran tenang, tutur kata dan perbuatannya senantiasa dilakukan dengan tenang setelah ia mencapai kebebasan melalui pengetahuan sejati dan menjadi tenang serta seimbang. Orang sempurna telah bebas dari ketahyulan. Ia mengetahui yang tak diciptakan, yang telah memutuskan semua nafsu keinginan. Dialah manusia yang paling luhur, suci dari segala manusia.
Dimana saja bersemayam orang suci, tempat itu pasti sangat menyenangkan, baik di kota, di kampung maupun di dalam hutan, di laut maupun di darat.
Cita-cita semua umat Buddha, petama-tama ialah untuk mencapai tingkat kesucian, untuk menjadi manusia suci atau Arahat, atau menjadi Bodhisattva untuk mencapai tingkat ke Buddhaan dan Nibbana.[58]
Arahat melanjutkan hidup pada saat ia telah mencapai Nibbana karena kekuatan kamma yang menghasilkan kelahiran belum berakhir. Arahat hidup sepanjang rentang hidupnya tanpa penambahan Kamma baru pada timbunannya, dan sama sekali tidak mempersoalkan kematian.
Ketika Arahat telah mati, ia telah hilang. Untuk mereka yang hilang, tercantum  dalam Sutta Nippana, tidak ada bentuk apapun yang dapat mereka katakan sebagai kehadirannya. Jika semua keadaan terputus semua materi untuk didiskusikan juga terputus.[59]

PENUTUP
Jalan menuju ke Nibbana adalah jalan tengah (Majjima Patipada) yang menghindari ekstrim penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim pengumbaran nafsu yang menghalangi kemajuan moral.
Tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama untuk seketika mencapai kematangan spiritual. Buddha menjelaskan secara rinci Jalan Mulia Berfaktor delapan untuk  perkembangan bertahap cara hidup spiritual dalam cara yang praktis.
Jalan untuk mencapai Nibbana ada delapan cara, namun telah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1.      Sila : kesusilaan, meliputi perkataan benar, penghidupan benar, penghidupan benar.
2.      Samadhi: keheningan, meliputi pengupayaan benar, penyadaran benar, pengheningan benar.
3.      Panna: kebijaksanaan, meliputi pandangan benar dan perniatan benar.
Orang yang telah mencapai Nibbana disebut orang yang sempurna. Tiada lagi penderitaan bagi mereka yang telah mencapai Nibbana.
Macam-Macam Nibbana:
1.                 Sa – Upadisesa Nibbana
2.                 An – Upadisesa Nibbana
Manfaat Sila, Samadhi, dan Panna:
  1. Sila: kesucian Sila (kesucian pikiran, ucapan, dan perbuatan), dapat mengendalikan tanha.
  2. Samadhi: kesucian batin (kesadaran/batin yang bebas dari kekotoran-kekotoran), dapat melemahkan kekuatan tanha.
  3. Panna : kesucian pandangan (melihat segala sesuatunya dalam kewajaran dari anicca,dukkha, dan anatta), melenyapkan tanha.

DAFTAR PUSTAKA
Abhijato, Acharm Suchart, Kenikmatan inderawi adalah menykitkan
Ali, Matius, Filsafat India, (Tangerang: Sanggar Luxor),  2010, cet.  l,
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, (Kuala Lumpur:Ehipassiko Foundation), 2012
Diputhera, Oka, Pedoman Penerangan Agama Buddha, (Jakarta: Yayasan Sariputra Sadono), 1977
Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama), 1992
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma
Pustaka Dhamma, Buku Pintar Agama Buddha, diakses pada 09 April 203, dari http://tanhadi.blogspot.com/2011/03/buku-pintar-agama-buddha-n.html
Pustaka Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm
Wowor, Cornelis,  Jalan Menuju Kesucian, diakses pada 21 April 2013, dari http://www.ceramahdhamma.com/contents/ceramah-pandita/cornelis-wowor/visuddhi-magga-jalan-menuju-kesucian




[1] Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama), 1992, h. 191
[2] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[3] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 12
[4] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[5] Diputhera, Oka, Pedoman Penerangan Agama Buddha, (Jakarta: Yayasan Sariputra Sadono), 1977, h. 62
[6] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, (Kuala Lumpur:Ehipassiko Foundation), 2012, h. 119
[7] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[8] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 99
[9] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[10] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 121
[11] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 119
[12] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[13] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 122
[14] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 120
[15] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[16] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 122-123
[17] Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, h. 191-196
[18] Wowor, Cornelis,  Jalan Menuju Kesucian, diakses pada 21 April 2013, dari http://www.ceramahdhamma.com/contents/ceramah-pandita/cornelis-wowor/visuddhi-magga-jalan-menuju-kesucian
[19] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 120-121
[20] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[21] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 100
[22] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 123-124
[23] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 121
[24] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[25] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[26] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 124
[27] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 121-122
[28] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[29] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[30] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 124-125
[31] Ali, Matius, Filsafat India, (Tangerang: Sanggar Luxor),  2010, cet.  l, h. 170
[32] Vajirananavarorasa, prince, Dhamma Vibhaga, h. 21
[33] Ali, Matius, Filsafat India, h. 170
[34] Abhijato, Acharm Suchart, Kenikmatan inderawi adalah menykitkan, h. 125
[35] Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, h. 200
[36] Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, h. 197
[37] Ali, Matius, Filsafat India, 170
[38] Vajirananavarorasa, prince, Dhamma Vibhaga, h. 22
[39] Ali, Matius, Filsafat India, 171
[40] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 123-124
[41] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 123
[42] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[43] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 01
[44] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[45] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[46] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 120
[47] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 125-126
[48] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[49] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[50] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 120-121
[51] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 126
[52] Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, h. 217-223
[53] Pustaka Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
[54] Pustaka Dhamma, Buku Pintar Agama Buddha, diakses pada 09 April 203, dari http://tanhadi.blogspot.com/2011/03/buku-pintar-agama-buddha-n.html
[55] Pustaka Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
[56] Pustaka Dhamma, Buku Pintar Agama Buddha, diakses pada 09 April 203, dari http://tanhadi.blogspot.com/2011/03/buku-pintar-agama-buddha-n.html
[57] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 127
[58] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136-137
[59] Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, h. 224